Jakarta -
Akal imitasi (AI, Artificial Intelligence) terus berkembang. Beradu cepat dengan polemik dan diskursusnya. Implementasi dan aplikasinya di berbagai sektor terus dielaborasi dan dieksplorasi. Termasuk di sektor jurnalistik. Salah satunya yang sempat dibicarakan adalah SearchGPT, derivasi GenerativeAI dari OpenAI, yang diperkirakan akan mempengaruhi lansekap jurnalistik.
Tanpa bermaksud sekalipun mengecilkan peran jurnalis dan jurnalistik dengan ketergantiannya oleh AI, kehadiran AI telah memenuhi syarat untuk disebut pervasif, meminjam istilah Manuel Castell. Kehadiran AI secara global sudah teradopsi dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ketika kita membuka aplikasi media sosial atau e-commerce di gawai masing-masing. Apakah keterserapannya dalam aktivitas manusia hanyalah sekadar hype atau memang sudah tak terhindarkan, memang diperlukan studi lebih lanjut. Tapi, satu yang pasti, AI sudah hadir dan kehadirannya adalah untuk menetap dan tidak akan pergi.
Demikian juga dengan implementasi AI di sektor jurnalistik. Meskipun saya sepakat dengan pendapat bahwa jurnalistik masih sangat dibutuhkan pada era AI ini, namun eksplorasi implementasinya harus dengan tepat dimitigasi oleh rekan-rekan jurnalis dan ruang redaksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
AI dan mode bertahan hidup industri media
Kasus terkini di mana seorang jurnalis Wyoming, AS mengundurkan diri karena sebuah kutipannya terbukti dihasilkan oleh AI, tidak menghentikan laju eksplorasi implementasi AI di bidang jurnalistik. Perusahaan di balik platform Generative AI terus memberikan peluang skema pendanaan untuk pengembangan teknologi ini.
Khususnya di sektor jurnalistik, setelah kerja sama SearchGPT dengan The Atlantic dan beberapa media lain, menyusul kemudian Perplexity yang memberikan pendanaan 250 ribu dollar AS kepada Northwestern Medill School of Journalism, Media, Integrated Marketing Communications. Sebelum itu, Meta Australia juga memberikan pendanaan bagi Cosmos untuk melakukan eksperimen implementasi AI di ruang berita.
Meskipun skema-skema tersebut mengundang skeptisisme dan kritik dari kalangan jurnalis, namun tidak membuat gelombang eksplorasi berhenti. Sebab, di sisi lain, ruang berita dan perusahaan media juga berjuang habis-habisan untuk terus bertahan dengan disrupsi digital ini.
Gelombang AI adalah disrupsi kesekian yang menghantam media. Tidak hanya di sisi teknis pengumpulan, produksi, dan distribusi berita dan informasi, melainkan lebih dalam lagi pada model bisnis yang menjadi bahan bakar media untuk terus bertahan. Selain model bisnis pelanggan berbayar, iklan juga masih menjadi alternatif pilihan di samping model pendapatan di luar media (out of media).
Metriks yang biasanya digunakan untuk mengukur jangkauan media adalah kuantitas kunjungan ke situs media tersebut. Salah satu yang menjadi pemantik bagi kunjungan ke situs media adalah mesin pencari. Oleh karenanya, Search Engine Optimization (SEO) menjadi penting dalam kaitannya dengan hal ini.
Masalahnya kemudian, mesin pencari juga tidak luput dari disrupsi akibat AI ini. Inilah yang terjadi dengan kemunculan SearchGPT. Sedikit berbeda dengan Perplexity yang "lebih" merujuk kepada sumber-sumber ilmiah, SearchGPT memungkinkan untuk mencarikan informasi dari seluruh belantara internet. Kompetisi ketat ini tidak bisa diabaikan oleh Google sebagai mesin pencari terbesar, yang hasilnya adalah uji coba fitur SearchLab di mesin pencari Google.
Mekanisme tersebut akan mengubah perilaku pengguna internet dalam melakukan pencarian informasi. Dan, hal ini tidak terhindarkan, sebagaimana perubahan perilaku pengguna internet dalam mengkonsumsi informasi/berita, yang turut menghantam dunia jurnalistik dan media.
Pada intinya kemudian, di satu titik, SEO tidak lagi relevan bagi perusahaan media untuk memantik kunjungan ke situsnya. Hal ini terlepas dari perdebatan yang belum selesai mengenai hak cipta atas informasi yang menjadi data latih bagi mesin LLM di balik Generative AI ini. Dengan proyeksi demikian, tantangan pendanaan dan model bisnis bagi media dan jurnalistik pasti kian membesar, menambah beban akibat disrupsi sebelumnya yang belum sepenuhnya berhasil dipulihkan.
Jika ada waktu luang, berselancarlah ke situs okaynwa.com. Situs ini dikelola oleh hanya satu orang saja. Portal berita lokal ini memproduksi seluruh kontennya menggunakan seratus persen AI. Ia memanfaatkan Generative AI untuk mempersonifikasi reporter bagi portal beritanya. Dengan mengkustomisasi GPT, ia "menciptakan" reporter-reporter dengan karakter-karakter yang relevan untuk setiap jenis berita.
Tidak hanya berita berupa informasi teks, melainkan seluruh gambar ilustrasinya juga di-generate menggunakan AI. Misalnya, ia punya reporter untuk jenis berita hiburan, reporter untuk jenis berita event, budaya, teknologi, dan lainnya. Semua informasinya adalah kejadian atau informasi nyata, tetapi disajikan bukan oleh reporter, melainkan oleh AI.
Bolehlah, sebagaimana disebutkan oleh pembuatnya, bahwa portal daring ini hanya sekadar proyek iseng belaka. Tetapi lihatlah apa yang bisa dilakukan oleh Generative AI tersebut saat ini. Dan, bayangkanlah apa yang bisa dilakukannya dalam 4-5 tahun mendatang. Ingatlah bahwa dari ChatGPT-3 menjadi ChatGPT-4o, atau perkembangan luaran Midjourney yang mengagumkan, hanya butuh waktu kurang dari 2 tahun.
Persimpangan jalan
Lansekap ini makin meneguhkan apa yang disampaikan Dewan Pers pada pertengahan Agustus 2024 lalu. Secara umum, industri media pers tengah dalam kondisi sulit, bertahan hidup dengan berbagai strategi bisnis baru untuk beradaptasi dengan ekosistem digital. Yang upaya adaptasi ini pun menghadirkan masalah baru, yakni ketergantungan dengan platform digital global, seperti mesin pencari dan media sosial.
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Sebuah angin segar yang patut didorong implementasinya segera, meskipun masih mendapatkan keberatan dari platform global.
Kembali pada jurnalis dan pemangku kepentingan jurnalistik lainnya. Menegasikan pemanfaatan AI dalam kegiatan jurnalistik bukanlah pilihan yang bijak. Disrupsi AI, seperti karakter disrupsi teknologi lain, tidak mengenal nilai ataupun batas geografis. Ia laksana iklim. Tak peduli sebagus apapun sawah dan secanggih apapun alat pertanian kita, topan yang sangat kuat sangat mungkin meruntuhkan apa yang kita punya. Seperti apa yang pernah dialami Yahoo, Nokia, Blackberry, atau Kodak.
Mohammad Hasanudin peneliti di Symbolic.ID dan Kolokium.ID
(mmu/mmu)