MK Tolak Gugatan Pindah Memilih di Luar Daerah Pilkada

2 days ago 7

Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan mengenai aturan pindah memilih dalam pilkada. MK menilai pemohon telah mencampuradukkan sistem pemilihan konvensional dan sistem pemilihan elektronik.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang MK dengan perkara 137/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2024). Perkara tersebut menguji materiil Pasal 62 ayat (1) Juncto Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam gugatannya, Pemohon meminta agar pemilih di luar daerah Pilkada dapat mengajukan pindah memilih, agar tidak kehilangan hak memilihnya. Pemohon menilai cara pengambilan suara dapat melalui metode e-voting (elektronik voting), i-voting (internet voting), atau proxy voting (kuasa perwakilan).

Namun, terhadap gugatan tersebut, MK berpandangan aturan pindah memilih dalam pilkada hanya dapat berlaku dalam satu daerah pemilihan yang sama. MK menilai jika pemilih berada di luar daerah pemilihan, maka hak pilihnya sudah tidak berlaku.

"Pertimbangan Mahkamah dimaksud juga sekaligus menjawab mengenai alternatif cara pemilihan yang diajukan para pemohon yakni memberikan hak pilih dengan mengubah daerah pemilihan," kata Hakim MK Guntur Hamzah.

"Alternatif demikian, jika tidak disertakan dengan perpindahan domisili pemilih tentu akan merusak kemurnian sistem pemilihan berbasis daerah pemilihan (baik provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur maupun kabupaten/kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota) dan sekaligus membuat sistem pertanggungjawaban kepala daerah tepilh kepada pemilih yang memang berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan menjadi tidak jelas," sambungnya.

Guntur menyatakan penentuan metode pemilihan bukan merupakan kewenangan MK. Guntur mengatakan pihaknya meminta agar DPR dan pemerintah selaku pembentuk UU dapat memperhatikan metode pemilihan saat revisi UU Pilkada.

"Dalam kaitan ini, demi melindungi hak pilih pemilih yang merupakan hak konstitusional warga negara, persoalan yang dikemukakan para Pemohon harus mendapat perhatian pembentuk undang-undang untuk diatur dalam perubahan undang-undang pemilu ke depan, in casu pilkada serentak Tahun 2029 dan seterusnya," jelasnya.

Selain itu, Guntur mengatakan pemohon telah mencampuradukkan sistem pemilihan konvensional dengan sistem pemilihan elektronik. MK berpandangan penggunaan sistem pemilihan elektronik dapat digunakan dalam batas penalaran yang wajar dan tidak melanggar prinsip asas pemilu.

"Adapun permohonan para Pemohon agar frasa "di TPS lain" ditafsirkan, "termasuk di TPS luar daerah provinsi asal, dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal, melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik kabupaten/kota asal, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b, atau melalui kuasa/perwakilan (proxy voting)", sehingga Pasal 95 ayat (2) UU 8/2015 selengkapnya menjadi, "Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS luar daerah provinsi asal, dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal, melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b, atau melalui kuasa/perwakilan (proxy voting) dengan menunjukkan surat pemberitahuan dari PPS untuk memberikan suara di TPS lain", adalah petitum permohonan yang mispersepsi karena mencampuradukkan antara sistem pemilihan yang konvensional dengan sistem pemilihan yang memanfaatkan peralatan secara elektronik dan sistem pemilihan yang lain (proxy voting) sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.11.2] di atas," ujarnya.

"Sehingga pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis juga berlaku pada dalil a quo dan oleh karenanya permohonan para pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum," imbuhnya.

(amw/whn)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial