Jakarta -
Kasus suap yang menjerat oknum pejabat/birokrat marak kita saksikan di layar televisi. Artinya, kondisi bangsa Indonesia sedang tidak baik-baik saja; ketahanan nasional sedang terganggu akibat ulah si oknum yang berakrobat dan memperdagangkan kewenangannya untuk meraih ambisi segepok uang dan barang. Tentu saja, praktik suap semacam itu akan berdampak terhadap kelangsungan republik ini dan merusak tatanan hukum serta pertumbuhan ekonomi yang bisa merapuhkan ketahanan nasional.
Suap adalah penyakit kronis dan menular bangsa ini yang harus segera diamputasi tanpa ampun. Perbuatan suap merupakan kejahatan kerah putih (white colour crime) yang melibatkan orang-orang berintelektual tinggi. Ilmu pengetahuan dan pengaruh yang seharusnya diwakafkan untuk kepentingan lembaga dan bangsa justru dipertaruhkan demi syahwat duniawi. Pejabat/birokrat yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat justru mempertontonkan adegan kebiadaban yang tidak elok dilihat publik di tengah himpitan hidup saat ini.
Berani Melaporkan
Praktik suap yang dilakukan secara sembunyi dan kedap akan terungkap apabila publik ikut berpartisipasi aktif dengan cara berani melaporkan oknum tersebut ke pihak berwenang. Dalam konteks bernegara, publik tidak boleh diam berpangku tangan melihat kemungkaran praktik suap yang terjadi di sekelilingnya karena diam melihat kemungkaran adalah selemah-lemahnya iman. Publik yang pura-pura "tutup mata dan tidak tahu" atas praktik penyuapan adalah dosa jariyah atas bangsa ini.
Oleh karena itu, publik harus mengambil bagian dalam konteks penegakan dan pencegahan praktik suap sehingga praktik suap minim terjadi di arena birokrasi Kementerian/Lembaga. Salah satu partisipasi publik dalam mewujudkan birokrasi yang bersih adalah berani lapor. Nyali untuk melapor harus diinjeksi ke dalam tubuh warga negara agar berani melaporkan praktik-praktik suap melalui saluran yang tersedia.
Dengan membuat laporan, setidaknya Kementerian/Lembaga terbantu untuk mengambil langkah strategis guna mendeteksi dini praktik immoral yang akan terjadi. Publik tidak perlu khawatir atau takut terhadap retaliasi dari oknum sebab ganjaran jihad anti penyuapan jauh lebih besar ketimbang risiko yang dialami.
Hukuman Mati
Salah satu penyebab praktik suap masih terjadi di bangsa ini adalah ancaman hukuman belum memberikan rasa takut dan jera terhadap oknum pelaku suap. Hukuman mati yang jarang terealisasi dalam kasus suap sudah seharusnya dihidupkan kembali agar oknum yang berniat melakukan suap mengurungkan kembali niatnya karena pada dasarnya manusia itu takut mati dalam keadaan berdosa.
Hukuman mati terhadap pelaku suap layak diapresiasi mengingat dampak penyuapan begitu besar; masyarakat semakin susah dan sengsara, reputasi lembaga hancur, ekonomi amburadul, dan ketahanan nasional akan rapuh. Oleh karena itu, tidak ada argumentasi logis yang dapat meringankan pidana penyuapan dan tidak ada pembenaran untuk melindungi oknum tersebut.
Hukuman mati yang merupakan instrumen efektif dalam menekan praktik suap nyatanya masih mendapatkan kritik keras dari kancah internasional dan pemerhati hak asasi manusia. Hukuman mati seolah-olah bertentangan dengan hak hidup seseorang yang asali padahal kejahatan suap berdampak jauh lebih mematikan dan memakan jumlah korban yang lebih besar.
Menghukum mati satu pemain suap/koruptor kelas kakap dan menyelamatkan ribuan orang lebih maslahat ketimbang menyelamatkan nyawa satu pemain suap/koruptor dan mematikan ribuan orang secara pelan-pelan. Artinya, kejahatan praktik penyuapan sangat berdampak sistemik bagi kelangsungan hidup suatu negara. Jika hukuman terhadap pelaku penyuapan "bisa cincai", tunggulah kehancuran suatu negara.
Menggerogoti Tubuh Bangsa
Salah satu komponen ketahanan nasional adalah hilangnya praktik Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dalam berbangsa dan bernegara, sebab praktik KKN perlahan menggerogoti tubuh bangsa ini. Kajian ketahanan nasional seharusnya menjadi kurikulum wajib bagi setiap calon pejabat dan birokrat. Mereka yang mengaku nasionalis, menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap kegiatan ternyata tidak merembas di dalam jiwanya. Mereka menggadaikan jabatan dan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Apapun ceritanya, praktik suap adalah kejahatan sistemik dan tidak pantas dilakukan oleh seorang pejabat/birokrat.
Oknum penyuapan telah merusak ketahanan nasional di segala bidang. Siapapun oknumnya yang telah melakukan praktik suap, mereka adalah musuh bersama bangsa Indonesia yang wajib diperangi. Kohesi sosial yang seharusnya membentuk masyarakat madani dan sejahtera hancur lebur ketika oknum penyuapan mulai genit memberikan kode permintaan sementara publik dihadapkan dengan kondisi tidak ada pilihan lain. Kejahatan luar biasa ini (extra ordinary crime) harus ditumpas habis ke akar-akarnya secara kolektif kolegial, jika kita ingin melihat Ibu Pertiwi berkibar pada masa yang akan datang.
Ahmad Syahrus Sikti hakim
(mmu/mmu)