Numpang Lewat Gaji Gen Z

2 months ago 29

Bukannya Amalia Ramadhani tidak melek finansial, tapi perempuan berusia 26 tahun ini juga menyadari betapa pentingnya menyisihkan sebagian penghasilan untuk ditabung. Namun, di sisi lain, Amalia juga paham betul betapa buruk sifat borosnya. Dalam mengambil keputusan yang bakal mempengaruhi kondisi dompetnya, ia sering kali bertindak impulsif.

Ketika demam boneka viral bernama Labubu melanda generasi muda tak terkecuali Generasi Z alias Gen Z seperti dirinya, ia langsung kepincut untuk memiliki boneka yang diciptakan oleh seniman asal Hong Kong ini. Padahal Amalia tahu gajinya sebagai Social Media Management hanya lewat sedikit dari UMR Jakarta. Sementara boneka Labubu dijual dengan harga hingga jutaan bahkan tak sedikit orang berani menawar dengan harga belasan juta.

“Pertama kali tahu boneka Labubu dari postingan Lisa BLACKPINK, aku jadi kepengin beli biar kembaran kayak Lisa. Aku sampai rela ikut ngantre waktu lagi rame-ramenya,” ucap penggemar BLACKPINK, grup vocal wanita asal Korea Selatan ini.

Rasa bahagia yang meluap-luap karena berhasil memiliki boneka mungil itu hanya berlangsung sesaat. Di akhir bulan, perempuan yang indekos di Jakarta Barat ini mulai kesulitan memenuhi kebutuhannya. Yang tersisa hanyalah segudang penyesalan. Keputusan impulsif yang dilakukan Amalia bukan hanya sekali dua kali. Kemampuan mengelola uang tidak efektif sehingga sulit bagi Amalia untuk menabung.

“Kalau udah nggak ada uang di tabungan terpaksa nyicil atau checkout barang di Shopee sama Tokopedia atau beli makanan di ojek online pakai pay later dulu,” ungkapnya.

Kemajuan teknologi telah membuat akses kredit menjadi lebih mudah dan cepat. Aplikasi e-commerce memungkinkan Gen Z membeli barang secara kredit dengan cicilan yang sering kali membuat pengeluaran mereka menjadi berlebihan. Data dari TransUnion, penggunaan layanan pay later atau "beli sekarang, bayar nanti" meningkat sebesar 18% di kalangan Gen Z dalam dua tahun terakhir.

Sementara pada Agustus 2023, Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai penyaluran fintech lending mencapai Rp20,53 triliun dengan 60 persen pengguna berasal dari kalangan milenial dan Gen Z. Gen Z merupakan generasi yang lahir antara pertengahan tahun 1990-an hingga awal tahun 2010-an. Mereka antara lain berstatus sebagai anak sekolahan, anak kuliah, sedang bekerja atau sudah menikah.

Pemborosan gaya hidup berlabel self reward acap kali dilakukan Aris Setiawan, tanpa memperhatikan penghasilan dan pengelolaan keuangan yang baik. Laki-laki yang lahir dari generasi akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini kerap mencampuradukkan penghasilan untuk biaya sehari-hari dengan gaya hidup yang tidak terlalu penting. Aris sendiri getol menghabiskan pendapatannya untuk mengiayakan ajakan jalan-jalan dan nongkrong yang datang dari temen-temen seusianya.

“Mau nolak juga nggak enak, kalau keseringan nolak ajakan mereka dianggapnya udah nggak seru, lah. Next time mereka nggak bakal ngajak-ngajak lagi. Udahlah YOLO (You Only Live Once) aja sih,” kata laki-laki berusia 25 tahun ini.

Bukan Cuma Aris, banyak anak muda yang terjebak pola pikir YOLO ini atau hidup hanya sekali sehingga memilih menghamburkan uang untuk kesenangan semata. Selain itu munculnya fenomena FOMO (Fear of Missing Out), FOPO (Fear of Other People’s Opinion) sering menjadi alasan bagi Aris untuk melakukan hal impulsif tanpa memikirkan dampak jangka panjang.

Scroll TikTok paling bahaya banget deh buat gue. Kalau lihat influencer ini ngepromosiin makanan atau kuliner baru rasanya nggak mungkin buat nggak cobain. Yang terakhir tuh Coklat Dubai gue patungan berdua sama teman,” tutur Aris. Pengeluarannya dalam sebulan membengkak karena terus menerus mengikuti makanan viral di Tiktok.

Generasi Z yang tumbuh di era serba digital yang sarat dengan teknologi. Hal itu turut mengubah cara mereka berbelanja, berinteraksi, dan berkonsumsi. Menurut survei yang dilakukan oleh Bank of America pada tahun 2021, sebanyak 49% dari Gen Z mengaku mereka keputusan belanja mereka dipengaruhi oleh media sosial secara signifikan.

Platform digital seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, paparan iklan dan influencer yang terjadi di dalam platform itu terus mempromosikan gaya hidup konsumtif, sehingga membuat Gen Z ikutan mengejar tren terbaru dengan membeli produk-produk yang sebenarnya tidak terlalu mereka butuhkan.

Gen Z hadir saat kondisi dunia sedang tidak menguntungkan. Sebagian dari mereka memasuki dunia kerja ketika pandemi Covid-19 melanda. Hal ini telah menciptakan ketidakpastian finansial bagi mereka, kesulitan menabung dan bahkan memenuhi kebutuhan dasar. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami pengangguran, penurunan penghasilan selama periode itu berikut pemotongan jam kerja.

Menurut Giovanna González, penulis Cultura & Cash: Lessons From the First Gen Mentor for Managing Finances & Cultural Expectations dalam laporan ‘’Three Ways to Avoid Doom Spending’’ yang dipublikasikan website aboutschwab.com, dalam kondisi demikian, mereka memilih menghilang perasaan cemas dengan melakukan keputusan finansial yang tidak masuk akal.

“Pengeluaran yang tidak masuk akal adalah menanggapi pandangan yang buruk tentang masa depan keuangan Anda atau planet tempat kita tinggal dengan mengatakan, '’Apa gunanya menabung untuk masa depan?'” jelas Giovanna González. “Pikirannya adalah, ‘Saya akan menghabiskan uang untuk saat ini dan tidak perlu khawatir tentang tujuan jangka panjang seperti pensiun atau membeli rumah’,”.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial