Ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Chinnapong
Minggu, 10 November 2024
Menstruasi, atau luruhnya dinding rahim dan sel telur yang tidak dibuahi, sejatinya fenomena alam yang terjadi di tubuh remaja perempuan dan perempuan dewasa. Saat seseorang menstruasi, tubuhnya sedang berduka akan matinya sel telur. Sebagaimana duka sifatnya unik bagi tiap-tiap orang, duka yang satu ini juga dialami berbeda oleh masing-masing perempuan.
Dalam dunia ideal, perempuan mengalami menstruasi dengan pengetahuan dan dukungan penuh, tanpa penghakiman. Tak ada rasa malu dari mengeluarkan darah dari vagina selama kurang lebih satu minggu. Darah menstruasi tidak mengandung patogen dan bukan pula racun yang disingkirkan tubuh. Ia campuran darah dan jaringan endometrium yang keluar, itu saja.
Dalam dunia ideal, laki-laki tak mencemooh soal menstruasi, membuat lelucon menstruasi, merendahkan perempuan yang sedang menstruasi, atau meremehkan keluhan-keluhan seputar menstruasi, baik itu gejala fisik yang mengganggu maupun ayunan suasana hati yang bikin perempuan sensitif. Beberapa perempuan mengalaminya sangat berat. Studi Ross et al. (2024) menemukan pemikiran bunuh diri di beberapa perempuan menjelang menstruasi.
Pada 16 hingga 29 persen perempuan, dysmenorrhea atau kram perut yang parah saat menstruasi begitu melemahkannya hingga menurunkan kualitas hidup. Lebih dari itu, 12 persen penderita dysmenorrhea terpaksa melewatkan sekolah dan pekerjaan.
Dalam dunia ideal, pembalut gampang didapat. Perempuan tak perlu bisik-bisik minta pembalut atau beli pembalut sembunyi-sembunyi. Bahkan, perempuan punya opsi menstrual hygiene lain seperti cawan menstruasi dan celana menstruasi. Kenyataannya, banyak perempuan melalui menstruasi dalam situasi tidak ideal. Di beberapa tempat, ketersediaan pembalut dan air bersih saja masih sulit.
Ini baru perkara menstruasinya, belum bicara siklusnya. Ada juga minggu ovulasi dan minggu gejala pramenstruasi atau PMS. Setiap fase ini bisa menyulitkan bagi sebagian orang. Beberapa perempuan praktis cuma punya satu minggu di mana ia benar-benar sehat dan tak merasakan lara. Belum lagi mereka yang mengalami gangguan hormon seperti polycystic ovarian syndrome (PCOS) dan premenstrual dysphoric disorder (PMDD).
Dengan semua kegilaan ini, tak heran, sebagian perempuan menantikan berakhirnya siklus menstruasi, istilahnya climacteric, atau lebih dikenal sebagai menopause. “Bukannya tidak bersyukur dengan pengalaman menstruasi, ya. Alhamdulillah, menstruasi berarti tubuh saya menghasilkan sel telur, tetapi capeknya itu, lho,” ujar penulis Nita Sellya Novimasofa (@tehnit4), berbagi dalam sebuah bincang santai membahas serba-serbi menopause di X Space, 18 Oktober lalu.
Ilustrasi menstruasi
Foto: Getty Images/iStockphoto/Boyloso
Menopause adalah ketika seseorang tak lagi mengeluarkan darah menstruasi selama satu tahun berturut-turut. Ada pula perimenopause, yaitu periode transisi menuju menopause. Perempuan umumnya memasuki perimenopause di usia 40-an, dengan gejala yang bertahan empat sampai sepuluh tahun. Namun, studi mengungkapkan perempuan kulit hitam dan kulit berwarna lainnya bisa mengalaminya lebih awal, misalnya di usia 30-an, dengan gejala yang lebih parah dan lebih lama.
Betapa kagetnya Nita, beberapa tahun ini ia menapaki perimenopause, tubuhnya kembali bergulat dengan gejala-gejala baru, fisik dan psikis, yang tak kalah merepotkan. Ternyata, masa-masa menjelang menopause itu bisa penuh gonjang-ganjing dan membingungkan.
“Mendekati usia 50 aku mulai mengalami perubahan body odor. Berkeringat sedikit muncul bau, padahal biasanya enggak. Rambut rontok. Mood swing parah, bisa tiba-tiba ngamuk, tiba-tiba chill (tenang) lagi. Yang lumayan horor adalah siklus menstruasi. Beberapa kali aku mengalami menstruasi dengan volume bleeding yang banyak sekali sampai was-was aku kenapa, ya? Ternyata menurut dokter itu semua tanda perimenopause,” tutur Nita.
“Kemunculan gejala juga bertahap. Ada yang belakangan baru muncul. Misalnya, brain fog (otak berkabut). Hal yang biasanya aku tahu jawabannya, tiba-tiba nggak tahu. Yang unik, seumur hidup aku nggak pernah alergi, tapi dua bulan ini aku tiba-tiba alergi deterjen. Kata dokter itu akibat perubahan hormon, jadi merupakan gejala perimenopause juga. Satu lagi, aku mengalami serangan panik, hal yang nggak pernah kualami sebelumnya,” terangnya.
Pengalaman Nita dengan serangan panik selaras dengan riset Im et al. (2010) yang menemukan bahwa perempuan Asia Tenggara, Tionghoa, Korea dan Filipina lebih sering mengalami gejala terkait kecemasan dan nyeri kronis alih-alih hot flashes. Hot flashes, yang dicirikan dengan banjir keringat di malam hari, dialami lebih intens oleh perempuan kulit hitam. Gejala perimenopause lain yang kerap dilaporkan yaitu haid tidak teratur dan deras, kenaikan berat badan, dan vagina kering.
Harus Dibicarakan dan Ditangani
Perimenopause terasa berat bagi Nita sebelum ia mendapat dukungan. “Awalnya berat karena aku nggak bercerita, takut kalau-kalau menopause masih dianggap memalukan. Untungnya aku bertemu orang-orang yang tepat, lalu mulai berbagi. Ternyata menopause normal, kok. Di situ aku merasa, oh inilah yang dibutuhkan teman-teman perempuan yang memasuki perimenopause,” ujarnya.
Ilustrasi perempuan menstruasi
Foto: BBC Magazine
Dengan saling membicarakan pengalamannya, perempuan dapat mengantisipasi ataupun mencari bantuan jika mengalami gejala-gejala. Pasalnya, ada konsekuensi jangka panjang apabila gejala perimenopause diabaikan dan tidak ditangani, misalnya peningkatan risiko penyakit jantung dan penyakit neurodegeneratif (demensia). Selain itu, dapat menyebabkan ketidaknyamanan selama bertahun-tahun yang memengaruhi kesehatan mental, kepercayaan diri, dan kualitas hidup seseorang.
Meutia Faradila (@meutiafaradilla), seorang dosen farmasi, mengisahkan ibunya yang mengalami gejala perimenopause parah, dan bagaimana sang ibu terbantu dengan terapi hormon.
“Ibu saya menopause pada 2012, di usia 52. Persis setahun sebelumnya, beliau bolak-balik dirawat di rumah sakit gara-gara setiap sore, rahimnya kontraksi seperti mau melahirkan. Beliau lemas, berkali-kali hendak pingsan, dan jantungnya berdebar kencang. Saya curiga ibu punya PCOS tapi tidak terdeteksi,” ucap Meutia.
Meutia yang memiliki latar belakang medis pun mendorong ibunya mengecek hormon reproduksi. Dokter sempat mengabaikan permintaan tersebut. “Sampai ibu dirawat lagi, barulah akhirnya coba diperiksa. Benar saja, ibu mengalami gangguan keseimbangan hormon. Begitu kena terapi hormon, gejala itu hilang,” kisahnya.
Yang jadi masalah, sebagian besar penyedia layanan kesehatan tidak tahu banyak tentang masa perimenopause dan ragam gejalanya, apalagi menyadari situasi yang lebih “bernuansa” pada perempuan dari berbagai ras dan latar belakang. Hal itu bisa berujung pada diremehkannya pengalaman ketidaknyamanan, serta diabaikannya atau ditundanya penanganan gejala perimenopause, seperti yang dialami ibu Meutia.
Menemukan penyedia layanan yang berspesialisasi dalam perawatan menopause bisa jadi sangat sulit, sebab hanya ada 1.500 dokter di seluruh dunia yang disertifikasi oleh Menopause Society. Lorraine Riva (@yoyen), ibu pekerja di bidang komunikasi pemasaran yang tinggal di Belanda, merasa beruntung karena sejak mengalami perimenopause di usia 47 pada 2019 lalu, ia mudah mengakses bantuan medis dan psikologis di lingkungan tempat tinggalnya.
“Di sini, psikolog kerap menangani perempuan di masa perimenopause. Banyak kan yang jadi depresi, nggak percaya diri. Beberapa perempuan, terpengaruh kondisi masyarakat kita yang patriarkis, merasa ada fitrahnya yang berubah ketika sudah tidak bisa hamil lagi,” ungkapnya.
Ilustrasi perasaan depresi akibat menopouse
Foto : Getty Images/iStockphoto/Chinnapong
Namun, menurut Lorraine kemudahan yang ia alami itu belum jadi norma di banyak tempat di belahan dunia lainnya. Oleh karena itu, penting agar kesadaran menopause terus ditingkatkan dengan membicarakan isu ini. Terlebih, sekali lagi, pengalaman menopause sangat berbeda di tiap perempuan, bahkan ada juga yang melaluinya tanpa gejala atau kesakitan.
“Kelilingi diri dengan orang-orang yang pikirannya terbuka dan mau mendengarkan. Bicarakan dengan anak, suami, teman. Sebaliknya, yang punya ibu, tante, atau kakak perempuan yang sedang berada di usia perimenopause, sering-seringlah ajak mereka ngobrol, belajar mengerti dan memaklumi pergumulan mereka, tanyakan apa yang bisa dibantu,” jelas Lorraine.
Tips lainnya untuk menghadapi perimenopause adalah rajin olahraga, menjaga pola makan, menghindari konsumsi alkohol dan kafein, serta meditasi. Cognitive behavioral therapy (CBT) dengan psikolog juga bisa membantu menguatkan mental. Lorraine sendiri melakukan latihan angkat beban. Selain itu, kata Lorraine, yang tak kalah penting adalah mengajarkan anak perempuan untuk sejak dini mengamati dan mencatat pengalaman menstruasinya, sehingga terbiasa awas dengan perubahan tubuh.
Terakhir, perempuan jangan lupa untuk merayakan setiap pengalaman tubuhnya, termasuk menopause. “Aku resmi menopause pada 26 Juli kemarin. Aku merayakannya dengan pergi ke kafe bersama teman-teman. Mereka menyelamati. ‘Selamat ya, Yoyen, udah di fase ini.” Aku merasa perlu melakukan hal simbolis ini untuk aku pribadi,” pungkas Lorraine.
Penulis: Alya Nurbaiti
Editor: Irwan Nugroho