Ujian Nasional atau Asesmen Nasional?

2 months ago 39

Jakarta -

Ujian Nasional (UN) yang sebelumnya dihapuskan Mendikbudristek Nadiem Makarim, kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini mengatakan bahwa "isu-isu pendidikan yang masih menjadi perdebatan seperti sistem zonasi, ujian nasional, ataupun apa namanya patut dibicarakan lebih lanjut dan secara seksama sebelum memutuskan/mengesahkan kebijakan yang final."

Peralihan UN menjadi AN

Pro dan kontra terhadap sebuah kebijakan tidak bisa dihindari. Termasuk kebijakan dalam pendidikan khususnya terkait Ujian Nasional (UN) yang baru-baru ini hangat dibicarakan di tengah masyarakat. Ada yang memandang berimplikasi pada tataran positif dan ada yang berpendapat berimbas pada hal negatif.

Namun, melihat realitas yang terjadi, UN memang cenderung menimbulkan tekanan psikologis tersendiri di kalangan peserta didik dan menjalar pada segenap unsur yang ada di sekolah termasuk luar sekolah. Takut nilai tidak tinggi, takut tidak lulus sehingga contek-contekan, kunci jawaban, dan sejenisnya. Mengesampingkan etika ataupun moralitas demi kelulusan. Padahal salah satu tujuan pendidikan yakni membentuk budi pekerti luhur peserta didik.

Mengukur kualitas belajar dan kemampuan intelektual peserta didik boleh-boleh saja karena dapat menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan. Namun, sosok yang paham terkait kemampuan peserta didik adalah guru yang membelajarkan mereka pada ruang-ruang kelas di sekolah terkait. Setiap peserta didik cerdas di bidangnya. Seperti yang dikatakan Howard Gardner bahwa kecerdasan itu terbagi ke dalam beberapa jenis, meliputi word smart, number smart, self smart, people smart, music smart, picture smart, body smart, dan nature smart. Jadi, menjadikan nilai UN sebagai syarat tunggal kelulusan merupakan praktik ketidakadilan dalam pendidikan.

Pada 2015, Anis Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan bahwa UN tidak dijadikan satu-satunya syarat kelulusan peserta didik; UN tetap dilakukan namun yang menentukan lulus atau tidaknya setiap peserta didik yakni pihak sekolah. Adapun penghapusan UN secara permanen terjadi pada 2021, masa Nadiem Makarim. UN diganti menjadi Asesmen Nasional (AN). Keputusan tersebut kembali menuai pro dan kontra.

Di balik semua itu, pada tataran praktis pun teoritis, AN dapat dipandang sebagai salah satu cara dalam memperbaiki pelaksanaan atau kualitas pembelajaran pada instansi pendidikan. Selain pengukuran kognitif, soal-soal AN juga difokuskan pada ranah karakter anak. Literasi dan Numerasi menjadi sasaran sebab kemampuan tersebut merupakan dua di antara beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik di era globalisasi.

Sebagai asesmen yang tidak berdampak pada kelulusan peserta didik bukan berarti berimbas pada kemalasan peserta didik dalam belajar. Mungkin ada tapi tidak semua peserta didik, sebab malas belajar itu dipengaruhi oleh berbagai sebab, maka cari akarnya. Hal yang mesti dimaksimalkan yakni bagaimana unsur sekolah memainkan peranan dalam menciptakan iklim pembelajaran yang menyenangkan, membangkitkan semangat belajar peserta didik, memfasilitasi pengembangan minat dan bakat, serta mengasah mindset mereka, dan program sejenisnya.

Kebijakan tentunya merupakan langkah solutif dari otoritas terkait untuk mengentaskan permasalahan yang ada. Dalam proses pendidikan, ujian merupakan kegiatan yang lazim diikuti namun bukan suatu hal yang bersifat final. Aktivitas belajar tidak semestinya terhenti setelah beberapa rangkaian ujian di sekolah selesai diikuti. Pembelajaran juga bukan sekadar untuk ujian dan memperoleh nilai tinggi serta orientasi pada memperoleh lapangan kerja semata.

Bukan UN tapi Proses

Permasalahannya bukan UN, tetapi perbaiki proses pembelajaran. Pendidikan bukan semata soal kognitif (pengetahuan), tetapi mencakup aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Jika ada yang berpandangan bahwa UN memutus motivasi peserta didik dalam belajar, sebab tidak ada yang ditakuti sehingga mereka malas-malasan, anggapan demikian keliru. Banyak cara yang bisa digunakan untuk menumbuhkan motivasi dan minat belajar mereka. Jika program yang satu belum berhasil maka cari metode lainnya. Intinya tidak berhenti pada satu cara saja.

Bukankah Kurikulum Merdeka mengusung kemerdekaan guru dalam merencanakan program belajar? Maka, maksimalkan hal tersebut. Kendati bermuatan positif, Kurikulum Merdeka perlu pula dievaluasi. Sebab keberhasilan praktiknya belum sampai ke sekolah-sekolah di daerah yang minim akses belajar, terbatas sarana dan prasarana, mindset (guru dan peserta didik) yang masih konservatif (belum memandang belajar adalah kebutuhan), dan hal terkait lainnya. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki proses demikian, maka perlu didukung pemerataan sarana dan prasarana pendidikan di setiap daerah dan aksesibilitas peningkatan kompetensi guru.

Berikan beasiswa bagi setiap guru yang ingin melanjutkan studi pada tingkat yang paling tinggi tanpa memandang masa pengabdian dan sejenisnya. Saya melihat bahwa bangsa ini disibukkan oleh perkara administratif; pemerintah tanggung-tanggung dalam memfasilitasi peningkatan kompetensi guru. Seperti guru yang ingin mendaftar beasiswa pendidikan harus mengabdi sepersekian tahun dahulu setelah itu baru bisa ikut serta dalam seleksi program-program pemerintah terkait peningkatan kompetensi maupun kualitas diri atau karier.

Selain hal di atas, perbaiki pula kesejahteraan guru. Bagaimana guru mau bersemangat membelajarkan anak sementara kondisi ekonominya serba tanggung. Bahkan untuk memperoleh penghasilan tambahan, ada di antara mereka yang sengaja menggadaikan SK yang uangnya digunakan untuk modal usaha seperti kebun, jualan, dan sejeninya. Jadi, selain beban mengajar, mencari metode inovatif, menyediakan program interaktif, menghadapi keberagaman karakter anak, pikiran guru dihantui pula oleh masalah kesejahteraan.

Rahfit Syahputra Guru SMAN 1 Rokan IV Koto, Riau

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial