Kinshasa -
Aliran air dan listrik kembali aktif di sebagian besar pemukiman warga di Kota Goma, di timur Republik Demokratik Kongo, DRC, Afrika. Ketenangan berjejak usik kota berpenduduk lebih dari satu juta orang itu dikuasai gerilyawan Gerakan 23 Maret atau M23 akhir Januari silam.
Pendudukan Goma oleh milisi M23 dicapai setelah pertempuran selama berhari-hari melawan militer Kongo. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, PBB, pertempuran menewaskan setidaknya 900 orang.
Namun, air dan listrik tidak cukup untuk menstabilkan situasi kemanusiaan, seperti yang dijumpai reporter DW di Goma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penjarahan rumah sakit
Tugas paling mendesak saat ini adalah penanggulangan jenazah demi mencegah wabah penyakit. Bantuan medis mutlak diperlukan karena hampir semua rumah sakit di Goma beroperasi di luar batas kapasitas. Ribuan orang dikabarkan mengalami luka-luka dalam serbuan gerilyawan M23.
DW mengunjungi rumah sakit Palang Merah Internasional yang mengaku harus menampung 290 pasien dengan hanya 146 tempat tidur. Mereka yang tidak mendapat ruang, diinapkan di dalam tenda di luar bangunan rumah sakit.
"Saat ini, kami sangat membutuhkan obat-obatan dan perlengkapan medis lain untuk perawatan yang layak," kata Dokter Abdouraman Sidibe.
"Suplai kami di rumah sakit dijarah, yang tentunya mempersulit penanganan medis. Kami sudah meminta obat-obatan kepada mitra-mitra kami, tapi kami masih menunggu jawaban sudah sejak 10 hari."
Gencatan senjata sepihak oleh M23
Belum jelas, apakah gencatan senjata sepihak oleh M23 sejak hari Selasa (04/02) akan mampu menstabilkan situasi keamanan di Goma. Gerilyawan Tutsi yang didukung Rwanda itu mengumumkan, pihaknya tidak berkeinginan "mengambil alih kontrol atas Kota Bukavu atau wilayah lain," tulis mereka, merujuk pada kota Kongo di dekat perbatasan Rwanda di selatan Danau Kivu.
Militer dan pemerintah Kongo bereaksi skeptis. Gerilayawan M23, "mengatakan sesuatu, tapi melakukan hal sebaliknya," kata juru bicara militer Sylvain Ekenge seperti dikutip Reuters.
"Mereka mengumumkan gencatan senjata untuk mengorganisir diri dan memperkuat pertahanan."
Pengumuman gencatan senjata sepihak selalu terlihat bagus, kata Stephanie Wolters, peneliti di Institut Studi Keamanan di Afrika Selatan, ISS. "Jika pihak Kongo yang melanggar gencatan senjata, mereka akan berada dalam posisi lebih buruk lagi," kata Wolters kepada DW. Deklarasi itu dinilai memperkuat daya tawar M23 di meja perundingan.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Antara perang atau perundingan
Proses damai diharapkan bisa diawali di KTT darurat Komunitas Afrika Timur, EAC, dan Komunitas Pembangunan Afrika Selatan, SADC, mulai hari Jumat (07/02) pekan ini di Tanzania.
Presiden Rwanda Paul Kagame sudah menyatakan akan hadir. Namun, Presiden DRC Felix Tshisekedi belum memberikan jawaban. Padahal, pertemuan tersebut digelar khusus untuk membahas situasi keamanan di timur Kongo.
Menurut PBB, Rwanda mendukung pemberontakan M23 secara logistik, militer, dan bahkan secara aktif dengan mengirimkan tentaranya sendiri. Pemerintah di Kigali dengan tegas menolak laporan tersebut.
Gerakan M23 digalang gerilyawan etnis Tutsi, yang menjadi korban genosida oleh etnis Hutu di Rwanda pada tahun 1994. Sebagian besar warga Hutu di Rwanda, termasuk terduga pelaku genosida, melarikan diri ke Kongo menyusul kemenangan milisi Tutsi yang dipimpin oleh Presiden Kagame saat ini.
Ancaman perang terbuka tidak hanya muncul dalam bentuk retorika di Kigali dan Kinshasa semata. Uganda dilaporkan juga telah memperkuat kemampuan tempurnya di perbatasan menuju Kongo timur, dengan sekitar 5.000 tentara.
Kongo Timur yang sangat kaya sumber daya alam telah menjadi tempat berkecamuknya dua perang besar antara tahun 1996 dan 2003, yang melibatkan tentara dan milisi pemberontak, serta menelan korban hingga enam juta jiwa.
UNHCR tuntut koridor kemanusiaan
Selama 20 tahun sejak berakhirnya Perang Kongo Kedua, situasi keamanan tidak pernah benar-benar stabil. Kehadiran milisi membawa serta pertempuran, penjarahan, dan pemerkosaan, yang mendorong warga sipil untuk mengungsi.
Bahkan sebelum eskalasi terbaru dimulai, badan pengungsi PBB UNHCR menghitung 4,6 juta warga sipil mengungsi secara internal dari provinsi-provinsi bermasalah Kivu Utara dan Selatan.
"Kami menerima laporan mengenai pemblokiran jalan dan hambatan lain terhadap penduduk yang bergerak untuk mencari keselamatan," kata juru bicara UNHCR Eujin Byun kepada DW.
"Itulah sebabnya kami menuntut jaminan rute yang aman untuk bantuan kemanusiaan dan pengungsi."
UNHCR belum mengamati adanya pergerakan pengungsi besar-besaran ke negara-negara tetangga, kata Byun. "Kita tidak boleh lupa bahwa orang-orang di Kongo timur telah mengungsi berkali-kali. Mereka ingin tetap tinggal di negara mereka."
Saat ini, sangat penting secara politik untuk mencegah eskalasi lebih lanjut, yang dapat memaksa orang melarikan diri melintasi batas negara.
Namun, jika koalisi bentukan M23 melanjutkan serangan setelah gencatan senjata berakhir, lebih banyak penduduk akan mengungsi ke provinsi Kivu Selatan. Hingga akhir pekan, posisi M23 hanya berjarak sekitar 60 kilometer dari ibu kota provinsi Bukavu yang berpenduduk satu juta orang.
Sebelum gencatan senjata diumumkan, DW berbicara kepada penduduk yang ingin mengungsi: "Goma tidak jauh dari Bukavu. Warga di sana tidak meninggalkan rumah mereka selama tiga hari. Kami khawatir hal yang sama dapat terjadi di Bukavu," kata seorang perempuan kepada DW.
Sebab itu dia berniat melarikan diri melintasi perbatasan ke Burundi.
Jika M23 mengepung Bukavu, banyak penduduk kota dapat mengambil keputusan yang sama.
Ditulis dalam bahasa Jerman dengan kontribusi Zanem Zaidi di Goma dan Jonas Gerding di Kinshasa
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu