Jakarta - Sebelum duduk untuk menulis ini, saya mengajak beberapa orang untuk bermain game kecil. Saya bertanya, "Kota Pamekasan mengingatkan kamu pada apa?" Jawaban mereka sungguh beragam. Ada yang teringat dengan pendidikan, batik, ada juga yang langsung menghubungkannya dengan makanan khas setempat. Namun, banyak pula yang menggelengkan bahu, tak kunjung terbayang apa-apa. Ini seolah menjadi pertanda: Pamekasan masih dalam perjalanan menemukan jati diri dan citra kotanya.
Pamekasan, sebuah kota di Indonesia, memang memiliki banyak keunikan baik dari aspek seni dan budaya. Salah satu kabupaten di Pulau Madura ini telah lama dikenal dengan berbagai julukan, misalnya Kota Pendidikan, Kota Batik, dan Kota Gerbang Salam. Sebagai kota yang berkembang, Pamekasan dipertanyakan konsep city branding-nya. Apakah julukan yang melekat sudah mampu mencerminkan esensi Pamekasan?
Banyak Julukan, Banyak Kebingungan
Pertama, Pamekasan menyandang gelar sebagai kota pendidikan. Terdapat dua alasan kuat kenapa Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional kala itu, menobatkan gelar tersebut. Pamekasan dianggap berjaya dengan segudang prestasi di bidang pendidikan, baik di tingkat lokal maupun. Alokasi anggaran pemerintah juga terbilang besar untuk pendidikan. Tidak hanya itu, kota ini juga dihiasi oleh beragam lembaga pendidikan berkualitas mulai dari sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi yang jumlahnya tidak sedikit.
Pamekasan juga dikenal sebagai kota batik, dengan tradisi batik yang sudah lama mengakar. Batik Pamekasan memiliki motif yang unik dan variatif, dan dikenal memiliki corak warna-warna yang cerah. Untuk memperkuat branding tersebut, pemerintah daerah juga pernah meluncurkan setidaknya 90 kendaraan dinas berupa mobil dan sepeda motor berhias stiker bemotif batik sekar jagad khas Pamekasan
Selain itu, Pamekasan juga terkenal dengan kota gerbang salam. Branding ini ingin merefleksikan identitas religius dan budaya islam yang kuat di kota ini. Hingga kini, tulisan "Kota Gerbang Salam" masing terpampang jelas di gerbang batas kota.
Konsistensi dalam Implementasi
Lalu, apa awareness dan positioning Pamekasan sebenarnya? Entahlah, tapi ini soal konsistensi dalam implementasi city branding. Jika terus dibiarkan tentu dapat berimplikasi kurang baik pada pengembangan kota. Misalnya dari sisi kebijakan, pemerintah daerah akan kesulitan menentukan prioritas pembangunan melalui alokasi dana anggaran. Tidak hanya pembangunan dan alokasi anggaran yang terganggu, tetapi juga strategi pemasaran kota.
Ketidakjelasan ini dapat menghambat perencanaan jangka panjang dan bahkan merugikan daya saing kota di tingkat regional maupun nasioanal. Selain itu, ini juga dapat melemahkan efektivitas merek dan menciptakan kebingungan di antara penduduk, pelaku bisnis, dan wisatawan.
City branding merupakan strategi penting bagi kota untuk mempromosikan citra dan identitas uniknya kepada berbagai stakeholder, termasuk penduduk, wisatawan, dan binis. Namun, implementasi city branding sering menghadapi tantangan, yang menyebabkan ketidakkonsistenan antara citra merek yang diinginkan dan persepsi kota yang sebenarnya.
Anholt (2007) mendefinisikan city branding sebagai bagian dari studi ilmu komunikasi terutama sebagai fungsi humas dengan menafsirkan city branding sebagai pengelolaan citra suatu destinasi. Prioritas dalam city branding adalah memungkinkan potensi kota menjadi bernilai dan fungsional dengan ragam karakter yang membedakan dari wilayah lain.
Merumuskan Konsep
Untuk merumuskan konsep city branding secara efektif, penting untuk memadukan wawasan dari berbagai disiplin ilmu dan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap suatu kota. Beberapa elemen yang patut dipertimbangkan misalnya pemasaran, penggunaan struktur ikonik yang harmoni dengan karakteristik kota, integrasi dengan kebijakan pemerintah daerah, serta branding internal dan komunikasi berkualitas. Hal ini mengkonfirmasi bahwa city branding bukanlah hal sepele.
Contoh implementasi city branding yang menarik adalah PlusJakarta dengan slogan "Kota Kolaborasi"; kebijakan ini patut diapresiasi dan dijadikan contoh. Anies Baswedan, Gubernur Jakarta kala itu, mencoba untuk menunjukkan Jakarta adalah kota untuk semua. Kesuksesan branding ini tak lepas dari strategi komunikasi yang kuat, termasuk penggunaan media sosial, acara publik, dan inisiatif berbasis komunitas yang dirancang untuk menciptakan rasa keterlibatan masyarakat dengan identitas baru Jakarta.
Merefleksikan Kembali
Pada akhirnya, Pamekasan perlu merefleksikan kembali konsep branding kotanya untuk lebih fokus dan konsisten. Pemerintah daerah perlu menentukan identitas mana yang paling mewakili kekuatan kota. Jika Pamekasan ingin dikenal sebagai pusat pendidikan, maka fokus pada infrastruktur pendidikan dan branding yang mendukung hal ini harus lebih digalakkan. Jika memang batik yang dipilih, maka perlu dukungan lebih pada pengrajin, pemasaran batik, dan pengenalan produk baik untuk skala nasional hingga internasional.
Oleh karenanya, dibutuhkan partisipasi dan komitmen dari berbagai pihak dalam merumuskan city branding yang representatif untuk kota ini, pemerintah daerah perlu mengakomodasi hal tersebut dengan prinsip "no one left behind". Jikapun nanti ada pergantian pemimpin, selama implementasi city branding sebelumnya terbukti berhasil dan berdampak, maka tak ada urgensinya untuk berganti dengan yang baru.
Moh Efendi mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (mmu/mmu)