Penyandang Disabilitas dan Bunga Matahari di Berlin

3 weeks ago 11

Jakarta -

Pada 11-15 Oktober 2024 saya dan sejumlah teman mendapat undangan untuk mengikuti Simposium di Akkon University dan World Health Summit 2024 di Berlin, Jerman. Undangan ini tentu sangat membanggakan, sekaligus menggelisahkan. Kenapa? Bukan cuma karena baru pertama kali itu saya akan bepergian ke Eropa yang menyita waktu penerbangan belasan jam. Saya juga pasien dengan Mayor Depressive Disorder.

Sebelum berangkat saya mencari tahu seputar kondisi dan layanan Kota Berlin. Rupanya salah satu Kota Pelajar terbaik di Eropa ini menyediakan fasilitas yang sangat inklusif. Salah satunya berupa tanda pengenal yang dikenakan oleh individu dengan disabilitas tersembunyi atau tidak terlihat secara fisik. Disabilitas ini mencakup berbagai kondisi seperti autisme, gangguan belajar, gangguan kesehatan mental, atau kondisi medis lainnya yang tidak selalu terlihat oleh orang lain.

Tanda pengenal dimaksud adalah 'Sunflower Lanyard' atau kalung dan kartu semacam identitas bergambar Bunga Matahari. Identitas ini sengaja dirancang untuk memberi sinyal kepada staf layanan di ruang-ruang publik, seperti stasiun dan bandara bahwa seseorang mungkin memerlukan bantuan atau pendampingan ekstra. Misalnya, mereka mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk memahami instruksi, membutuhkan ruang tambahan di sekitar mereka, atau mungkin tidak mampu menghadapi situasi yang terlalu ramai.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Begitulah, saat tiba di Bandara Internasional Berlin Brandenburg, saya langsung memintanya dengan mudah dan gratis di bagian informasi. Tidak perlu menunjukkan surat keterangan ataupun sejenisnya. Juga tanpa menyebutkan diagnosis dan surat keterangan dokter / psikolog. Setiap penumpang yang memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas tersembunyi dapat mengenakan lanyard ini untuk mendapatkan layanan yang lebih ramah dan inklusif selama proses check-in, boarding, atau penanganan bagasi.

Terkait Bunga Matahari, secara filosofis merupakan simbol yang melambangkan keceriaan dan keterbukaan. Namun juga mencerminkan bahwa ada sesuatu yang 'tersembunyi di dalam' yang tidak selalu terlihat oleh mata. Itu sebabnya lanyard ini digunakan untuk kondisi-kondisi yang tidak tampak secara fisik tapi berdampak besar pada kehidupan sehari-hari seseorang.

Inisiatif Sunflower Lanyard pertama kali diperkenalkan di Bandara Gatwick, Inggris pada 2016. Sejak itu telah diadopsi oleh banyak negara, termasuk Jerman. Berlin, sebagai kota besar yang ramah terhadap inklusivitas, juga telah mengadopsi penggunaan Sunflower Lanyard di berbagai fasilitas umum.

Selama beberapa hari di Berlin, saya menyimpulkan kota ini bisa menjadi tempat yang cocok untuk kaum autistik. Kota ini memiliki layanan kesehatan yang maju, pendidikan inklusif, dan fasilitas umum ramah disabilitas yang memberikan peluang bagi individu autistik dapat berkembang dengan baik.

Meskipun lingkungan perkotaannya penuh dengan rangsangan sensori dan ritme kehidupan yang cepat dapat menjadi tantangan sendiri bagi autistik, namun dengan penerimaan lingkungan yang baik tantangan tersebut akan lebih mudah untuk dihadapi.

Berlin memiliki beberapa institusi terkemuka yang melakukan penelitian terkait autism. Salah satunya adalah Charité - Universitätsmedizin Berlin. Rumah sakit universitas terbesar di Eropa ini terkenal dengan departemen riset neurologi dan psikiatri anak yang fokus pada gangguan perkembangan saraf, termasuk autisme. Sebagai peneliti dengan fokus riset seputar autism saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkunjung ke Charite.

Saya sempat mengutarakan tentang proyek riset seputar Autisme. Mereka menyambut baik, karena memang di Charite ada proyek spesifik yang meneliti autisme. Dalam kegiatan Simposium saya memaparkan hasil penelitian tentang korelasi infeksi CMV dengan gejala klinis autisme pada anak-anak autistik 2-5 tahun di Jakarta.

Kembali soal fasilitas yang ramah terhadap penyandang disabilitas saya jumpa juga di ruang publik selain bandara. Beberapa kali saya bertemu dengan penyandang cerebral palsy di transportasi umum. Baik di bus ataupun kereta. Saat turun dari kereta, nyaris tidak ada gap/jarak, sehingga sangat aman untuk pengguna kursi roda. Begitu juga dengan bus. Di sana bus akan memiringkan badannya saat kita turun, sehingga lantai bus sejajar dengan trotoar.

Sebagai ibu dari seorang autistik berusia 12 tahun, saya tentu berharap di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia pelan-pelan bisa mengadopsi bagaimana Berlin menerapkan aturan untuk pelayanan pada hidden disability. Sebelum Idul Fitri 2024, saat dengar pendapat dengan Ketua Komnas Disabilitas, Ibu Dante, beliau sempat mencetuskan soal ide memberikan Pin Bunga Matahari bagi penyandang disabilitas yang tidak terlihat. Semoga segera terealisasikan, sehingga apapun jenis disabilitasnya dapat merasakan manfaat yang sama di negara ini.

Sudah bukan saatnya kita pura-pura tidak melihat orang-orang dengan 'Disabilitas Tak Terlihat'. Mereka punya hak yang sama untuk dapat bertumbuh dan berkembang menjadi manusia utuh yang bermanfaat untuk sekitar. Fakultas Kedokteran UI telah berhasil menunjukkan inklusifitas itu terhadap saya. Memberi kepercayaan untuk menunjukkan keunggulan yang saya miliki. Saya juga berharap kelak di masa depan, kesempatan yang sama juga di dapat oleh anak saya yang memiliki kondisi autistik.

Isti Anindya. Mahasiswi doktoral Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran UI.

(rdp/rdp)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial