Jakarta -
Dalam dunia yang berkembang cepat, rapid, dan semakin kompetitif, banyak individu terjebak dalam pengejaran tanpa henti terhadap kesuksesan, kekayaan, dan status; sebuah fenomena yang difrasakan dengan Rat-Race (lomba tikus dalam labirin). Tak jarang di tengah generasi muda (milenial dan Gen-Z) mulai populer istilah "budak korporat", rutinitas 9 to 5 (bahkan di Indonesia pukul 7 pagi s.d 4 sore), dan label-label lain yang melambangkan budaya workaholic dan materialistis.
Di negara-negara berkembang, Indonesia misalnya, perangkap rat-race bisa muncul memang karena ambisi pribadi individu, meski umumnya karena tekanan kebutuhan hidup dan perekonomian yang semakin sulit. Tentunya, faktor kedua dapat dimaklumi, namun rat-race mentality tidaklah lazim bila muncul dalam pekerja akademik di perguruan tinggi.
Perangkap rat-race ini juga hadir dalam dunia akademik—salah satunya di perguruan tinggi—sebuah hal yang tak lazim dalam kultur kerja individu dan organisasi lembaga pendidikan. Misalnya, kelakar Merle A. Tuve (1959) mengenai kehidupan para ilmuwan di perguruan tinggi:
Ada keyakinan yang semakin berkembang di antara akademisi, bahwa universitas bukanlah tempat yang ideal bagi seorang ilmuwan. Kehidupan seorang Profesor sekarang ini seperti sebuah perlombaan sibuk yang penuh aktivitas—mengelola kontrak dan proyek, membimbing tim penelitian, mengawasi kru teknisi, melakukan banyak perjalanan, duduk di komite untuk lembaga pemerintah, serta terlibat dalam berbagai kegiatan lain yang diperlukan untuk menjaga seluruh kesibukan ini agar terus berjalan.
Teralienasi dari Karya Sendiri
Dalam konteks budaya akademik di Indonesia, Sulistyowati Irianto mengungkapkan tentang bagaimana para dosen dan ilmuwan yang teralienasi dari karyanya sendiri karena sekadar memenuhi kewajiban administratif. Dalam organisasi perguruan tinggi, kampus berlomba-lomba mengejar predikat akreditasi "unggul" di semua unit (program studi atau universitas) agar tetap tune in dalam mendapatkan kuantitas dan kualitas input (mahasiswa baru) yang memadai. Meskipun sering ditemukan pada realitanya predikat itu tidak merefleksikan kualitas nyata dari unit tersebut, banyak praktik menyimpang dilakukan.
Di lain sisi, perguruan tinggi (PT) berbadan hukum, misalnya, didorong mengikuti pola perguruan tinggi private university di negara-negara Barat dan agar menjadi World-Class University. Hal ini tentu sangat baik, karena mengurangi ketergantungan dengan negara (dari sisi finansial) dan lebih independen dalam tata kelola. Namun efek sampingnya misalnya bila PT tidak mampu memperoleh dana dari pihak ketiga (donatur, alumni, dan rekanan industri), jalan mudah untuk meningkatkan pemasukan adalah dengan meningkatkan tuition fee atau membuka program studi sebanyak-banyaknya. Sehingga PT kehilangan keunikan dan spesialisasinya, serta PT swasta semakin mengeluh karena kesulitan mendapatkan mahasiswa baru.
Efek sistem yang terbangun ini kemudian juga mempengaruhi budaya kerja dan pola pikir pekerja akademik. Rizqy Amelia Zein misalnya menyoroti bagaimana akademisi Indonesia menjadi "tergila-gila" dengan Scopus karena universitas berlomba-lomba menambah jumlah dokumen terindeks dan jumlah kutipan di Scopus sebanyak mungkin karena dijadikan parameter penilaian kinerja dalam banyak hal, serta bagaimana bibliometric pada Scopus dijadikan standar dalam promosi jabatan dan insentif bagi akademisi. Dengan demikian, banyak arah kebijakan kampus kemudian ditujukan untuk memenuhi targetan-targetan ini, misalnya jumlah kutipan dan artikel di database indeksasi bereputasi (Scopus dan WoS).
Beberapa perguruan tinggi bahkan mewajibkan publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa sarjana dan pascasarjana, efeknya malah semakin banyak artikel ilmiah "sampah" yang hanya dibuat untuk mencapai syarat kelulusan. Seharusnya hal ini mendorong para akademisi untuk meningkatkan kualitas pekerjaannya, namun pada praktiknya banyak terjadi perjokian dan bentuk-bentuk academic fraud lainnya. Hal ini kemungkinan cenderung menyebabkan akademisi semakin pragmatis dengan lebih menghargai keluaran yang dapat diukur—seperti publikasi, hibah, dan impact factor—dari pada pencarian intelektual sejati.
Selain itu, sistem reward dalam pendidikan tinggi cenderung berbasis kinerja, dengan berbagai insentif dan tunjangan yang diberikan berdasarkan produktivitas dosen. Hal ini membuat para dosen perlu menunjukkan kinerja maksimal jika ingin memperoleh pendapatan yang memadai, terutama mengingat basic salary yang sering berada di bawah standar biaya hidup. Dengan demikian, dosen secara tidak langsung dikondisikan untuk mengejar target-target kinerja tambahan, seperti publikasi, penelitian, dan keterlibatan dalam kegiatan pengabdian masyarakat, demi memenuhi kebutuhan finansial mereka.
Sekilas sistem ini mungkin tampak fair karena berlandaskan prinsip "kerja keras akan mendapat imbalan lebih." Namun, kenyataannya, beban administratif dan kewajiban dalam tridharma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat) sering sangat berat, sehingga tidak realistis bagi dosen untuk mengejar kuantitas pekerjaan. Sementara untuk mendapatkan reward yang maksimal mereka harus mengejar target publikasi, penelitian, hibah, dan indikator kinerja lainnya yang berimplikasi pada pendapatan.
Ditambah dengan sistem pemeringkatan yang didasarkan pada bibliometric, seperti h-index dan kutipan, terkadang mendorong akademisi untuk mengejar kuantitas dibanding kualitas. Bahkan beberapa waktu lalu seorang akademisi menjadi viral karena berhasil menerbitkan 160 artikel ilmiah kurang dari satu tahun, suatu hal yang hampir tidak masuk akal untuk dilakukan, dan motifnya adalah untuk kepentingan akreditasi, sebuah contoh bahwa sistem yang dibangun cenderung membuat akademisi untuk lebih pragmatis.
Beberapa Kasus Kontroversial
Rat-race mentality tak hanya menghinggapi akademisi profesional. Akhir-akhir ini dunia akademik di Indonesia dihebohkan dengan beberapa kasus kontroversial terkait pemberian gelar kehormatan (doktor dan profesor honoris causa) terhadap pejabat-pejabat teras dan tokoh politik di level nasional. Tentu hal ini mengundang banyak kritik dari kalangan akademisi profesional, yang mereka mesti bersusah payah untuk menuntaskan studi doktoral atau melalui perjalanan panjang untuk dapat mencapai pengakuan akademik sebagai guru besar pada bidang-bidang spesifik tertentu.
Tak hanya itu, masyarakat kembali terkaget-kaget dengan seorang pejabat negara dan pimpinan partai yang mampu menuntaskan studi doktoralnya dalam waktu kurang dari dua tahun. Kasus ini mencerminkan adanya kemungkinan penyimpangan dalam standar akademik dan menambah kekhawatiran akan degradasi nilai-nilai keilmuan, di mana gelar akademik dipandang sebagai simbol status dan prestise sosial semata, bukan sebagai cerminan kemampuan dan pencapaian intelektual.
Pengalaman sebagai seorang dosen pemula, saya pernah terjebak dalam mentalitas rat-race ini. Di mana saya memaksakan diri untuk terlibat dalam penelitian hibah, kepanitiaan atau task force lainnya dan bahkan menerima tawaran sebagai pengelola program studi meski secara bersamaan saya tetap harus menyiapkan bahan ajar, mengajar, menilai hasil kerja mahasiswa, menulis artikel ilmiah/riset, dan menyeimbangkan kewajiban sebagai kepala keluarga.
Mungkin pengalaman dan pendapat ini sifatnya subjektif, karena bisa saja ada orang yang mampu memikul workload yang tinggi dengan baik, atau sebaliknya. Tetapi, bagi yang tidak mampu mengelola tekanan dan tuntutan yang tinggi maka akan menerima konsekuensi negatif secara fisik dan psikis.
Menggeser Nilai-Nilai Keilmuan
Di tengah perkembangan dunia yang semakin cepat, tuntutan untuk terus berkompetisi dan menonjol dapat membawa dampak negatif jika tidak diimbangi dengan keseimbangan dalam hidup. Perangkap rat race yang merambah dunia kerja kini juga merasuki budaya akademik di perguruan tinggi, di mana orientasi pada kuantitas dan tuntutan kinerja telah menggeser nilai-nilai keilmuan yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Dalam mengejar reputasi dan indikator performa, akademisi kerap terjebak dalam rutinitas yang melelahkan dan kurang substansi, mengorbankan kualitas demi memenuhi target angka. Ironisnya, tekanan ini seringkali justru menggiring mereka pada praktik-praktik pragmatis dan curang yang jauh dari esensi pencapaian intelektual sejati. Bagi akademisi maupun lembaga pendidikan tinggi, penting untuk kembali menyeimbangkan tujuan antara pengembangan intelektual dan ambisi pribadi atau institusi, mengutamakan nilai keilmuan dan kontribusi nyata bagi masyarakat dibanding sekadar mencapai standar materialistis yang serba mengukur.
Atqo Akmal dosen UIN Imam Bonjol Padang, calon mahasiswa PhD University of Bristol
(mmu/mmu)