Jakarta - Sharenting menjadi fenomena sosial yang lazim dijumpai pada era sekarang ini. Fenomena ini menarik karena memotret praktik kebiasaan orangtua, khususnya ibu, dalam membagikan konten terkait momen kehidupan anak-anak di media sosial.
Aktivitas sharenting tidak lepas dari pembahasan mengenai identitas digital dan dampaknya terhadap anak-anak dan orangtua. Pesatnya teknologi dan semakin maraknya media sosial menjadikan orangtua lebih leluasa dalam membentuk jejak digital sang anak sejak kecil. Pada kondisi ini, anak belum dewasa sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan atau menyadari representasinya di ruang publik. Isu privasi turut mengemuka.
Untuk mengulas lebih jauh tentang sharenting dapat diawali dengan mengenal asal katanya. Sharenting merupakan gabungan dari kata share yang dalam bahasa Indonesia berarti berbagi dan parenting yang dimaknai sebagai pengasuhan. Kegiatan membagikan foto, video, atau cerita tentang anak-anak di platform digital seperti Facebook atau Instagram ini telah menjadi keseharian bagi orangtua modern, utamanya bagi ibu-ibu milenial yang menjadi pegiat media sosial.
Menurut penelitian Siahaan (2023), sharenting memiliki fungsi lain yang melingkupi, tidak hanya sebagai sarana mendokumentasikan dan mengabarkan momen-momen berharga dalam keluarga. Penelitian tersebut mengungkap sharenting sebagai sarana untuk mengonstruksi citra diri sebagai ibu yang baik di pandangan masyarakat digital.
Panggung Persona Digital
Bagi banyak orangtua, khususnya para ibu dengan label 'Instamom', media sosial mereka jadikan panggung untuk menyuguhkan persona digital. Instagram dimanfaatkan sebagai tempat untuk memamerkan rutinitas mereka, membagikan kebahagiaan kehidupan, sekaligus untuk memperkuat identitas diri sang ibu.
Ideologi intensif keibuan (intensive mothering) turut dikokohkan lewat media sosial. Fenomena ini menyingkap temuan performa identitas yang cair sedang berlangsung di ranah media sosial; perempuan menjalankan berbagai peran sekaligus. Perempuan bertindak sebagai ibu, istri, dan pelaku ekonomi digital secara bersamaan.
Pada era modern, identitas bersifat dinamis dan dapat berubah-ubah seiring interaksi sosial dan pengalaman personal yang terus-menerus terjadi. Pemikiran dari sosiolog Anthony Gidden menjabarkan, pada babak modernitas lanjut, identitas individu tidak lagi bersifat stagnan, melainkan menjadi proyek reflektif yang secara berkelanjutan dikerjakan dan dikonstruksi oleh individu melalui pengalaman sehari-hari (Gauntlett, 2008).
Menurut Giddens, proyek reflektif ini mencakup pengambilan keputusan tentang siapa kita, bagaimana kita ingin dilihat, dan bagaimana kita merespons dunia di sekitar kita. Demikian pula dengan konteks orangtua yang terlibat dalam sharenting. Para orangtua yang berkutat dengan sharenting tidak hanya membangun identitas mereka berdasar kehendak pribadi. Identitas mereka sebagai orangtua dipengaruhi oleh bagaimana persepsi tentang mereka yang dibangun oleh audiens online-nya.
Dengan berkecimpung sebagai penggerak sharenting, orangtua tengah menjalani konsep proyek refleksif dari diri seperti pendapat Giddens. Di mana individu secara berkelanjutan merefleksikan dan menegosiasikan identitasnya lewat interaksi sosial, termasuk yang terjalin dalam ruang digital. Ketika memajang foto anak dalam posting-an di Instagram, para orangtua sedang mengokohkan identitas pribadi mereka sebagai orangtua yang normatif sekaligus menciptakan identitas anak-anak mereka dalam lingkup dunia maya.
Jika kita menilik pada kasus di lapangan, identitas yang dibentuk lewat media digital kerap bersifat ambigu. Citra yang ditampakkan tidak selalu sejalan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Dari hasil penelitian yang dilakukan Rony Agustino Siahaan yang berjudul Performa Identitas Ibu Digital: Kompleksitas dan Pencapaian Peran Perempuan sebagai Ibu Stay At Home di Era Media Sosial, peran gender menentukan cara sharenting yang dipilih. Ibu yang mendaku sebagi 'Instamom' kerap memanfaatkan sharenting sebagai alat untuk mempertontonkan performa identitas mereka sebagai ibu yang berkomitmen.
Siahaan (2023) memaparkan, performa digital ini sering menggambarkan upaya ibu untuk memuaskan ekspektasi sosial mengenai standar ibu yang baik pada era neoliberal. Seorang ibu dianggap berhasil tidak hanya ketika mampu menyejahterakan anak, namun juga berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi digital seperti mendapat endorsement produk dan menjalankan bisnis online lewat blogging.
Kendati demikian, dapat kita pahami bahwa praktik sharenting berkaitan erat dengan peran gender tradisional. Masih dari penelitian milik Siahaan (2023), sharenting terlihat masih kerap merepresentasikan kembalinya peran gender tradisional. Ibu dibelunggu konstruksi untuk menjalankan peran konservatif, tetap dituntut untuk tunduk pada norma usang.
Masyarakat dominan masih membatasi perempuan dan mengharuskan mereka berperan sebagai pengasuh utama untuk anak dan pengelola rumah tangga. Dengan demikian, sharenting berisiko meneguhkan mitos perempuan hanya dapat menemukan kebahagiaan melalui peran domestik mereka sebagai ibu (Siahaan, 2024). Sedangkan dunia modern mendorong para ibu milenial untuk menyelaraskan peran sebagai ibu ideal dengan tuntutan untuk produktif dan mandiri secara keuangan.
Para ibu-ibu muda dari kalangan milenial terkungkung di antara tuntutan pemenuhan ekspektasi tradisional dan modern. Mereka terjebak dalam posisi sebagai ibu dan pekerja. Lewat pemanfaatan media sosial, akhirnya mereka mendefinisikan ulang peran dan identitas. Praktik sharenting inilah yang mereka gunakan sebagai siasat untuk menegosiasikan identitas. Para 'Instamom' ingin menunjukkan para ibu dapat menjadi sosok modern dan berdaya tanpa menanggalkan peran tradisionalnya.
Polemik Privasi
Para orangtua umumnya akan merasa senang saat membagikan foto atau video anak dalam akun media sosial kepunyaan mereka. Mereka menilai tindakan tersebut wajar sebagai bentuk pengasuhan anak. Namun di balik semua itu, ada risiko besar yang mengintai keselamatan anak. Ada konsekuensi yang harus dibayar sang anak. Ada celah penyalahgunaan informasi yang dibagikan tentang anak-anak oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Selama ini pengguna begitu lugu, menganggap aktivitas sederhana seperti membagikan lokasi terkini di status media sosial dan foto kegiatan harian adalah hal yang aman. Padahal, semakin dekat privasi dengan properti pribadi, semakin banyak privasi yang dapat diasingkan atau ditukar dan menjadi komoditas. (Sevignani, 2016, p.188)
Setiap konten yang diunggah di media sosial pun turut berkontribusi dalam pembentukan jejak digital anak yang memberi andil pada identitas anak pada masa depan. Mungkin saja sang anak tidak nyaman dengan itu. Sejalan dengan teori performativitas, identitas bersifat tidak statis dan melekat begitu saja. Identitas merupakan bentukan tindakan individu dan persepsi masyarakat atas tindakan itu.
Dalam konteks sharenting, orangtua secara tidak langsung agen pembentuk identitas anak serta berperan menentukan bagaimana anak dipersepsikan oleh dunia luar. Proses ini bahkan berlangsung jauh sebelum sang anak memiliki kontrol atas citra dirinya. Dengan demikian dalam menjalankan sharenting dibutuhkan harmonisasi antara kebutuhan orangtua untuk menunjukkan diri dan kepentingan anak dalam menegakkan kendali atas identitas mereka sendiri di masa depan. Untuk itu, para orangtua diharapkan lebih bijak dalam menyeleksi konten yang ditampilkan di media sosial guna menekan dampak negatif dari sharenting.
Shela Kusumaningtyas kolumnis
(mmu/mmu)