Ilustrasi : Edi Wahyono
Rabu, 6 November 2024
Sejumlah karyawan tampak masuk ke kandang ayam broiler yang berbentuk panggung dari bambu. Mereka keluar dengan masing-masing membawa lima ayam untuk diangkut ke truk. Hari itu adalah masa panen ayam di peternakan Akin, seorang pengusaha ternak di Kabupaten Bogor.
Kandang Akin berjenis terbuka atau open house, menampung 7.000 ekor ayam broiler yang dipanen pada umur 25-28 hari. Kandang itu berdiri di atas genangan air yang dijadikan kolam ikan lele.
Bau amonia dari kotoran ayam menguar bercampur bau genangan air di sekitar kandang. Akin mengatakan, memang, sejak minggu ketiga, kadar amonia dalam kotoran ayam akan semakin tinggi.
“Kalau sudah tinggi, pasti kemungkinan ke pernapasan, kadang E coli, kadang Salmonella,” kata Akin kepada detikX.
Oleh sebab itu, untuk mencegah beragam penyakit karena gas amonia, pada minggu ketiga Akin memberi ayam-ayam tersebut antibiotik selama tiga hari dengan menambahkannya pada minuman ayam. Jenis antibiotik yang Akin pakai adalah Amoxicillin dan Enrofloxacin.
Akin juga memberikan antibiotik tersebut pada minggu pertama ketika bibit ayam baru datang. Durasi pemberian dan dosisnya sama, yakni 1 gram per 2 liter air minum ayam.
“Tinggal dihitung saja per berapa ribu ayam. Tinggal nanti kebutuhan airnya berapa, 7.000 itu,” jelas Akin.
Akin memperoleh suplai antibiotik beserta takaran dosisnya melalui kerja sama dengan sebuah perusahaan farmasi. Perusahaan itulah yang menawarkan program perawatan ayam sampai siap panen.
“200-300 perak per ayam untuk antibiotik dan vitamin. Di luar vaksin. Kalau sama vaksin 500 perak per ekor,” kata Akin memerinci biaya yang mesti ia keluarkan.
Akin sebenarnya paham betul pemberian antibiotik sebagai pencegahan tidak wajib dilakukan. Namun ia tak ingin mengambil risiko mengingat keadaan kandangnya yang bertipe terbuka meningkatkan paparan bakteri.
Di sisi lain, perjalanan bibit ayam dari pabrik menuju kandangnya juga rawan terkena paparan penyakit dan virus dari berbagai tempat yang dilewati. Keadaan harga ayam kini kurang stabil di pasaran, memaksimalkan produksi adalah keharusan.
“Harapannya, kalau kami kasih minggu pertama antibiotik, misalnya lebih riskan di pernapasannya, berarti kan masuk ke pernapasan. Intinya, jangan sampai sakit ayamnya. Sebelum sakit, ada tindakan preventif,” terang Akin.
Di samping itu, Akin terus mencoba meningkatkan biosekuriti dengan menjadwalkan ketat menyemprotkan disinfektan ke kandang ayam untuk membunuh bakteri dan virus.
Selaras dengan Akin, peternak di Kabupaten Bogor lainnya, Aris, juga masih menggunakan antibiotik sebagai pencegahan. Alasannya serupa, bibit ayam berisiko memiliki riwayat infeksi ketika dalam perjalanan menuju peternakan. Pertimbangan lain adalah adanya riwayat penyakit ayam periode sebelumnya dalam kandang.
Dua antibiotik yang kerap Aris gunakan adalah Amoxicillin dan Enrofloxacin. Selain itu, Aris menunjukkan Levofloxacin di kandang ternaknya meski tak memberikan keterangan lebih lanjut dalam penggunaannya.
Aris memberikan antibiotik minuman selama lima hari setelah bibit ayam datang. Semua antibiotik tersebut Aris peroleh dari technical service (TS) yang melakukan penjualan langsung ke peternak tanpa dilengkapi diagnosis maupun resep dari dokter hewan.
Aris memahami benar ancaman resistensi antimikroba di kandangnya. Bahkan ia sendiri pernah melakukan uji resistensi antimikroba satu setengah tahun lalu. Hasilnya, ia mendapati bakteri di ternaknya kala itu telah resisten terhadap antibiotik jenis Amoxicillin.
“Saya bisa bilang di kandang farm saya itu sudah resistensi terhadap Amoxicillin. Tapi saya bisa gunakan notenya berarti dosisnya harus saya naikkan,” kata Aris kepada detikX ketika ditemui.
Aris terus berupaya mencegah dan menekan penggunaan antibiotik di kandangnya dengan menerapkan kandang semi-tertutup, melakukan sterilisasi kandang, memberikan jamu dan vitamin ke ayam, melakukan seleksi untuk mencegah penyebaran penyakit, juga menjaga kualitas air agar tak menjadi tempat berkembang bakteri.
Dengan menggunakan pengalamannya bekerja di peternakan besar, juga pendidikannya sebagai dokter hewan, Aris berharap bisa menekan risiko resistensi antibiotik di kandangnya. Tetapi, menurutnya, jika pemerintah hendak menerapkan penanggulangan secara menyeluruh pada peternakan unggas, mestinya tak melupakan memberikan regulasi ketat pada industri bibit ayam.
“Idealnya memang DOC (bibit ayam) yang dikirim sudah ada catatan. Ayam yang dikirim ini sudah resisten sama ini, sehingga kita menggunakan antibiotik ini lho yang bagus. Itu informasi tidak ada, sehingga putus. Sehingga akhirnya kami main nebak menggunakan antibiotik di kandang,” ujar Aris.
Penggunaan antibiotik di peternakan sebenarnya sudah diatur secara lengkap, salah satunya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017. Antibiotik hanya boleh digunakan untuk pengobatan ternak dengan diagnosis dan resep dari dokter hewan penanggung jawab. Ini upaya untuk mencegah resistensi antibiotik ternak sebagai produk yang dikonsumsi manusia. Penggunaan antibiotik sebagai pencegahan atau profilaksis tidak dianjurkan atau bahkan dihilangkan untuk mencegah terjadinya resistensi antimikroba.
Resistensi antimikroba merupakan kondisi kala bakteri atau mikroorganisme lainnya mampu bertahan hidup meski diberi antibiotik yang seharusnya dapat membunuh atau menghentikan pertumbuhannya. Efektivitas antibiotik menjadi hilang, sehingga bakteri bisa terus menginfeksi dan semakin kebal.
Ancaman Resistensi dan Residu Antimikroba Ayam Broiler
Ketua Badan Pengurus Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) Tri Satya Putri Naipospos mengatakan ancaman resistensi antimikroba ayam broiler bisa menjangkau manusia melalui rantai pangan pemotongan. Bakteri resisten tersebut bisa bertahan di daging ayam atau karkas, yang tersentuh tangan manusia.
“Nah, kalau termakan oleh manusia bakteri resistennya, maka bisa mengganggu kesehatan manusianya. Orang yang bersangkutan bisa resisten terhadap pemberian antibiotik yang diberikan karena di situ terjadi titik singgung antara hewan dan manusia,” jelasnya.
Pada 2022, CIVAS dan tim lainnya menerbitkan temuan adanya resistensi antibiotik di Acta Veterinaria Indonesiana. Hasilnya menunjukkan tingginya resistensi antimikroba pada Escherichia coli di sejumlah peternakan ayam broiler di Kabupaten Bogor. Dari 475 isolat yang diuji, resistensi tertinggi ditemukan pada antibiotik siprofloksasin (93%), ampisilin (88%), tetrasiklin (83%), sulfametoksazol (75%), dan trimetoprim (71%).
Adapun temuan dari studi terbaru yang terbit di Atlantis Press pada 2023, yang dilakukan oleh Susan M Noor dan tim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menunjukkan adanya bakteri Escherichia coliyang resisten terhadap berbagai antibiotik pada ayam broiler di pasar tradisional Bogor, Jawa Barat. Ditemukan beberapa antibiotik yang resisten yang sama dengan penelitian sebelumnya.
Dari 50 isolat E coli yang diuji, 66 persen menunjukkan resistensi terhadap kolistin, 52 persen terhadap sulfametoksazol, 30 persen terhadap Meropenem, 15 persen terhadap Ciprofloxacin, dan 8 persen terhadap kloramfenikol.
Dua temuan tersebut menunjukkan adanya resistensi terhadap beberapa antibiotik yang penting, termasuk yang sudah dilarang penggunaannya pada hewan.
Bukan hanya melalui daging ayam, peneliti CIVAS, drh Sunandar, mengatakan risiko paparan bakteri resisten juga bisa terjadi di kandang ayam broiler. Bakteri resisten dapat bertahan hidup di kotoran ayam dan dapat membawa bakteri resisten ke lingkungan jika kotoran tersebut tidak diolah dengan benar.
Gen bakteri resisten bahkan bisa bertahan di lingkungan kandang, lantai kandang, kotoran, tempat minum dan makan, serta permukaan lainnya yang terkontaminasi gen bakteri resisten. Bakteri resisten tersebut juga dapat mencemari ayam yang baru masuk.
“(Cara) mengatasinya adalah dengan melakukan disinfeksi kandang secara rutin dan menyeluruh. Pengurus ternak (juga) sangat berpotensi (terpapar bakteri resisten), sehingga dianjurkan menggunakan alat pelindung diri, seperti masker, sarung tangan, dan selalu berperilaku hidup bersih seperti mencuci tangan untuk meminimalkan risiko penularan,” kata Nandar.
Tantangan Penerapan Regulasi di Lapangan
Kabid Kesehatan Masyarakat Veteriner Diskanak Kabupaten Bogor drh Hardy Hendriwan mengakui memang masih mendapati adanya peternak yang menggunakan antibiotik tanpa resep dokter sebagai pencegahan penyakit maupun pemicu pertumbuhan.
“Karena itu, kita berikan pembinaan ke para peternak kecil untuk mencegah penyakit itu tak perlu memberikan antibiotik, tapi menerapkan biosekuriti. Biosekuriti itu kan bisa murah. Cuci tangan. Kita berikan arahan juga, memberikan antibiotik itu sebenarnya juga bikin rugi peternak secara biaya, juga ke depannya ke kesehatan manusia juga,” papar Hardy.
Namun Hardy tak memungkiri, keterbatasan sumber daya belum bisa menjangkau seluruh peternak dan rumah potong daging kecil yang tersebar di Bogor. Tetapi Hardy mengungkapkan pengawasan tetap terus diusahakan hingga ke pasar tradisional.
Penerapan One Health untuk mengatasi resistensi antimikroba juga memiliki kendala dan tantangan tersendiri terkait masih sulitnya koordinasi dengan dinas-dinas terkait seperti dinas kesehatan dan dinas lingkungan hidup.
Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Imron Suandy, turut membenarkan tantangan koordinasi antarsektor, bahkan di tingkat kementerian.
Kabar baiknya, kata Imron, adanya regulasi ketat terkait penggunaan antibiotik berhasil menurunkan angka penggunaannya, salah satunya sebagai profilaksis atau pencegahan. Turun dari 80 persen menjadi 50 persen.
“Ke depan, sebenarnya kita ingin meningkatkan kesadaran terkait adanya penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan yang beririsan. Colistin misalnya, makanya relevan itu dilarang. Dalam waktu dekat, yang akan kita larang adalah kuinolon dan sefalosporin. Ujungnya, ini kan untuk kesehatan masyarakat,” ujar Imron kepada detikX.
Imron mengakui masih menemui sejumlah tantangan dalam mengedukasi berbagai pihak, terutama dalam ranah penggunaan antibiotik sebagai pencegahan. Survei yang dilakukan Kementan menunjukkan aktor dominan yang memengaruhi antimikroba untuk digunakan para peternak merupakan para petugas teknis dari perusahaan integrator atau perusahaan obat.
“Kalau kami di pusat, kita mengadvokasi pimpinan perusahaan itu. Saya yakin sebenarnya mungkin teman-teman teknis ada idealisme, tapi karena ini masalah ekonomi yang sulit dijelaskan dengan baik,” pungkas Imron.
Terkait adanya praktik perusahaan farmasi yang menjual antibiotik tanpa disertai diagnosis dan resep dokter pada peternak, Wakil Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi) drh Andi Wijanarko memastikan para anggota asosiasi sudah taat pada peraturan yang ada. “Kalau misal ada pelanggaran, ya kita panggil dan kita tegur,” kata Andi.
Asohi tak membantah adanya fenomena kejar target penjualan, tapi sampai hari ini asosiasinya terus melakukan dialog dengan seluruh pihak terkait.
Liputan ini mendapat dukungan dari ReAct Asia-Pacific dan Yayasan Orang Tua Peduli.
Reporter: Ani Mardatila
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim