Transformasi Kereta Api Era Jokowi

3 weeks ago 7

Jakarta -

Bicara tentang perkeretaapian di Indonesia, publik serta-merta teringat pada sosok Ignasius Jonan. Di tangan Jonan, terjadi perubahan besar-besaran pada layanan kereta api. Tak ada lagi cerita rombongan "ataper" di rangkaian kereta commuterline (KRL) Jabodetabek. Pedagang asongan yang saat itu kerap ditemui di semua rangkaian kereta ekonomi kini tinggal kenangan bagi generasi lama.

Jonan juga mengubah wajah stasiun yang semula kumuh menjadi sangat modern. Hanya penumpang saja yang bisa mengakses peron, melalui tapping kartu atau pemeriksaan tiket, hingga belakangan diperkenalkan teknologi face recognition. Sejak saat itu satu per satu stasiun dirombak, sekaligus mempermudah mobilitas penumpang dari satu peron ke peron yang lain tanpa harus melintasi rel.

Transformasi kereta api terus berlanjut di bawah kepemimpinan Direktur Utama PT KAI saat ini, Didiek Hartyanto, melewati badai pandemi Covid-19 di mana banyak dilakukan pembatasan sosial. Wajah perkeretaapian semakin maju dengan beroperasinya banyak jenis kereta dan tipe, dari ekonomi, bisnis, hingga luxury, kereta panoramic, kereta perkotaan, kereta bandara, dan logistik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Potret perkembangan kereta api di Tanah Air merentang jauh ke masa kolonial. Tonggak sejarah dimulai pada 1864 ketika pemerintah Hindia-Belanda memprakarsai pembangunan jalur kereta api pertama antara Semarang dan Grobogan sepanjang 26 km. Tercatat ini adalah jaringan rel kereta api kedua di Asia setelah India, dan mendahului negara-negara seperti Tiongkok dan Jepang.

Masih berada pada periode liberal, perusahaan swasta milik Belanda yang mengoperasikan jalur kereta api tersebut. Belakangan pemerintah kolonial membentuk perusahaan negara yang membangun jalur kereta api di Surabaya dan Bogor. Hingga tahun 1920-an panjang jalur kereta api dan trem yang mengular telah mencapai 7.464 km, khususnya di Pulau Jawa.

Pembangunan jalur kereta api saat itu difokuskan untuk mengangkut hasil bumi yang menjadi komoditas utama utama, seperti gula, kopi, dan tembakau, atau batu bara di Sumatera. Rencana pengembangan jalur kereta di pulau-pulau lain terhambat karena Depresi Besar, hingga datangnya tentara pendudukan Jepang yang memangkas panjang jalur kereta untuk dialihkan ke Myanmar.

Setelah kemerdekaan, serikat pekerja kereta api mengambil alih pengelolaan dari penjajah Jepang. Didirikannya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) pada 28 September 1945 kemudian diperingati sebagai Hari Kereta Api Nasional. Namun proses nasionalisasi baru tercapai sepenuhnya pada 1963 dengan dibentuknya perusahaan negara kereta api, atau populer dengan singkatan PJKA.

Selain mengoperasikan kereta api, pemerintah juga mendirikan perusahaan negara PT INKA yang memproduksi rangkaian kereta baik penumpang maupun barang (rolling stock) dan lokomotif. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, INKA telah mengekspor produknya ke Bangladesh, Filipina, hingga Australia dan Selandia Baru, serta sejumlah negara tetangga lainnya di Asia Tenggara.

Mewarisi banyak teknologi dari masa kolonial, Indonesia bergerak menjadi pemain dunia dengan datangnya tawaran membangun infrastruktur kereta api di Afrika. Di tingkat kawasan bahkan nyaris tak ada kompetitor selain Tiongkok, terbukti dengan kesempatan bagi Indonesia untuk membangun jalur kereta api dari Laos menuju pelabuhan di Vietnam.

Di dalam negeri sendiri tantangan masih sangat besar dalam pengembangan infrastruktur kereta api. Sepanjang masa Orde Baru hampir tidak ada penambahan jaringan rel kereta, diperparah dengan krisis moneter pada 1997. Setelah itu baru mulai dilakukan pembangunan jalur ganda (double track) Jakarta-Surabaya, yang tuntas pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Berlanjut pada masa Presiden Joko Widodo, jalur ganda lintas selatan selesai dirampungkan. Proyek besar lainnya adalah double-double track (DDT) Manggarai-Cikarang untuk mengurai kepadatan jalur kereta jarak jauh dengan kereta commuterline rute ke Bekasi, bahkan telah diperpanjang sampai Cikarang dan direncanakan hingga Karawang.

Meningkatnya mobilitas di kawasan aglomerasi Jabodetabek mendorong pemerintah bekerja keras untuk mengatasi bottleneck, khususnya di lintasan Manggarai. Menjadi pintu masuk dari berbagai arah, pemerintah mencanangkan Manggarai sebagai stasiun sentral menggantikan Gambir yang telah beroperasi selama puluhan tahun.

Terobosan juga dilakukan oleh Jokowi, dengan membangun untuk pertama kalinya jalur kereta metro bawah tanah yang banyak ditemui di kota-kota luar negeri. Sudah digagas sejak tahun 1980-an, Jokowi ketika terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta memutuskan MRT harus segera dibangun dan konstruksi pun dimulai pada 2013, atau berbarengan dengan "revolusi kereta api" semasa Jonan.

Selesai dengan MRT, Jokowi yang kemudian memenangkan Pilpres 2014 memerintahkan pembangunan jalur kereta layang (LRT) menggantikan monorel yang gagal dibangun oleh gubernur Jakarta sebelumnya. Empat ruas LRT kini telah beroperasi, di dalam kota (LRT Jakarta), aglomerasi (LRT Jabodebek), dan LRT Palembang. Seluruh rangkaian kereta untuk LRT diproduksi oleh INKA.

Capaian revolusioner berikutnya adalah kereta cepat Whoosh Jakarta-Bandung (KCIC) yang telah setahun beroperasi. Meskipun sempat mengalami kendala dan banjir kritik, keberadaan kereta cepat menjadikan Indonesia tidak ketinggalan dari negara-negara maju, menjadi yang pertama di Asia Tenggara dan belahan selatan. Rencanananya jalur kereta cepat akan diperpanjang hingga Surabaya.

Hadirnya kereta cepat merevolusikan cara bermobilitas, menjadikannya opsi terbaik dari sisi waktu. Selain melanjutkan kerja sama dengan Tiongkok, pemerintah berupaya mengembangkan teknologi sendiri dengan meng¬-upgrade rel eksisting. Untuk merealisasikan jalur kereta cepat ke Surabaya, perlintasan sebidang harus dipisahkan agar tidak terjadi kecelakaan dengan moda transportasi lain.

Tak hanya di Pulau Jawa, pemerintahan Jokowi juga membangun jalur kereta api di Sulawesi pada lintasan Makassar-Parepare, mereaktivasi jalur-jalur kereta api di Sumatera, dan berencana membangun jalur kereta api logistik di Kalimantan. Dioperasikan pula jalur kereta bandara di berbagai kota dan ekspansi kereta commuterline ke kawasan aglomerasi perkotaan selain Jakarta.

Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, transformasi kereta api berjalan dengan skala yang masif seiring perkembangan infrastruktur, khususnya pada sektor transportasi. Hasilnya, survei kepuasan publik terhadap layanan berbagai jenis kereta api berada di atas kisaran 90%. Survei dilakukan oleh Indikator terhadap 1.450 responden di seluruh Indonesia, dengan oversample di aglomerasi Jakarta.

Survei yang digelar pada periode 30 Agustus-6 September 2024 lalu itu menemukan tingkat kepuasan publik terhadap layanan kereta api mencapai 90,9%, dengan mayoritas penilaian memenuhi kebutuhan seperti kesesuaian rute, ketepatan waktu, dan fasilitas pendukung. Penilaian terendah adalah pada jumlah armada, dengan kepuasan sebesar 83,9%.

Untuk layanan kereta commuterline, tingkat kepuasannya lebih tinggi mencapai 94,7% dan mayoritas penilaian memenuhi kebutuhan warga. Hampir sama adalah kepuasan terhadap MRT (94,9%), tetapi publik merasa belum puas soal rute (79,5%) dan armada (61,7%). Sebagai catatan, MRT baru beroperasi pada lintas Lebak Bulus-Bundaran HI, selebihnya masih tahap pengembangan.

Kepuasan tertinggi pada layanan LRT yang menembus 97,4%, dengan penilaian paling rendah soal armada (74,4%), serta faktor keamanan dan keselamatan (80,6%). Pada awal beroperasinya, frekuensi LRT masih sangat sedikit dan banyak mendapat keluhan para pengguna. Pelan-pelan kini LRT menambah jumlah perjalanan LRT untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat.

Secara umum juga publik paling mengetahui tentang pembaharuan sarana transportasi kereta api, yakni mencapai 80,3%. Bahkan kereta cepat Whoosh menempati peringkat ketiga (62,4%) setelah bus Transjakarta (73,9%). Sementara itu awareness publik terhadap pembangunan infrastruktur stasiun kereta api berada pada peringkat kedua (66,7%) setelah bandara (76,7%).

Pencapaian dalam kinerja layanan kereta api tidak lepas dari sisi teknis di tangan para pemangku kepentingan, mulai dari pengambil kebijakan baik eksekutif maupun legislatif, dan jajaran direksi BUMN khususnya PT KAI. Transformasi berkelanjutan menjadi kata kunci untuk pengembangan kereta api ke depan.

Tingginya kepuasan publik terhadap dunia perkeretaapian sepanjang era Jokowi juga menjadi catatan bagi pemerintahan baru Prabowo-Gibran yang akan segera mengambil tongkat estafet kepemimpinan nasional. Transformasi yang sudah berjalan harus terus berlanjut, dengan percepatan untuk mendukung target perekonomian dan menaikkan posisi Indonesia menjadi negara maju.

Endang Tirtana, Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

(ygs/ygs)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial