Jakarta -
Senin pagi, 3 Februari 2025, saya dikejutkan dengan deringan banyak kawan-kawan yang menanyakan antrean panjang konsumen LPG bersubsidi 3 kg atau yang sering disebut LPG Melon di mana-mana. Dari berbagai pantauan media dan teman-teman lapangan, saya baru paham bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan baru tentang siapa yang dapat menjual LPG Melon kepada konsumen dan cara membelinya. Namun setelah saya baca, ini bukan peraturan baru tetapi sudah mulai dibahas sejak tahun lalu dengan tujuan merapikan siapa penerima jatah subsidi LPG Melon.
Hingga akhir Desember 2024, jumlah subsidi untuk LPG sudah mencapai Rp 80,9 triliun atau 7,5 juta metrik ton atau tersisa tinggal Rp 6,55 triliun dari alokasi APBN 2024 (wartaekonomi.co.id). Mengingat tingginya alokasi subsidi di APBN 2024, pemerintah melakukan perubahan mekanisme penyaluran subsidi LPG Melon dari berbasis komoditas menjadi berbasis penerima manfaat, dengan sistem pendataan pengguna dilakukan sejak Maret 2023. Sehingga sejak 1 Januari 2024, seharusnya hanya mereka yang sudah terdata yang data membeli LPG Melon (katadata.co.id).
Nah, ternyata proses pendataan penyaluran LPG 3 kg sudah dimulai sejak Maret 2023. Sehingga ketika diberlakukan per 1 Februari 2025, seharusnya tidak terjadi lagi kegaduhan yang menggelora dan membuat konsumen pusing delapan keliling. Mengapa itu bisa terjadi? Jelas penyebabnya komunikasi publik pemerintah (Kementerian ESDM dan Pertamina) buruk. Seharusnya program komunikasi sudah dijalankan pada akhir tahun lalu. Komunikasi sekitar dua bulan tersebut dimaksudkan supaya informasi perubahan itu diketahui publik untuk mengantisipasi kekacauan yang terjadi saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ekonomi publik atau konsumen sudah sangat menurun. Untuk menghindari kebingungan sosial, pemerintah harus presisi dalam mengeluarkan dan menjalankan kebijakan. LPG Melon sebenarnya tidak hilang atau dihilangkan mendekati saat Ramadhan dan Lebaran tetapi hanya ditata supaya pengadaannya tepat sasaran ke konsumen (rumah tangga) berpendapatan rendah, usaha mikro, petani/nelayan, dan pengecer. Lalu apa masalahnya? Coba kita bahas sedikit teknis.
Masalah yang terjadi
Seperti telah saya sampaikan di atas bahwa langkah pemerintah menata penyaluran LPG Melon yang sarat subsidi supaya bisa lebih tepat sasaran, ada beberapa langkah yang telah dan sedang dilakukan oleh Pertamina dengan mengikuti beberapa peraturan perundangan yang ada, antara lain Ditjen Migas Kementerian ESDM per 20 Januari 2025 telah melakukan sosialisasi melalui kanal Youtube. Sayang efektivitasnya kurang dan patut diduga tidak di evaluasi oleh Kementerian ESDM.
Secara sistem, semua Nomor Induk Kependudukan (NIK) pengecer harus sudah terdaftar di Merchant Applications Pertamina (MAP), yaitu sebuah logbook dan sistem yang berbasis web. Dari informasi yang saya kumpulkan dari berbagai sumber, saat ini kelompok rumah tangga yang sudah terdaftar hampir 54 juta NIK. Sedangkan usaha mikro sekitar 8,5 juta NIK, petani/nelayan sasaran sekitar 50 ribu NIK dan pengecer yang sudah terdaftar NIK-nya sekitar 375 ribu dari sekitar 600 ribuan. Sebuah pencapaian yang menjanjikan untuk mulai mengontrol penggunaan subsidi LPG Melon.
Dalam penerapan Kepmen ESDM No. 37.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang LPG Tertentu Tepat Sasaran dan Surat Dirjen Migas kepada PT Pertamina No. B-8736/MG/05.DJM/2024, perihal Penyesuaian Ketentuan Pendistribusian LPG Tabung 3 kg telah dilakukan sosialisasi juga melalui kanal Youtube. Patut diduga tidak banyak kelompok sasaran LPG Melon ini yang rajin membuka informasi di Youtube, mengingat Youtube jarang digunakan untuk sosialisasi kebijakan.
Implikasi dari surat Dirjen Migas tersebut awalnya adalah untuk sub penyalur LPG Melon dapat mendistribusikan paling banyak 10% dari alokasi harian/penerimaan sub penyalur ke pengecer (paling sedikit 90% langsung ke konsumen akhir). Dengan pengaturan yang direncanakan, sub penyalur wajib 100% pendistribusian langsung ke konsumen akhir (tidak ada lagi pengecer) terhitung mulai 1 Februari 2025. Ini yang tidak dipahami publik.
Kebijakan itu dimaksudkan agar pencatatan MAP sesuai dengan kondisi riil konsumen LPG Melon. Juga untuk mengendalikan HET LPG Melon sampai ke konsumen akhir dan kecukupan kuota LPG Melon yang sudah ditetapkan dalam APBN 2025 sebesar 8,17 juta metrik ton tidak terlewati. Sebenarnya ini sebuah kontrol yang bisa dilaksanakan. Sayangnya, kembali lagi, komunikasi Kementerian ESDM dan Pertamina kurang pas menyampaikannya dengan waktu yang mepet, sehingga konsumen LPG Melon panik dan muncul berbagai bahasan yang kurang pas di media sosial dan media mainstream.
Intinya tidak ada kelangkaan LPG Melon, tidak ada penghapusan penyalur, yang ada penyalur didata ulang dengan menggunakan NIK, sehingga namanya bukan penyalur atau sub penyalur. Ini contoh sebuah kebijakan yang baik menjadi hancur karena lemahnya komunikasi publik dari regulator. Sayangnya, Presiden panik sehingga seolah-olah nama pengecer dikembalikan. Padahal sebenarnya dulu pengecer setelah didata jadi sub penyalur. Apa arti sebuah nama? Fungsi sama, hanya berganti nama untuk menghindari penyalahgunaan LPG Melon.
Langkah pemerintah
Pastikan ada komunikasi yang baik oleh Pertamina (karena APBN dipotong 50% jadi tidak mungkin Kementerian ESDM ada alokasi dana) ke publik. Pastikan bagaimana publik paham lokasi sub penyalur resmi yang terdaftar di MAP atau apapun namanya. Pastikan HET yang berlaku hanya di kota A bukan di kota B tetangganya, karena HET akan berbeda. Pastikan tidak ada lagi hengki pengki HET dari kota murah ke HET kota yang mahal, baik oleh sub penyalur atau pengecer resmi maupun tidak resmi.
Pastikan ada spanduk yang menyatakan toko atau warung itu terdaftar di MAP Pertamina sebagai sub penyalur atau apapun namanya serta cara memastikan statusnya legal atau tidak menggunakan jalur medsos atau apps atau call center. Kalau ada masalah konsumen harus mengadu ke mana. Aparat penegak hukum juga harus tegas menindak sub pengecer atau apa namanya yang melanggar dan dicabut izinnya termasuk di web atau apps-nya dan seterusnya.
Intinya langkah pemerintah kali ini untuk mencoba membatasi subsidi digunakan oleh orang yang tidak berhak. Kalau masih ada, beri mereka hukuman sosial. Misalnya permalukan melalui medsos. Para buzzer yang selama ini sibuk menggoreng politik mohon bantu Pertamina atau Kementerian ESDM, demi tepatnya penggunaan subsidi Melon.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu