Netizen: Impersonalitas, Agresivitas, Rasio

2 months ago 31

Jakarta -

Manusia adalah makhluk sosial. Hal ini selalu ditandai dengan interaksinya dengan manusia yang lain. Heidegger dalam Letter on Humanism mengatakan bahwa dalam kesehariannya manusia hidup di dunia ini adalah "ada-dengan-yang lain" (mitdasein). Eksistensi manusia di dunia adalah "ada-bersama" dengan yang lain; dunia dihayati bersama orang lain.

Setiap eksistensi seorang manusia tergantung kepada manusia lain. Hal tersebut memiliki konsekuensi etis bahwa manusia hidup di dunia ini memiliki keprihatinan sekaligus kepedulian terhadap manusia lain, termasuk saat berinteraksi dalam media sosial. Keprihatinan dan kepedulian antarmanusia dalam berinteraksi di media sosial ditandai dengan mengetahui akun media sosial orang lain, bahkan jika dirasa perlu mengikuti akun tersebut dan berkomentar, termasuk menyanjung dan menghujat.

Netizen

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itulah yang dilakukan netizen dalam kesehariannya berinteraksi di media sosial. Netizen adalah sebuah istilah yang ditujukan kepada kerumunan anonim di media sosial. Mereka memiliki satu ciri khas: selalu "perhatian" (concern) dengan yang lain. "Perhatian" netizen selalu tertuju di setiap hal yang terkait dengan kehidupan pribadi artis, selebgram, seleb tiktok, pejabat, dan ilmuwan. Jika itu dinilai menarik, maka netizen berbondong-bondong memberikan komentar hingga menjadi berita viral.

Di sini, netizen menjadi impersonal. Impersonal, menurut Heidegger, ada dalam kehidupan sosial sehari-hari. Impersonal berarti "menyamaratakan". Setiap orang seperti yang lain. Aku adalah netizen, dan netizen adalah aku. Manusia menjadi tidak autentik. Ia tidak memiliki "diri", karena "diri"-nya termasuk yang lain. Perbedaan pun lenyap. Manusia menjadi tidak mandiri dalam keseharian. Kita tak pernah lepas dari yang impersonal. Sebab, yang impersonal memberikan rasa aman, ketenangan, dan jaminan.

Bagi Heidegger, yang impersonal mengatur individu untuk menghilangkan tanggung jawab pribadi. Hal ini terlihat dari agresivitas netizen dalam berkomentar di media sosial orang lain. Saya masih mengingat kuat bagaimana agresivitas netizen kepada Erina Gudono, sang menantu Presiden Jokowi, yang memamerkan foto jendela pesawat jet Gulfstream G650ER pada 18 Agustus di Instagram-nya bersamaan dengan maraknya demo pilkada.

Melukai Perasaan Rakyat

Sikap Erina menyulut kemarahan netizen karena dinilai telah melukai perasaan rakyat. Sosoknya berubah menjadi musuh bersama. Hujatan demi hujatan warganet ditujukan ke dalam kolom komentar Instagram-nya hingga mencapai 6.489 komentar untuk satu foto. Agresivitas netizen semakin berkembang setelah melacak kehidupan Erina pada masa lalu melalui jejak digital hingga muncul perundungan padanya berupa "bau ketek", "tukang tipu", "tukang pamer", "vibes kabupaten".

Perilaku agresif warganet semakin menjadi-jadi dan meluas ke relasi terdekatnya, termasuk Kaesang, sang suami, yang dirundung dengan olok-olokan "anak presiden minta kerjaan", Jokowi, sang mertua, pun diolok-olok dengan julukan "Mulyono" yang berasal dari nama lahir Jokowi, dan jejak digital akun "fufufafa" yang diduga milik Gibran, sang abang ipar, di situs Kaskus.

Dalam kasus viral Erina, kita memahami bagaimana agresifnya individu per individu yang tergabung dalam kerumunan anonim bernama netizen. Di sini, tanggung jawab pribadi individu hilang dalam serangkaian agresivitas netizen. Tidak ada satu pun yang mengaku bertanggung atas tindakan agresif tersebut. Tindakan agresif individu per individu berubah menjadi kekuatan destruktif.

Dalam buku Freedom Made Flesh: The Mission of Christ and His Chruch (1976), Ignacio Ellacuria menyebutnya sebagai "kekuatan demonik", dalam hal ini kekerasan verbal hingga kekerasan simbolik. Berawal dari kekerasan verbal yang diucapkan individu seperti kata-kata perundungan yang ditujukan kepada Erina berupa "bau ketek", lalu kata-kata tersebut diikuti oleh banyak orang, hingga masyarakat menjadi terbiasa dan menganggap biasa olok-olokan tersebut.

Kekerasan

Menurut Ellacuria, agresivitas yang spesifik manusia adalah kekerasan. Agresivitas yang dihomonisasikan, apabila tidak dihumanisasikan, akan menjadi kekerasan. Di sinilah, rasio diperlukan untuk menuntun manusia mempertanyakan mengapa dan untuk apa ia melakukan tindakan agresif. Dengan rasio, manusia dituntut untuk mampu berpikir jernih dan mengendalikan dirinya sehingga perilaku agresifnya dapat dicegah dan tidak berujung pada kekerasan.

Dengan rasio, perilaku agresif manusia memiliki tuntutan etis dan harus disertai tanggung jawab. Prinsip etis dalam bermedia sosial telah dilupakan netizen Indonesia. Sebab, rasio tidak lagi berperan penting sehingga perilaku agresif mereka menjadi "kekuatan demonik", kekerasan destruktif yang tidak terkendali, mulai dari kekerasan verbal hingga kekerasan simbolik.

Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap individu untuk bijak dalam bermedia sosial. Penting sekali bagi setiap individu menggunakan rasio demi mencegah tindakan agresif seperti menghujat dan merundung orang lain.

Herlina guru

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial