Perkembangan AI, Siapa Pemegang Kendali?

2 days ago 8

Jakarta -

Pada era digital ini, hampir bisa dipastikan semua orang bersentuhan dengan teknologi dalam aspek kehidupan mereka. Tidak hanya itu, semua bidang usaha atau bisnis dan industri juga pasti menggunakan teknologi untuk menunjang proses produktivitas dan memudahkan pekerjaan-pekerjaan yang sulit. Di tengah semua perkembangan itu, permasalahan muncul ketika teknologi yang digunakan perusahaan menjadi lebih mahir dalam bekerja daripada tenaga kerja manusianya.

Perusahaan Microsoft contohnya, telah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan tenaga kerja manusia dan 10.000 karyawan telah dirumahkan pada Januari 2023. Kini, 92% kinerja pekerjaan Microsoft telah bergantung pada kecerdasan buatan bahkan sampai ke tahap pengambilan beberapa keputusan tertentu.

Microsoft telah menciptakan layanan kecerdasan buatan yang bernama OpenAI. Keputusan ini merupakan pilihan yang tepat untuk efisiensi perusahaan namun dinilai sebaliknya oleh para karyawan yang menjadi korban pemutusan ikatan kerja. Microsoft dinilai tidak mempertimbangkan risiko sosial pada masa yang akan datang hanya karena setiap 1% dari pangsa pasar yang beralih ke Microsoft dari perusahaan lain akan mendatangkan profit hingga 2 miliar dollar Amerika.

Microsoft memutuskan pengalihan sistem kerja, tentu bukan tanpa alasan. Perusahaan ini mengandalkan kecerdasan buatan di hampir setiap divisinya karena kemampuan AI lebih efisien untuk menghemat lebih banyak waktu pekerjaan dan minim kesalahan. Selain itu, teknologi kecerdasan buatan lebih dipercaya dalam menjaga kerahasiaan data, baik untuk perusahaan maupun untuk pengguna layanan Microsoft karena sistem ini diperkuat dengan beberapa fitur tambahan untuk membuat kerangka keamanan yang ketat.

Kecerdasan buatan yang telah dikembangkan oleh perusahaan pesaing Microsoft juga menjadi salah satu alasan utama mengapa mereka serius dalam pengembangan AI agar inovasi mereka dapat segera dirasakan oleh masyarakat sehingga berkurangnya pelanggan kompetitor bisa berbalik menghasilkan keuntungan pada Microsoft. Namun, di balik keputusan strategis tersebut, muncul banyak pertanyaan tentang dampak jangka panjang bagi para pekerja dan masyarakat secara umum.

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Microsoft pada Januari 2023 mengundang kritik keras dari berbagai kalangan, terutama dari kelompok pekerja yang terkena imbasnya. Mereka menilai bahwa perusahaan sekelas Microsoft, dengan kekuatan finansial yang luar biasa, seharusnya bisa mengadopsi pendekatan yang lebih berimbang antara efisiensi teknologi dan kepentingan sosial. Pemutusan ribuan pekerja ini tidak hanya mengganggu stabilitas hidup para karyawan, tetapi juga memperburuk situasi pengangguran di sektor teknologi, yang menjadi isu serius di banyak negara.

Dalam jangka panjang, keputusan Microsoft untuk menggantikan karyawan dengan kecerdasan buatan diprediksikan akan menjadi sebuah tren yang akan digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar. Terdapat laporan dari Forum Ekonomi Dunia, sekitar 83 juta pekerjaan berisiko hilang akibat otomatisasi dalam beberapa tahun ke depan. Dari realitas ini, dapat dilihat bahwa tidak hanya Microsoft, tetapi banyak perusahaan lain juga akan mengikuti jejak serupa demi efisiensi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pergeseran Besar

Peristiwa yang terjadi pada kasus Microsoft mencerminkan adanya dampak nyata dari globalisasi. Hasil dari perkembangan teknologi dapat menggantikan para pekerja untuk mementingkan efektivitas dan efisiensi bisnis mereka. Hal ini menyebabkan pergeseran besar dalam struktur pasar tenaga kerja di seluruh dunia. Teknologi yang harusnya menunjang pekerjaan manusia, malah menggantikan pekerjaan mereka secara keseluruhan.

Fenomena ini menjadi suatu permasalahan yang mengkhawatirkan, apalagi jika dikaitkan dengan faktor tingkat pertumbuhan teknologi yang sangat cepat. Dalam waktu dekat, semakin banyak prospek kerja akan digantikan oleh teknologi. Akibatnya, angka pengangguran dunia akan semakin meningkat.

Fenomena ini dapat dianalisis secara sosiologis, ditinjau dari konsep perubahan sosial. Teori ini menjelaskan bagaimana suatu individu atau suatu hal baru di dalam masyarakat dapat mempengaruhi kelompok hingga terjadi suatu perubahan dalam suatu aspek hidup masyarakat. Ada dua teori perubahan sosial yang berkaitan, yaitu teori evolusi dan teori fungsi.

Teori evolusi menyatakan bahwa perubahan terjadi dalam waktu yang cukup panjang, lambat, dan mengarah pada tujuan tertentu. Perubahan sosial membentuk pola yang memanjang dan menuju ke tahap yang paling kini. Semua bergerak dalam satu garis linear menuju satu titik tertentu. Perkembangan teknologi merupakan aktualisasi dari teori evolusi. Teknologi dulunya hanya berupa mesin uap atau alat-alat sederhana saja. Biasanya hanya dipakai oleh perusahaan-perusahaan besar pada waktu itu, dan tidak semua individu di dalam masyarakat dapat memilikinya.

Dahulu, teknologi hanyalah hak istimewa kaum elite. Namun seiring berjalannya waktu, teknologi berkembang dengan sangat pesat. Dari yang dulunya hanya berupa mesin dan alat sederhana, sekarang sudah menjadi komputer, gawai, mesin kompleks, internet, dan AI (Artificial Intelligence). Sekarang hampir semua individu di dalam masyarakat dapat mengakses dan menggunakan teknologi.

Teknologi bukan lagi menjadi hak istimewa para kaum elite, melainkan suatu akomodasi yang dinikmati bersama. Alat yang dulunya hanya dapat menunjang dan membantu dalam sebagian pekerjaan manusia, sekarang sudah dapat menggantikan dan mengambil alih pekerjaan manusia secara keseluruhan.

Sedangkan teori fungsi menyatakan bahwa perubahan sosial ditentukan dari fungsi lembaga sosial yang ada di masyarakat. Apabila fungsi lembaga sosial itu berubah (menurun atau meningkat), maka masyarakat akan mengalami perubahan sosial karena menanggapi naik atau turunnya fungsi lembaga tersebut.

Awalnya teknologi berfungsi untuk mempermudah, mempercepat pekerjaan manusia dalam proses produksi dan pelayanan. Manusia tetaplah menjadi pelaku utama atau pemeran dominan dalam proses bekerja, artinya mereka yang menggunakan teknologi untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Namun semakin lama, teknologi yang dengan pesat berkembang juga mengalami peningkatan fungsi dalam bekerja. Akhirnya, seperti yang dilakukan perusahaan Microsoft, fungsi-fungsi atau pekerjaan yang dulunya dipegang manusia diambil alih oleh teknologi.

Berbeda dengan manusia, teknologi dapat bekerja tanpa istirahat, dengan tingkat kesalahan yang lebih rendah serta dapat mengurangi biaya operasional perusahaan. Pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan tenaga kerja manusia juga dapat dilakukan lebih cepat dan dalam volume yang lebih besar. Produk atau layanan yang dihasilkan juga memiliki kualitas yang seragam tanpa adanya variasi yang mungkin terjadi jika dikerjakan oleh manusia.

Dalam konteks pengeluaran biaya operasional terkait upah dan tunjangan terhadap para pekerja, perusahaan merasa menggunakan tenaga pekerja dari AI jauh lebih menghemat biaya dibandingkan mempekerjakan tenaga kerja manusia. Oleh karena itu, teknologi dinilai lebih efisien, produktif, dan konsisten dalam bekerja jika dibandingkan dengan manusia.

Teori Globalisasi

Langkah menggantikan karyawan dengan teknologi yang dilakukan oleh perusahaan Microsoft juga dapat dikaji dengan teori globalisasi. Microsoft sebagai perusahaan di bidang teknologi dan informasi tentu membawa integrasi teknologi yang memungkinkan untuk mencapai efisiensi global dengan mengadopsi AI. Microsoft beradaptasi dengan standar global yang mendorong otomatisasi sebagai bagian dari persaingan global yang ketat.

Penggunaan AI bukan hanya memungkinkan efisiensi secara operasional, tetapi juga meningkatkan daya saing di pasar internasional, karena dengan mampu mengintegrasikan teknologi canggih lebih mampu merespons dinamika global secara real time. Namun teori globalisasi juga berfokus pada dampak secara sosial dan ekonomi, tentu langkah ini juga membawa tantangan.

Banyak perdebatan yang muncul hingga mendatangkan perhatian internasional tentang keputusan perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft yang berani mengambil risiko untuk memutus hubungan kerja besar-besaran dan menggantikan posisi manusia dengan teknologi kecerdasan buatan. Tinggal menunggu waktu, tindakan berani ini pun akan banyak dicontoh oleh perusahaan-perusahaan lain mengingat perhitungan modal dan keuntungan dapat menjadi lebih efisien dengan memberdayakan teknologi.

Hal ini menimbulkan dampak sosial seperti meningkatnya tingkat pengangguran dan persaingan kerja semakin ketat karena banyak divisi pekerjaan yang menghilang dan tergantikan oleh sistem. Tentunya ketimpangan sosial pada era global akan semakin memburuk. Globalisasi memungkinkan perusahaan seperti Microsoft untuk mencari solusi teknologi yang menguntungkan bagi perusahaan baik ke dalam maupun ke luar dalam kaitannya dengan persaingan pasar internasional.

Namun dalam prosesnya, hal ini sering mengorbankan tenaga kerja manusia yang tidak mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi. Akibatnya, globalisasi juga dapat mempercepat transformasi sosial di mana keterampilan manusia menjadi kurang relevan di dunia yang semakin didominasi oleh otomatisasi dan AI.

Peran Manusia

Meskipun kecerdasan buatan semakin menarik perhatian dan dinilai lebih efisien dalam melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan manusia, bukan berarti peran manusia dapat sepenuhnya dihilangkan dalam dunia kerja. Cara kerja kecerdasan buatan masih belum bisa dapat dikatakan sempurna secara keseluruhan karena masih butuh sentuhan manusia. Kecerdasan buatan memang terlihat mampu menyusun strategi dan mengambil keputusan.

Nyatanya, kecerdasan buatan hanya berbekal program dan perintah-perintah yang tersusun dari kode-kode. Tentu saja kecerdasan buatan belum bisa mengalahkan pemikiran kritis, daya analitis, dan imajinasi serta kreativitas manusia yang orisinal untuk dapat memberikan hasil kerja yang maksimal. Kecerdasan buatan tetap butuh pemicu dari manusia untuk dapat memunculkan sistem dan hasil pemrograman yang mereka miliki.

Kualitas dari kecerdasan buatan juga masih harus dikontrol oleh manusia. Di beberapa bidang tertentu, sistem dan robot tidak dapat mengevaluasi hasil kerjanya sendiri, sehingga manusia masih dibutuhkan untuk memastikan mereka bekerja dengan optimal. Seorang pengacara adalah salah satu contoh bahwa kecerdasan buatan tidak bisa menggantikan pekerjaan manusia sepenuhnya.

Pengacara merupakan seorang profesional hukum yang berfungsi untuk merepresentasikan dan melindungi hak-hak klien dalam berbagai proses hukum. Dengan itu, seorang pengacara harus berinteraksi secara langsung dengan kliennya, hakim, maupun tim pendamping. Interaksi yang dilakukan tidak hanya sebatas formal, tetapi juga personal, yang memerlukan empati dan kemampuan membaca situasi klien. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh kecerdasan buatan karena AI atau robot hanya sebatas perangkat mencari informasi tanpa adanya sentuhan manusia.

Mempertahankan Lapangan Kerja

Di Indonesia, beberapa lembaga pemerintahan sudah memastikan bahwa pemberdayaan teknologi sebisa mungkin akan lebih dikondisikan, dengan harapan mempertahankan lapangan kerja dan menekan angka pengangguran untuk para karyawan. Kemendikbud mengatakan bahwa teknologi akan lebih difokuskan untuk "mendukung" pekerjaan manusia, bukan menggantikan sepenuhnya. Alasannya adalah karena "sentuhan manusia merupakan kunci penting dalam pemanfaatan teknologi".

Selain itu, Kominfo melalui Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan pada 19 Desember 2023 terkait etika penggunaan teknologi juga memperkuat pernyataan yang diberikan Kemendikbud serta menambah dimensi hukum pada regulasi pemberdayaan teknologi di Indonesia. Poin-poin yang diutamakan dalam pemberdayaan teknologi adalah inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, aksesibilitas, transparansi, kredibilitas dan akuntabilitas, perlindungan data pribadi, pembangunan dan lingkungan yang berkelanjutan, dan kekayaan intelektual.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidaklah mungkin teknologi dapat sepenuhnya mengambil alih pekerjaan manusia melainkan mereka hanya dapat semakin mempermudah manusia dalam melakukan pekerjaan. Untuk dapat terus bereksistensi dalam dunia kerja, sangatlah penting untuk mengasah kemampuan berpikir kreatif dan analitis. Begitu pula dengan kecakapan karakter seperti daya tahan, fleksibilitas, dan ketangkasan, juga dapat menjadi bekal agar dapat bertahan di dunia yang sudah semakin canggih.

Manusia seharusnya tidak melihat kemajuan teknologi sebagai saingan namun perlu membekali diri dengan kemampuan memahami dan mengoperasikan kecerdasan buatan serta mempelajari keterampilan yang relevan dengan teknologi ini agar dapat berkolaborasi dengan baik. Selalu tanggap terhadap perkembangan terkini dari teknologi juga dapat menjadi solusi memaksimalkan pemanfaatannya dalam pekerjaan.

Yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa secanggih apapun suatu perkembangan teknologi, itu semua buatan manusia. Buatan kita, hasil olah dan daya cipta kita sebagai dampak positif dari kemajuan daya pikir dan tingginya tingkat pendidikan yang kita telah tempuh. Kita yang harus bisa memberikan kontrol terhadap kemajuan teknologi yang kita ciptakan buah-buah dari perkembangan pemikiran-pemikiran kita, demi keberlangsungan hidup umat manusia. Dalam bahasa candaan yang lebih bisa kita semua pahami: jangan sampai kita diperbudak oleh budak yang kita hasilkan.

Gabriel Cyrillus Lesmana Koban, Audrey Krisdiani Panggabean, Nathanael Dimaz Fianto siswa SMA Kolese Gonzaga, Jakarta

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial