Jakarta -
Judul: Theology of Hope, Mengejar Kaki Langit; Penulis: Prof. Komaruddin Hidayat; Penerbit: Penerbit Buku Kompas (Oktober 2024); Tebal: xxxviii + 198 halaman
People can withstand 40 days without food, 3 days without water, and 4 minutes without breathing. Yet without hope, life can slip away in just a second. Meskipun ungkapan ini tak mempunyai satu atribusi yang pasti, namun gagasannya sangat lekat dengan konsep pentingnya harapan (hope) bagi kelangsungan kehidupan manusia. Terkadang ada yang mengaitkan dengan tokoh terkemuka seperti Viktor Frankl, seorang psikiater dan penulis buku Man's Search for Meaning. Ia mengembangkan teori psikoterapi bernama logotherapy, yang berpusat pada pencarian makna dan harapan hidup sebagai kunci untuk bertahan serta mencapai kesehatan mental yang mumpuni.
Sangatlah penting untuk terus merawat harapan, agar selalu menemukan kebermaknaan dalam hidup serta terjaga kewarasan kita di tengah hiruk pikuk kehidupan sosial dan politik bangsa dan negara ini yang tengah dan terus berbenah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prof. Komar dikenal sangat gemar berbagi beragam refleksi melalui buku-bukunya. Kali ini refleksinya tentang harapan, kecintaan, dan juga keprihatinannya terhadap bangsa dan negara Indonesia. Harapan, dalam konteks yang luas, menjadi tema sentral dalam buku ini. Beliau menautkan antara biografi individu dengan biografi sosial, harapan dan kenyataan, kenangan dan harapan, kekecewaan dan kesukacitaan, serta kekhawatiran dan keyakinan.
Mengenai urgensi tentang menjaga sebuah harapan dalam hidup, juga ditegaskan oleh Nova Riyanti Yusuf (2023), seorang dokter Spesialis Kejiwaan, yang memasukkan hopelessness atau hilang/putusnya harapan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kasus bunuh diri.
Harapan yang Membumi
Prof. Yudi Latif memberikan pengantar yang amat komprehensif untuk buku ini. Salah satunya ia membagikan pencerahan tentang menjemput harapan. Harapan itu sesuatu bersayap yang hinggap di jiwa, menyanyikan nada tanpa kata, dan tak pernah henti sama sekali (Emily Dickinson). Harapan seperti melantunkan nyanyian kehidupan dalam dua jenis nada. Nada mayor membangkitkan "harapan positif", yang menginspirasi dan mendorong orang untuk berbuat kebajikan (amar makruf). Nada minor menghidupkan "harapan negatif", yang mendorong kesadaran orang agar terhindar dari keburukan (nahi munkar) (hal. viii)
Bingkai teologi mewarnai seluruh kisah dan penuturan dalam buku ini. Teologi yang tidak hanya berfokus pada eskatologi yang mengejar kebahagiaan di kejauhan akhirat, namun juga kebahagiaan di kedekatan dunia di sini dan saat ini. Sangat selaras dengan pesan moral Al-Quran, Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) di negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al-Qashash [28]:77)
Teologi dalam buku ini dijelaskan secara tekstual dan kontekstual. Tidak hanya terbatas pada teologi konvensional yang memahami tanda dan pesan Ilahi berdasarkan ayat-ayat yang tertulis saja (ayat qauliyah). Namun, teologi juga dimengerti melalui ayat-ayat hukum alam yang terkandung di alam raya (ayat kauniyah). Dengan demikian, ajaran agama dan ilmu pengetahuan (sains) saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. (hal. xxxvi)
Treadmill Syndrome dan Kaki Langit
Melalui sebuah analogi yang sangat pas, Prof. Komar mengharapkan bahwa perjalanan bangsa kita jangan sampai terhinggapi treadmill syndrome atau wheel hamster syndrome. Ibarat orang yang sedang melakukan olahraga jalan cepat atau lari di atas treadmill, secepat apapun dan selelah apapun lari tetap saja tidak pergi ke mana-mana alias going nowhere.
Sebagai alat olahraga, treadmill tentu saja sangat bermanfaat. Namun, sangat berbeda dengan treadmill syndrome, yang ternyata bisa menimpa tidak hanya individu, tetapi juga sebuah bangsa. Pada level individu, hal ini biasanya berkaitan dengan perilaku pejabat yang selalu berambisi menambah penghasilan dengan berbagai cara, baik itu melalui promosi, jabatan baru, atau pekerjaan sampingan (hustle job).
Sayangnya, ketika penghasilan meningkat, kebutuhan dan gaya hidup juga ikut melonjak, bahkan melampaui kenaikan penghasilan. Gaya hidup istri dan anak-anak pun turut menyesuaikan. Akibatnya, meskipun pendapatan bertambah, tetap saja terasa kurang. Ia selalu merasa kekurangan dan tidak mampu bersyukur atas anugerah Tuhan serta kesulitan untuk mengendalikan diri dan keluarganya dalam menjalani hidup sederhana sesuai penghasilan yang ada. (hal. 184)
Treadmill syndrome dalam konteks berbangsa dapat terjadi ketika suatu negara telah mengeksploitasi sumber daya alam dan mengeluarkan banyak anggaran untuk kabinet dan belanja gaji pegawai negeri, namun ekonomi tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Peningkatan anggaran negara nyatanya selalu dibarengi dengan kenaikan hutang, sehingga total anggaran pendapatan dan belanja negara terus mengalami defisit. Selain itu, treadmill syndrome juga timbul ketika banyak dana pembangunan yang disalahgunakan ataupun dikorupsi sehingga sangat menyengsarakan, baik negara maupun rakyat.
Menjelang seratus tahun kemerdekaan RI pada 2045, kita semua berharap bahwa slogan Indonesia Emas bukan sekadar ilusi, bukan hanya bayangan samar di kaki langit atau di cakrawala yang tak pernah bisa kita raih. Ini adalah kesempatan yang sangat berharga, sekaligus tantangan berat bagi para presiden di masa kini dan masa depan. Dalam 20 tahun ke depan, seabad kemerdekaan, berarti hanya akan ada dua presiden lagi, jika masing-masing menjabat dua periode. (hal. 185)
Tersimpan harapan besar, meskipun terselip juga sedikit rasa skeptis ketika mengamati keadaan bangsa dan politik saat ini. Harapan bahwa dua dekade mendatang anak cucu kita akan merayakan Indonesia Emas dengan dipenuhi rasa kebanggaan dan syukur, sambil mengenang semua pejuang serta pahlawan bangsa. Sebuah harapan indah yang layak untuk terus dirawat.
Teologi harapan merupakan sebuah keyakinan akan masa depan yang lebih baik, yang berakar pada nilai-nilai spiritual serta ajaran agama. Menggali pemahaman bahwa sejatinya harapan dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari, menyodorkan semangat dan dukungan bagi siapa saja yang sedang berjuang, serta mendorong tindakan-tindakan positif dalam masyarakat.
Lewat buku ini, kita dikuatkan agar tidak gentar menghadapi kegelapan. Dengan segenap harapan dan keyakinan, serta keteguhan hati dan kesabaran dalam menempuh gelapnya malam, semakin jauh kita melangkah, semakin dekat kita dengan datangnya fajar. Semoga!.
Sunardi Siswodiharjo peminat kajian kesehatan mental, tinggal di Kota Malang
(mmu/mmu)