Jakarta - Presiden Prabowo melakukan langkah cepat setelah dilantik pada pagi hari, malamnya langsung mengumumkan susunan kabinet Merah Putih. Total terdapat 53 menteri dan setingkat menteri dengan rincian: 7 orang menteri koordinator; 41 menteri; dan 5 pejabat setingkat menteri serta 56 wakil menteri. Struktur kabinet paling 'gemoy' sejak era Orde Baru hingga Reformasi.
Kabinet ter-'gemoy' di Indonesia adalah Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 – 2 Februari 1966) berjumlah 110 anggota dan Dwikora II (24 Februari 1966 – 28 MAret 1966) yang berjumlah 132 anggota kabinet.
Komposisi Kabinet Merah Putih menunjukkan bahwa Presiden Prabowo sedang memainkan politik akomodatif. Ada 5 ketum parpol dan 6 fraksi parpol di DPR yang bergabung dalam kabinet ini. Setidaknya ada tiga kritik oleh publik dari struktur Kabinet Merah Putih. Pertama, skeptis atas kompetensi dan profesionalisme kabinet. Kedua, masalah beban anggaran yang dikhawatirkan hanya terserap untuk hal-hal yang bersifat teknis administratif. Ketiga, masalah efektivitas dan efisiensi kinerja. Sebagian kelompok kecewa karena Presiden Prabowo tidak menyusun zaken kabinet.
Bagi Pungguk Merindukan Bulan
Zaken kabinet selalu menjadi diskursus ketika masa-masa menjelang penentuan kabinet pemerintahan baru. Zaken kabinet merujuk pada komposisi para pembantu presiden yang dipilih dari orang-orang profesional dan ahli di bidangnya, tanpa melihat latar belakang politiknya. Detikcom mengulas bahwa Indonesia disebut-sebut pernah memiliki kabinet yang "ideal" ini, antara lain Kabinet Natsir (1950-1951), Kabinet Wilopo (1952- 1953), dan Kabinet Djuanda (1957-1959).
Saya berpendapat bahwa zaken kabinet ini sebetulnya hanyalah over glorify belaka, dan konsep ini tidak mempunyai basis praktikal. Perlu elaborasi lebih lanjut bagaimana ukuran sebuah pemerintahan kabinet dikatakan berhasil atau gagal, efektif atau tidak. Dalam kenyataannya pula ketiga kabinet yang sering disebut-sebut sebagai zaken kabinet hanya ada pada saat Demokrasi Parlementer, pun umur kabinet paling lama hanya dua tahun. Sehingga efektivitas dan efisiensi pemerintahan zaken kabinet perlu untuk dilihat secara kritis.
Dalam konteks sistem presidensial dengan multipartai model di Indonesia, penerapan zaken kabinet bagai pungguk merindukan bulan. Pemilihan kabinet tanpa mengakomodasi kepentingan partai politik adalah sebuah mitos semata. Presiden pasti menghendaki pemerintahan yang stabil untuk menjamin kebijakan-kebijakannya dapat dieksekusi dengan baik, aman saat mengajukan undang-undang dan anggaran serta legislatif yang tidak terlalu bising mengomentari kinerja eksekutif. Maka pilihan paling rasional bagi Presiden adalah mengajak sebanyak mungkin kelompok dan partai politik agar mendukung pemerintahannya.
Rasionalitas partai pun demikian; agar bisa tetap merawat dan mengembangkan basis konstituennya, mereka membutuhkan sumber daya politik dan finansial yang firm. Maka menjadi bagian dari pemerintahan adalah jalan mudahnya.
Idealnya memang presiden membentuk kabinet yang ramping namun efisien dan efektif dalam berkinerja. Pada sisi yang lain, partai politik memainkan perannya secara maksimal, tidak "minta jatah" di kabinet, mendukung program-program pemerintah yang bagus dan melakukan pengawas secara ketat atas kinerja eksekutif dan mengkritik bila salah. Posisi rakyat pun juga harus mendukung terwujudnya ekosistem politik yang baik, salah satunya adalah dengan membantu mengurangi political cost.
Apa lacur, ide di atas hanyalah sebatas ideal di atas kertas; praktiknya tidak demikian. Maka yang bisa dilakukan adalah menyesuaikan dengan kondisi namun tetap sedapat mungkin melakukan yang terbaik meskipun dalam kondisi yang tidak ideal.
Dari 'Gemoy' menuju Ideal
Potensi inefisiensi dan inefektivitas dalam struktur kabinet 'gemoy' cukup tinggi. Adanya 9 kementerian yang dipecah menjadi 21 kementerian baru jangan sampai malah hanya menjadikan beban administratif dan keuangan negara. Alih-alih belanja program meningkat, APBN malah terkuras untuk membiayai hal-hal yang tidak langsung berdampak pada publik. Masalah selanjutnya yang perlu menjadi perhatian adalah hubungan koordinasi antar kelembagaan, sinkronisasi kebijakan hingga birokrasi yang berbelit.
Lupakanlah perihal zaken kabinet. Maksimalkan kenyataan yang dihadapi saat ini. Pilihan politik akomodatif mungkin dapat diterima sebagai sebuah kenyataan oleh publik, namun Presiden Prabowo perlu tegas apabila ada anggota kabinet yang tidak bisa menjalankan dengan baik visi dan misi presiden.
Efektivitas dan efisiensi pemerintahan juga harus dipikirkan dengan sungguh-sungguh. Koordinasi, kolaborasi, dan kesatuan langkah antar kementerian menjadi hal yang wajib untuk dikawal oleh Presiden. Presiden tidak boleh tersandera oleh kepentingan politik praktis. Politik Presiden haruslah politik yang berorientasi terhadap terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia.
Hasbi Rofiqi mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia
(mmu/mmu)