Jakarta -
Kementerian Kebudayaan di bawah Fadli Zon membuat gebrakan awal dalam dunia historiografi (penulisan sejarah) Indonesia. Mereka memiliki rencana untuk penulisan ulang buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) pada momen perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia 2025. Kegiatan itu di bawah koordinasi Direktorat Sejarah dan Permuseuman Kementerian Kebudayaan dengan menggandeng para sejarawan ternama di Tanah Air. Revisi buku SNI ini akan menambah data dan juga mengoreksi sesuai materi berdasarkan hasil penelitian terbaru dalam bidang kesejarahan.
Menulis sejarah, terutama sejarah nasional, bukan hanya sekadar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga kegiatan yang bermakna politis. Berbagai klaim mengenai asal-usul, kedaulatan wilayah, legitimasi pemegang kekuasaan, status pahlawan nasional, siapa musuh dan siapa korban, peran atau nasib pengkhianat dan penjahat, siapa kaum elite dan kelompok tersisih, sudah lama menjadi pokok perdebatan sejarah, baik bagi pelaku politik maupun sejarawan.
Penulisan sejarah dan klaim akan kebenaran (truth-claims) tentang masa lampau menjadi demikian penting karena sejarah dianggap sebagai dasar kesadaran sejarah yang fungsinya untuk memperkokoh identitas nasional atau kolektif (Nordholt, dkk, 2008). Di buku SNI yang diterbitkan pada masa Orde Baru, terlihat jelas keberpihakan dan ketidakberimbangan informasi kesejarahan yang disampaikan. Adanya peranan negara dalam proses penulisan sejarah, para sejarawan kritis telah menunjukkan bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam suara dari pihak-pihak yang dianggap mengganggu dan mengancam pemerintahan militer yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah Orde Baru jatuh, muncul sejumlah upaya untuk menulis ulang sejarah, masing-masing dengan persepsinya tentang apa yang harus disorot dan mana yang harus dihapus, pelaku-pelaku mana yang dianggap memainkan peranan utama dan mana yang kurang berarti dalam perjalanan sejarah. Pemerintah Orde Baru mengendalikan dan mengkoordinasi alur-alur kebenaran tertentu (Purwanto, 2008).
Tantangan dalam Revisi
Revisi buku SNI merupakan upaya strategis untuk memperkuat jati diri bangsa melalui penguatan kesadaran sejarah. Mengutip Sartono Kartodirjo, sejarah nasional adalah simbol dari identitas nasional yang secara logis akan sangat mudah terjerumus pada egosentrisme dan kecenderungan memihak. Penulisan sejarah nasional yang sesuai fakta sejarah bisa dilakukan. Kata kuncinya adalah para sejarawan Indonesia yang dipercaya menulis buku SNI harus berani dan mampu mendekonstruksi secara nasional wacana dari historiografi yang ada sekarang sehingga mampu merekonstruksi masa lalu Indonesia mendekati peristiwa objektif.
Hal yang pertama dilakukan dalam rencana penulisan ulang atau revisi buku SNI; pertama, Kementerian Kebudayaan memilih penulis dari sejarawan terbaik di Tanah Air. Mereka yang dipilih bukan dari faktor kedekatan dengan pejabat Kementerian Kebudayaan. Pengalaman penulisan buku babon atau buku proyek pemerintah, dipilih penulis yang mudah dikondisikan oleh pemilik anggaran.
Kedua, menginventarisasi materi yang akan ditambahkan dalam buku SNI nantinya. Hal ini penting karena penulisan ada batasan waktu dan konsep penulisan berbentuk revisi atau dengan kata lain tidak menulis dari nol lagi.
Revisi penulisan buku menjadi penting karena beberapa alasan yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kebutuhan untuk inklusivitas, dan pembaruan perspektif. Pasalnya, sejarah adalah ilmu yang terus berkembang seiring dengan penemuan-penemuan baru, baik melalui penelitian maupun dokumen-dokumen sejarah yang sebelumnya tidak terungkap. Data baru ini sering memberikan perspektif berbeda atau melengkapi narasi yang sudah ada.
Ada banyak fakta sejarah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian atau bahkan tidak dimasukkan dalam buku SNI karena keterbatasan sumber atau kebijakan penulisan pada masa itu. Misalnya, Kerajaan Riau Lingga yang awalnya cikal bakal dari Kerajaan Kerajaan Johor Riau Lingga Pahang yang berpusat di Kepulauan Riau dan berkuasa pada 1722-1913 tidak ada dalam buku SNI. Hal yang inkonsisten terjadi saat kerajaannya tidak ada dalam narasi buku, namun tiga tokoh dari kerajaan ini, yakni Sultan Mahmud Riayat Syah, Raja Haji Fisabilillah, dan Raja Ali Haji ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Faktanya, dalam buku SNI yang ada, peristiwa atau tokoh dari wilayah luar Jawa sering kurang terwakili. Padahal, daerah-daerah seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua memiliki kontribusi signifikan dalam perjalanan sejarah Indonesia. Selain itu, penulisan sejarah pada masa lalu sering dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa. Sejarah yang disusun pada era Orde Baru, misalnya, cenderung memusatkan narasi pada peran pemerintah pusat dan mengabaikan perjuangan lokal atau perlawanan terhadap kekuasaan.
Dengan revisi, sejarah bisa ditulis lebih netral, memberikan ruang pada suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan, termasuk dari kelompok etnis, agama, dan gender yang jarang diangkat. Indonesia memiliki sejarah panjang yang melibatkan berbagai etnis, budaya, dan agama. Buku sejarah nasional perlu mencerminkan keberagaman tersebut untuk memberikan pemahaman yang lebih holistik tentang Indonesia.
Kita perlu mengapresiasi rencana besar Kementerian Kebudayaan yang akan merevisi ulang sejarah nasional Indonesia melalui penulisan ulang buku SNI. Kementerian baru ini sebelumnya sudah membuat kebijakan baru menghidupkan lagi Direktorat Sejarah dan Museum yang sudah lama dihapuskan. Rencana mengembalikan pendidikan sejarah sebagai mata pelajaran wajib di sekolah juga perlu didukung.
Dengan menambahkan data terbaru dan memperluas cakupan peristiwa serta tokoh, Sejarah Nasional Indonesia bisa menjadi lebih inklusif, akurat, dan relevan, sehingga mampu menggambarkan perjalanan bangsa Indonesia dengan lebih lengkap. Revisi ini juga akan memperkaya wawasan masyarakat dan memperkuat rasa kebangsaan.
Buku revisi SNI juga penting khususnya bagi generasi muda karena mereka membutuhkan sejarah yang relevan dan dapat menghubungkan mereka dengan akar budaya serta identitas nasional. Buku sejarah yang terlalu kaku atau penuh dengan narasi heroik tanpa pembaruan data akan terasa usang bagi pembaca muda.
Dedi Arman peneliti sejarah di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Kepulauan Riau
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu