Jakarta -
Di depan pejabat politik dalam negeri dan luar negeri, Presiden Prabowo Subianto gagah menyampaikan visinya yang lebih tegas dan jelas. Sebagai pidato politik dan kenegaraan, narasi-narasi yang diungkapkan Prabowo cukup masuk akal jika ditanggapi serius oleh publik. Komitmen untuk membangun sektor-sektor strategis negara diungkapkannya dengan penekanan yang amat jelas bahwa Prabowo ingin mewujudkan Indonesia yang lebih mandiri dalam sektor-sektor krusial negara.
Komitmen ini mengingatkan seluruh pejabat publik tentang apa yang Prabowo maksud dengan harga diri bangsa. Masih lekat dalam ingatan dan tertulis jelas dalam Astacita-nya, Prabowo dalam kepemimpinan ini ingin mewujudkan swasembada energi.
Swasembada energi tentu bukan janji baru yang diucapkan, atau dengan kata lain, Prabowo bukan presiden pertama yang menjanjikan swasembada energi. Dalam acara launching Kerja Sama Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan Cascade antara PT Kayan Hydro Energi dan Sumitomo Corporation di Jakarta, Kamis (6/10), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo memprioritaskan pengembangan transisi energi menggunakan EBT. Komitmen Jokowi ini tentu saja merupakan usahanya mewujudkan swasembada energi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, agenda transisi energi tidak mudah diakselerasi di Indonesia. Kita tahu swasembada energi adalah keadaan terakhir jika usaha transisi energi kita saat ini berhasil, artinya pekerjaan mewujudkan swasembada energi masih cukup panjang. Swasembada sangat berkorelasi dengan kemandirian dan usaha membangun tata kelola pembangunan energi yang akuntabel, inovatif dan tentu saja jauh dari korupsi, serta yang tak kalah penting bahwa swasembada energi berkaitan dengan kesiapan sumber daya manusia dan bahan baku teknologi energi terbarukan yang tersedia dan siap digunakan.
Setidaknya upaya mewujudkan swasembada energi bukan jalan mudah dan singkat. Pemerintahan baru Prabowo amat perlu merumuskan dan mengatur strategi paling jitu dalam menjawab tantang di depan mata ini. Membangun Indonesia yang swasembada energi hari ini mau tak mau harus menjerumuskan pemerintahan ke dalam fakta ekonomi global yang turut mempengaruhi progres pembangunan negara. Yakni, ketersediaan bahan baku untuk energi terbarukan, infrastruktur energi yang belum
memadai, teknologi yang belum diakselerasi, dan perubahan iklim.
Tantangan Greenflation
Istilah ini dipopulerkan pertama kali di artikel The Financial Times yang ditulis oleh Ruchir Sharma pada Agustus 2021 berjudul 'Greenflation' threatens to derail climate change action. Sharma menjelaskan bahwa greenflation merujuk pada kenaikan harga logam dan mineral langka, seperti tembaga, aluminium, dan litium, yang menjadi krusial dalam industri tenaga surya, angin, mobil listrik, dan teknologi terbarukan serta rendah karbon lainnya.
Sebut saja harga litium yang kian melonjak seiring akselerasi pengembangan energi terbarukan dunia, ini cukup realistis jika suplay tidak cukup tersedia dibandingkan demand yang ada. Menurut data Asian Metal Inc, lithium karbonat melonjak ke rekor baru pada Jumat (16/9/2022) sebesar 500.500 yuan atau US$ 71.315 per ton di China. Sedangkan harga lithium hidroksida juga naik tiga kali lipat dibanding tahun lalu dan mendekati level tertinggi sepanjang masa pada April.
Bukan hal baru, tantangan greenflation akan menjadi pekerjaan rumah yang amat serius dihadapi negara. Akselerasi energi terbarukan turut berkorelasi pada meningkatnya kebutuhan negara pada bahan baku membangun alat dan infrastruktur energi. Greenflation mengartikan akan adanya ketersediaan bahan baku teknologi hijau dibandingkan permintaan yang jauh lebih besar.
Greenflation menghambat akselerasi, oleh karena itu tantangan ini perlu diselesaikan dengan kerja lembaga negara lintas sektor, negara sebagai penyedia anggaran dan kebijakan, kampus sebagai laboratorium riset juga perlu didampingi agar sains dalam bidang energi terbarukan terus berkembang kemudian memungkinkan terciptanya kemungkinan inovasi baru, atau pengelolaan industri energi terbarukan yang lebih efektif.
Selama 400 tahun, inflasi dipahami sebagai kenaikan harga. Namun, istilah yang lebih tepat dalam kasus transisi energi ini adalah inflasi berasal dari kenaikan biaya energi (Olovsson and Vestin, 2023). Greenflation pada dasarnya perlu dianalisis dengan perspektif yang menghasilkan pertanyaan ontologis, yang artinya tantangan ini memungkinkan negara memeriksa kesiapan sumber daya atau bahan baku energi hijau dalam negeri agar dapat mulai dikelola secara mandiri, kita tahu China menjadi negara yang cukup sering mengimport teknologi listrik mereka ke Indonesia, tentu dengan harga yang tinggi, ketergantungan ini akan memperlemah daya gedor negara membangun energi terbarukan jika tidak segera dipecahkan.
Memanfaatkan Sumber Daya Sendiri
Kita tidak kehilangan harapan; ketersediaan bahan baku energi hijau dalam negeri semestinya mulai bisa dimanfaatkan untuk memproduksi teknologi sendiri dengan bahan baku sendiri. Misalnya, potensi litium kita sebagai bahan baku mobil listrik atau infrastruktur listrik lainnya. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan terdapat potensi 'harta karun' berupa lithium di Indonesia yang teridentifikasi di wilayah Bledug Kuwu sebesar 1.000 PPM, Grobogan, Jawa Tengah (CNBC Indonesia, 2024). Tidak hanya di Grobogan, ada juga di Kolaka Sulawesi Selatan dan Patuha Kabupaten Bandung.
Bagi Indonesia, semestinya greenfaltion bukan masalah yang serius jika pengelolaan dan pemanfaatan bahan baku energi hijau dapat dimanfaatkan secara mandiri dengan inovasi dan produksi dalam negeri. Namun, saat ini negara belum siap mengelola bahan baku ini secara mandiri. Inilah letak tantangan memecahkan greenflation kita. Ketersediaan sumber daya tentu modal yang amat penting, usaha mengelola secara mandiri juga kunci menuju swasembada energi. Namun keadaan ini tentu tidak dapat terwujud dalam sekejam mata, perlu perencanaan, dan mekanisme penganggaran yang memadai untuk mengembangkannya.
Di sinilah juga letak tantangan pemerintahan baru saat ini. Situasi pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5% memaksa negara memprioritaskan anggarannya pada pembangunan ekonomi jangka pendek, seperti industri biasa yang cenderung tidak ramah lingkungan. Sedangkan pengembangan EBT berorientasi pada pembangunan ekonomi jangka panjang; memprioritaskan anggaran pada pengembangan EBT tentu tidak langsung menjawab tantangan ekonomi yang mendesak negara saat ini.
Pemanfaatan EBT membutuhkan waktu sampai dapat mensuplai gerak ekonomi dengan listrik energi terbarukan. Situasi inflasi banyak negara di dunia membutuhkan gerak ekonomi yang cepat. Energi fosil menjawab tantangan ini, saat ini. Inilah mengapa energi fosil terus digunakan oleh negara-negara berkembang maupun negara ekonomi menengah lainnya dan bahkan hingga kawasan Eropa. Contohnya, pada 2019, produk minyak bumi dan gas alam masih menyumbang 85 persen dari total penggunaan energi di kawasan Eropa. Secara bersamaan, perjuangan melawan perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga bahan bakar fosil menjadi lebih mahal. Inilah fakta global.
Mengakselerasi sumber daya energi hijau dengan memanfaatkan SDM dalam negeri perlu dilakukan. Langkah ini juga memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi khususnya tercipta green jobs atau "pekerjaan dalam bidang ramah lingkungan". Menurut International Labour Organization (ILO), green jobs menjadi lambang dari perekonomian dan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan mampu melestarikan lingkungan, baik untuk generasi sekarang maupun untuk generasi yang akan datang.
Jenis pekerjaan ini berkontribusi dalam upaya pelestarian lingkungan (Koaksi Indonesia, 2019). Partisipasi SDM dalam negeri mengembangkan sumber daya, memacu pertumbuhan sains dan inovasi energi terbarukan.
Sesungguhnya, dalam pemerintahan sebelumnya, green jobs telah menjadi bagian dari kerja akselerasi energi terbarukan, pada awal Desember 2018, Indonesia juga menunjukkan dukungan terhadap green jobs dalam forum ASEAN Labor Ministers Meeting (ALMM) yang mengangkat tema "Promoting Green Jobs for Equity and Inclusive Growth of ASEAN Community". Artinya, usaha ini setidaknya membentuk jalan kebijakan yang mempermudah pemerintahan baru menentukan arah kebijakan untuk membangun industri pengelolaan sumber daya teknologi hijau dan dukungan pada green jobs.
Membangun Team Work
Tantangan mewujudkan swasembada energi tentu sudah di depan mata, atau bahkan kementerian terkait tentu telah menghadapi realitas ini. Tantangan-tantangan ini bukan pekerjaan Presiden sendiri sebagai kepala negara, akselerasi energi setidaknya perlu diiringi dengan akselerasi keterhubungan agenda pembangunan dalam kementerian. Membangun energi hijau hingga sampai pada swasembada energi membutuhkan tangan bersama, akan sulit terwujud jika kementerian
bekerja dengan gagasan sendiri dan tidak mampu menerjemahkan Astacita Presiden Prabowo yang sudah sangat jelas maksudnya.
Walau membangunnya tidak dapat terwujud dalam waktu singkat, kerja bersama menjadi modal penting adanya jaminan optimisme pembangunan energi hijau di Indonesia dalam pemerintahan yang baru. Jika dijabarkan secara detail, selain tantangan ekonomi, setidaknya tantangan pembangunan sektor energi kita adalah berkaitan pada infrastruktur energi atau listrik yang belum memadai, perubahan iklim; ketersediaan angin dan air turut dipengaruhi oleh perubahan iklim, teknologi yang terbatas; rendahnya investasi dalam penelitian berkorelasi pada rendahnya inovasi, efisiensi anggaran.
Harus diakui penyerapan anggaran kita masih cukup memprihatinkan dalam berbagai sektor termasuk energi, dan tantangan fundamental lainnya seperti praktik korupsi pembangunan kita yang masih sangat tinggi. Cukup membosankan untuk terus mengingatkan setiap pemimpin dan segenap pemerintahan, bahwa korupsi adalah akar masalah pembangunan kita dalam segala lini, namun memang begitulah realitasnya, dan ini perlu terus diingatkan.
Menyelesaikan pekerjaan rumah ini butuh tekat yang kuat dan komitmen pada proses yang tentu bertahap untuk mulai membangun sektor energi. Setidaknya, pemerintah perlu memulai agenda pembangunan menuju swasembada energi dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ontologis. Mengapa akselerasi energi masih lambat di Indonesia? Apa tantangannya? Apa masalahnya? Sumber daya apa yang bisa dimanfaatkan? Bagaimana memulainya?
Pertanyaan-pertanyaan ini amat perlu digodok dalam kerja pemerintahan di waktu terdekat ini dan perlu dijawab oleh pembantu presiden, dijawab dengan kerja bersama melalui gerak nyata, program unggulan dan diferensiasi inovasi kebijakan dan tata kelola.
Ini tentu sekali lagi tidak singkat, tapi niscaya jika proses ini jika secara tekun dilalui dengan akuntabilitas, etos kerja pemerintahan yang memadai dengan tata kelola pemerintahan yang baik, komitmen semua pihak; pemerintah, NGO, dunia pendidikan, komunitas lokal dan keterlibatan masyarakat yang turut didukung dengan berkembangnya pola pikir sebagai green society pasti akan membentuk sistem atau tatanan sosial-politik-teknokratis yang menunjang tercapainya akselerasi energi terbarukan.
Agenda-agenda strategis ini perlu disampaikan presiden kepada seluruh timnya, membangun bonding team work yang memiliki visi yang jelas pada cita-cita swasembada energi. Kabar baiknya, seluruh menteri melewati retret di Akademi Militer Magelang. Semoga saja, dalam kesempatan itu, seperti akan menghadapi perang, Prabowo dan semua menterinya mulai memantapkan niat, tekat dan strategi untuk membangun bangsa yang lebih mandiri energi dengan semangat revolusioner nasionalis. Semoga demikian.
Yohanes Tola, S.T founder Kolaborasi Institut, alumnus Teknik Sistem Energi Institut Teknologi Yogyakarta, Ketua Lembaga Ekologi dan Masyarakat Adat Pengurus Pusat PMKRI Periode 2024-2026
(mmu/mmu)