Resistensi Antimikroba: Dari Kandang Ternak ke Pangan Kita

1 week ago 7

 Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 5 November 2024

Zulkifli, seorang peternak, kerap menggunakan antibiotik dan antiseptik untuk menjaga kebersihan dan mencegah penyakit di lingkungan kandang. Karena pembelian dilakukan tanpa resep, ia menghindari transaksi dalam jumlah besar di satu apotek.

"Sekarang ini Amoxicillin sudah dibatasi di apotek, jadi saya harus mencari ke beberapa apotek berbeda untuk mencukupi kebutuhan," kata peternak di daerah Jawa Timur itu kepada detikX.

Selain pembelian antibiotik secara mandiri, ia biasanya mengandalkan produk tambahan yang dikirim langsung oleh perusahaan mitra yang juga memasok bibit ayam dan pakan. Misalnya Widecilline, yang merupakan campuran vitamin dan antibiotik (mengandung 10 persen antibiotik yang umumnya jenis Amoxicillin). Produk ini dipesan dan diantar ke kandangnya sesuai dengan kebutuhan.

Penggunaan antibiotik sebagai suplemen dan pencegahan penyakit yang dilakukan Zulkifli atas sokongan perusahaan mitra tergolong praktik ilegal. Meskipun aturan pelarangan penggunaan antibiotik imbuhan pakan atau antibiotic growth promoter (AGP) di peternakan sudah diterapkan oleh pemerintah, kenyataannya, penggunaannya masih ditemukan di kalangan peternak.

Zulkifli mengelola tiga kandang besar berukuran 8x70 meter yang masing-masing mampu menampung sekitar 10 ribu ekor ayam. Ayam-ayam ini dibesarkan hingga usia sekitar 4-5 bulan untuk mencapai ukuran yang sesuai standar perusahaan sebelum diambil untuk dijual kembali. Limbah dari kandang, seperti kotoran ayam, kerap diminta beberapa petani sebagai bahan pupuk organik atau bahkan dijual dalam kemasan.

Seorang peternak lainnya di daerah Jawa Timur, Hasan—bukan nama sebenarnya—mengakui penggunaan AGP marak di kalangan peternak. Bahan tambahan pakan yang berguna untuk mempercepat pertumbuhan hewan itu diperoleh dari pemasok yang mengimpor produk ini secara borongan dari luar negeri, sehingga harga jualnya lebih murah. Ia mengatakan, “Kalau impor, beli sedikit rugi. Jadi biasanya dibeli bareng-bareng sama komunitas ternak lainnya, tanpa tahu itu sebenarnya AGP.”

Meski ia tak menggunakannya, Hasan tahu rahasia umum penggunaan AGP ini kerap dicampurkan pada pakan ternak. Tindakan ini sering lolos pengawasan karena razia dinas terkait umumnya hanya menyasar pabrik pakan besar, sedangkan peternakan kecil-kecilan lebih sulit diawasi.

“Peternakan yang bermitra dikasih bibit pakan oleh pabrik. Tapi mereka dibebaskan kalau mau tambah obat sendiri. Pabriknya pun tidak tahu karena yang dilihat hanya hasil panen,” katanya menjelaskan praktik ini juga dilakukan perusahaan besar.

Karena minimnya pengawasan dan edukasi, Hasan berharap pemerintah meningkatkan pengawasan hingga ke tingkat peternak agar risiko kesehatan dari penggunaan AGP dapat diminimalkan. Selain itu, perlu tindakan tegas terhadap penjualan AGP di lapangan. Sebab, ini adalah celah yang dimanfaatkan untuk menjual AGP secara bebas, terutama kepada peternak kecil yang berusaha menekan biaya.

"Di e-commerce, AGP masih mudah didapatkan dengan nama bahan aktif yang berbeda, misalnya Bacitracin," kata peternak ayam dengan kapasitas kandang 62 ribu ekor tersebut.

Wakil Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia Andi Wijanarko, menekankan, sejak adanya Permentan Nomor 14 Tahun 2017, dokter hewan dan perusahaan peternakan diwajibkan hanya menggunakan antibiotik dalam dosis terapi untuk mengobati penyakit tertentu, bukan sebagai tindakan pencegahan. "Kami juga diwajibkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam juknis terkait feed medis," ungkap Andi kepada detikX.

Ia menambahkan Kolistin, salah satu antibiotik, telah dilarang penggunaannya untuk unggas sejak 2021. Sehingga kini hanya ada 16 jenis antibiotik yang diizinkan digunakan dalam pakan ternak dengan ketentuan dosis yang ketat.

Meskipun regulasi telah diperketat, masalah lain muncul dari maraknya penjualan produk-produk obat keras yang masih ditemukan di platform e-commerce. Menurut Andi, itu merupakan bentuk pelanggaran serius yang membutuhkan perhatian, terutama Kementerian Pertanian serta Kementerian Komunikasi dan Digital.

"Kami telah melaporkan temuan ini ke pihak berwenang, dan e-commerce yang melanggar harus ditindak tegas. Sudah lebih dari 400 penjualan obat keras yang diturunkan, namun mereka muncul kembali dengan cepat. Ini harus terus kami laporkan," jelas Andi.

Tantangan lainnya di lapangan adalah kebutuhan para peternak akan antibiotik untuk memastikan produksi yang cepat dan berkualitas, baik untuk telur maupun daging ayam. Menurutnya, waktu yang diperlukan antibiotik untuk bekerja biasanya hanya 3-5 hari, sementara pengganti antibiotik membutuhkan waktu lebih lama, yaitu sekitar 2-3 minggu.

"Saat ini, alternatif pengganti antibiotik, seperti probiotik, prebiotik, acidifier, dan obat-obatan alami, sudah tersedia dan terdaftar di Kementerian Pertanian. Namun efektivitasnya memang lebih lambat dibanding antibiotik,” ujarnya.

Kepada para dokter hewan dan peternak, Andi mengingatkan pentingnya memperhatikan masa 'waktu henti obat' atau white drawing time, terutama ayam broiler yang memiliki masa panen singkat. "Jika waktu henti obat tidak diperhatikan, residu antibiotik bisa tetap ada pada saat ayam dipotong, yang berarti masyarakat mengonsumsi residu antibiotik," ujarnya.

"One Health," lanjut Andi, "harus diimplementasikan dengan baik untuk mencegah dampak lingkungan. Misalnya, kotoran ayam yang masih mengandung residu antibiotik perlu difermentasi terlebih dahulu sebelum dijadikan pupuk agar tidak mencemari tanah."

Ia mengingatkan tentang pencemaran beberapa sungai besar di Indonesia yang ditemukan mengandung antibiotik, seperti Ciprofloxacin dan Amoxicillin. Ini berpotensi disebabkan oleh limbah peternakan.

Tak Hanya di Jawa Timur
Daru Estiningsih, peneliti sekaligus mahasiswa doktoral Fakultas Farmasi UGM, sebelumnya melakukan penelitian terkait keberadaan residu antibiotik di peternakan wilayah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Daru berfokus pada pencarian bakteri resisten antibiotik dengan mengambil sampel dari tanah, air, dan daging di peternakan ayam. Ia juga mengumpulkan data resistensi dari pasien di puskesmas sekitar.

Penelitian ini berusaha menelusuri keterkaitan antara resistensi antibiotik di lingkungan peternakan dan manusia. Melalui swab dari pasien yang mengalami infeksi, Daru mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi dan melihat resistensinya terhadap berbagai antibiotik.

"Hasilnya menunjukkan adanya beberapa kesamaan jenis antibiotik dan bakteri antara peternakan dan komunitas," ujar Daru.

Daru juga menjelaskan residu antibiotik ditemukan di dalam sampel tanah, air, dan daging. "Dalam penelitian saya, ditemukan residu antibiotik di daging tidak hilang meski melalui proses pemasakan tertentu, seperti dipanggang atau direbus," tuturnya.

Menurutnya, penggunaan antibiotik di peternakan ini penting untuk diperhatikan, terutama karena banyak limbah peternakan, seperti kotoran ternak, digunakan dalam bidang pertanian sebagai pupuk kandang.

"Kalau pupuk kandang yang kita anggap aman ternyata mengandung residu antibiotik, ini bisa berdampak buruk pada pertanian dan akhirnya pada konsumen," jelasnya.

Penjelasan serupa disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Ika Puspita Sari. Banyak peternak yang mengaku tak lagi menggunakan antibiotik sebagai suplemen ternak. Namun, saat dilakukan pengecekan, hasilnya berkata lain.

"Waktu kami tes lingkungan peternakannya, langsung keluar banyak residu antibiotik berbagai jenis. Bahkan peternaknya kami tes ternyata juga sudah resisten. Produk ternaknya kami tes juga sudah terdapat residu antibiotik, diproses dimasak tidak hilang," kata Ika kepada detikX.

Berdasarkan riset bertajuk ‘Pola Resistensi Antibiotik di Komunitas dan Kaitannya dengan Pola Resistensi Antibiotik pada Peternakan Ayam di Wilayah Sleman Yogyakarta’ yang dilakukan pada 2023, ada enam bakteri penyebab infeksi yang paling banyak teridentifikasi, baik di komunitas sekitar peternakan, produk ternak, pasien puskesmas, maupun lingkungan sekitar. Keenamnya adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus pyogenes, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus beta hemolyticus, Pseudomonas aeruginosa, dan Escherichia coli.

Dalam riset lain yang juga dilakukan di Yogyakarta, ditemukan 9,28 persen dari pangan asal hewan mengandung residu antibiotik. Residu paling tinggi di daging ayam justru ditemukan pada sampel yang berasal dari supermarket. Residu juga ditemukan di ikan serta telur. Data tersebut berdasarkan penelitian dengan tajuk 'Rapid testing of antibiotic residues to increase food safety awareness of animal origin' yang terbit Mei lalu.

Terlebih studi mengenai resistensi antimikroba dalam rantai pangan ayam potong pada 2021 di wilayah Kabupaten Bogor, Jakarta Selatan, dan Tangerang Selatan menemukan tingkat resistensi yang mengkhawatirkan pada bakteri Escherichia coli (E coli) yang diisolasi dari berbagai tahap produksi ayam. Baik yang berada di rumah potong hewan unggas RPH-U maupun di gerai-gerai pengecer.

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian Nuryani Zainuddin menjamin tidak ada lagi produk terdaftar resmi dan beredar yang terindikasi sebagai AGP. Pihaknya mengklaim penggunaan antimikroba dan AGP di lapangan sudah mengalami penurunan. "Adapun soal indikasi adanya AGP di e-commerce, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah," jelasnya kepada detikX.

"Selain itu, dalam hal ini kami belum dapat menentukan secara spesifik siapa yang berperan," sambungnya. Pihaknya juga menjamin semua produk ternak yang beredar telah melalui proses standardisasi yang ketat agar terhindar dari residu antibiotik.

Liputan ini dibuat melalui beasiswa dari Internews Earth Journalism Network.

Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial