Paradoks Penghematan Anggaran Pemerintah

1 week ago 12

Jakarta -

Presiden Prabowo telah memberi arahan kepada Menteri Keuangan untuk melakukan pemangkasan alokasi anggaran yang konsumtif pada APBN 2025, khususnya belanja perjalanan dinas dan seremonial dengan maksud untuk meningkatkan dukungan pemerintah pada investasi, hilirisasi, dan industrialisasi. Konon pemotongan belanja perjalanan dinas akan menghemat Rp 20 triliun.

Menteri Keuangan bahkan telah menindaklanjuti arahan Presiden dengan membuat surat kepada seluruh menteri/pimpinan lembaga untuk melakukan penundaan sementara proses perikatan/kontrak barang/jasa, terutama dari jenis belanja barang dan belanja modal. Sebelumnya, konon pemerintah telah berhasil menghemat 50% sisa anggaran belanja perjalanan dinas pada November 2024 sebesar Rp 3,6 triliun.

Kita berharap keputusan kebijakan penghematan itu bukan seperti kata peribahasa, hangat-hangat tahi ayam. Seperti dejavu, memori kembali ke ingatan pada 2014, saat saya mengusulkan kepada Menteri PANRB saat itu, Yuddy Chrisnandi, untuk melarang kegiatan rapat dan segala pertemuan di hotel apabila kantor/gedung pemerintah cukup tersedia. Usulan tersebut diterima, sehingga terbitlah Surat Edaran Menteri PNRB No. 11/2014 tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor. Walhasil, pemerintah menghemat Rp 5,12 triliun dalam dua bulan kebijakan itu diimplementasikan.

Mengapa kebijakan larangan rapat di hotel atau di luar kantor akhirnya diterminasi? Protes dan demonstrasi dari pengusaha dan karyawan di sektor bisnis perhotelan dan restoran yang tergabung dalam PHRI bertubi-tubi menghantam pemerintah. Sebagian besar hotel mengandalkan MICE dan perjalanan dinas, dimana kegiatan pemerintah dalam bentuk MICE dan perjalanan dinas, baik pemerintah pusat maupun daerah sekurang-kurangnya menyumbang 80 persen pendapatan hotel (sumber: PHRI). Sudah pasti hotel akan bertumbangan jika kebijakan larangan rapat di hotel atau di luar kantor terus diterapkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayang seribu sayang, kebijakan larangan rapat di luar kantor tidak mendapat dukungan Presiden Joko Widodo kala itu. Sehingga, Menteri PANRB harus berbesar hati tidak meneruskan kebijakan itu. Seandainya Presiden kala itu mendukung, maka pemerintah dapat mencari dan membuat jalan keluar terhadap potensi hilangnya pendapatan hotel sebesar 80 persen, khususnya jalan keluar untuk memindahkan tenaga kerja yang di-PHK oleh sektor perhotelan ke sektor lainnya.

Yang Terjadi Saat Ini

Lepas dari ingatan dejavu itu, kita coba menilik yang terjadi saat ini. Kebijakan penghematan saat ini benar-benar dimulai dan dideklarasikan langsung oleh Presiden Prabowo. Suatu kabar baik, dan semoga bukan oase fatamorgana, karena pemerintah sekali lagi harus menghadapi shifting ekonomi yang terjadi sebagai dampak kebijakan efisiensi.

Argentina lebih ekstrem dengan memecat 30 ribu pegawai pemerintah, dan berhasil surplus anggaran sebesar 1,8 persen dari PDB. Namun, untuk apa dana surplus itu? Apabila mengendap dan tidak digerakkan dalam perekonomian maka kita akan terjebak dalam "paradoks berhemat" atau Paradox of Thrift. Ekonomi akan melambat, dan target pertumbuhan pemerintahan Prabowo sebesar 8 persen akan gagal tercapai. Daya beli menurun, output produksi tidak terserap, pemutusan hubungan kerja dan pengangguran, serta kerugian dunia usaha, pada akhirnya resesi ekonomi.

Oleh karena itu, pemangkasan dan penghematan anggaran harus dilakukan dengan memastikan dana hasil pemangkasan atau penghematan dialokasikan secara tepat, baik untuk belanja produktif maupun investasi pemerintah, tidak mengendap sebagai surplus anggaran. Sekalipun untuk alokasi belanja konsumtif lainnya seperti makan bergizi, harus dipastikan dampak shifting ekonomi akibat pergeseran sektoral dapat ditangani secara baik dengan kebijakan sektor riil yang tepat.

Saat belanja barang dan belanja modal dipotong, maka berapa banyak penyedia barang/jasa bagi pemerintah yang akan terdampak. Belanja pemerintah pusat, menurut data, menyumbang 14,9 persen dari PDB. Jika 1,29 persen dari PDB adalah belanja pegawai, maka belanja selain pegawai sebesar 13,61 persen. Jika dihemat 50 persen, maka berpotensi membuat penurunan usaha penyedia barang/jasa pemerintah sebesar 50 persen dan secara keseluruhan ekonomi (pelaku ekonomi) sebesar 6,8 persen (50 persen dari 13,61 persen).

Hal itu terjadi dengan asumsi dana penghematan tidak dimasukkan dalam kegiatan ekonomi seperti penyertaan modal negara atau investasi pemerintah lainnya, yang mana hal itu menjadi komitmen Presiden Prabowo sebagai alas diterbitkannya kebijakan efisiensi, yaitu mendukung investasi, hilirisasi, dan industrialisasi.

Meskipun pemerintah menggunakan dana penghematan untuk investasi, tetap saja ancaman shifting ekonomi secara radikal dan ekstrem bakal terjadi. Akan berpindah ke sektor usaha mana lagi, sebanyak 50 persen pengusaha dan karyawan pelaku usaha penyedia barang/jasa pemerintah? Bisa jadi ratusan ribu karyawan yang akan terdampak. Tidak mudah untuk shifting dari sektor usaha penyedia barang/jasa pemerintah ke sektor lainnya non penyedia barang/jasa pemerintah.

Shifting dengan angka 6,8 persen juga cukup meresahkan dari sisi ekonomi yang ditarget tumbuh 8 persen. Setiap shifting ekonomi pasti membutuhkan momentum yang baik. Kebijakan yang tidak spontan dan tidak sporadis tapi gradual diharapkan menjadi opsi pemerintah. Kebijakan spontan dan sporadis akan memperpendek waktu eksekusi namun memperlama upaya kuratif pada dampak negatif kebijakan.

Sebaliknya, kebijakan yang gradual akan memperlama waktu eksekusi namun mempercepat upaya kuratif pada dampak negatif kebijakan. Hal itu persis sama dengan teori momentum pada ilmu fisika, dimana semakin singkat waktu kontak antar bidang tumbukan maka akan memperkuat gaya kinetik tumbukan dan dampak kerusakan makin besar, dan juga sebaliknya.

Tidak Bergaung

Orasi dan arahan Presiden yang diterjemahkan oleh Menteri Keuangan sepertinya tidak terdengar gaung dan gemanya di kalangan pemerintah daerah. Saat pemerintah pusat dengan seluruh kantor vertikalnya mengencangkan ikat pinggang, aparatur pemerintah daerah justru melenggang indah menghabiskan anggaran perjalanan dinas pada akhir 2024, yang mengesankan subordinasi di mata sorotan publik.

Namun, kita tidak dapat menyalahkan pemerintah daerah semata, apabila Menteri Dalam Negeri tidak kencang mengikat hal itu. Bisa jadi subordinasi itu terjadi karena tidak konsistennya Presiden dalam arahannya dan tidak sama antara arahan Presiden dengan penerjemahan oleh Menkeu.

Presiden berkali-kali menyampaikan soal larangan perjalanan dinas ke luar negeri, seminar, lokakarya, simposium, dan kegiatan seremonial, namun Menkeu justru menerjemahkan lebih luas menjadi pemangkasan seluruh perjalanan dinas baik ke luar negeri maupun dalam negeri. Sedangkan kewenangan Menkeu terbatas pada belanja pemerintah pusat, dan tidak dapat memotong alokasi transfer ke daerah yang sudah diperhitungkan sesuai perundang-undangan. Sehingga pemda seolah bebas dari sentuhan surat edaran Menkeu.

Kembali lagi civil society mesti mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam memutuskan kebijakan efisiensi, pemangkasan, penghematan, refocusing, realokasi, atau apapun istilahnya. Jangan sporadis (hangat-hangat tahi ayam), dan jangan spontan dan masif. Efisiensi harus dilakukan secara gradual (bertahap) sehingga shifting ekonomi akibat efisiensi tidak bergejolak.

Tahap pertama dapat dimulai dari pemangkasan perjalanan dinas, kemudian peniadaan kegiatan seremonial atau mungkin pemerintah sekarang dapat mereplikasi dan menghidupkan kembali kebijakan larangan rapat di luar kantor. Janganlah gegabah langsung memotong (dibaca: penghentian sementara) seluruh belanja barang dan modal sebagaimana surat Menkeu kepada para Menteri dan pimpinan lembaga. Belanja perjalanan dinas akan menghidupkan secara langsung industri perhotelan dan transportasi, serta industri lainnya secara tidak langsung. Dengan dipangkasnya perjalanan dinas, pemerintah harus memastikan industri yang terdampak.

Selanjutnya, pastikan dana hasil penghematan itu dialokasikan untuk penyertaan modal negara/daerah dan investasi yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan menyerap tenaga kerja untuk menampung tenaga kerja terdampak shifting ekonomi akibat penghematan.

Jika ternyata efisiensi yang diterapkan pemerintah saat ini adalah pemangkasan satu anggaran konsumtif untuk dipindahkan ke anggaran konsumtif lainnya, maka tidak akan berdampak pada peningkatan investasi secara agregat dan nilai tambah. Kalaupun demikian, alokasi belanja konsumtif yang diharapkan adalah belanja konsumtif yang dirasakan langsung masyarakat seperti makan bergizi, dan peningkatan layanan umum seperti pendidikan dan Kesehatan, bukan proyek mercusuar seperti IKN.

Werdha Candratrilaksita mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik Universitas Diponegoro

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial