Jakarta -
Mengingat 15 tahun yang lalu, pengalaman itu kurang menguntungkan bagi saya sebagai anak dan pelajar sekolah dasar. Berbicara dan tampil di depan umum menjadi sebuah ketakutan bagi saya. Ketika saya mencoba bertanya, respons yang saya terima terasa seperti serangan, misalnya 'banyak tanya', 'sok tahu', dilarang ini dan itu, tidak boleh ini maupun itu. Ini bukan hanya tentang siapa yang berhak berbicara, tetapi lebih pada menunjukkan rasa putus asa yang dialami anak, yang pada akhirnya membatasi kemampuan kritis mereka hingga mereka dewasa.
Dalam konteks yang lebih luas, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menciptakan generasi muda yang dapat berpikir kritis dan memahami nilai-nilai demokrasi. Pengalaman saya menggambarkan salah satu hambatan utama dalam pengembangan kemampuan ini, yaitu peran orangtua dan guru. Meskipun mereka memiliki tanggung jawab untuk mendidik, sering mereka menjadi penghalang bagi kemampuan kritis anak-anak.
Situasi ini berkontribusi pada krisis pemahaman demokrasi di kalangan pelajar, yang mengakibatkan ketidakmampuan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam diskusi yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Dengan demikian, penting untuk menyadari bahwa batasan yang dialami anak-anak bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga menciptakan tantangan yang lebih besar bagi masa depan demokrasi di negara ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sama seperti dalam konteks pola asuh, orangtua yang menerapkan pendekatan otoriter dapat mengurangi kemampuan anak untuk berpikir kritis. Ketika orangtua tidak mengizinkan anak untuk berdiskusi atau mengemukakan pendapat mereka, anak-anak cenderung merasa bahwa pandangan mereka tidak berarti. Penelitian Baumrind menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan otoriter sering memiliki pemahaman yang dangkal tentang isu-isu sosial dan politik. Mereka tidak diajarkan untuk mempertanyakan atau menganalisis kondisi masyarakat, yang menjadi masalah besar ketika datang ke pemahaman tentang demokrasi.
Demikian pula, guru yang menggunakan metode pengajaran yang konvensional dan tidak mendorong siswa untuk berdiskusi atau berdebat tentang isu-isu politik, juga turut memperparah masalah ini. Ketika pelajar tidak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat mereka, mereka tidak akan dapat memahami dan menghargai nilai-nilai demokrasi. Menurut penelitian oleh Hattie (2009), siswa yang terlibat dalam proses belajar yang interaktif cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang konsep-konsep kompleks, termasuk demokrasi.
Ketidakberdayaan dan Rasa Takut Berpendapat
Ketidakberdayaan yang dialami anak-anak juga dapat diperburuk oleh pengaruh orangtua dan guru. Ketika kedua pihak terlalu dominan dalam pengambilan keputusan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks pendidikan, anak-anak merasa tidak memiliki kontrol atas pendapat dan keyakinan mereka sendiri.
Studi oleh Schaefer (2015) menunjukkan bahwa anak-anak yang merasa tidak memiliki kontrol cenderung tidak berpartisipasi aktif dalam diskusi yang relevan, termasuk diskusi tentang demokrasi. Ketakutan akan penilaian negatif dari orangtua dan guru membuat anak-anak enggan mengemukakan pendapat mereka, bahkan ketika mereka memiliki pemahaman yang baik tentang isu tersebut.
Ini sangat mengkhawatirkan, terutama dalam konteks demokrasi, di mana perbedaan pendapat seharusnya dihargai. Jika pelajar tidak diberi kebebasan untuk berbicara dan berdiskusi, mereka akan tumbuh menjadi individu yang pasif dan tidak kritis terhadap kondisi sosial-politik di lingkungan mereka.
Stigma terhadap Kegagalan dan Tantangan
Di Indonesia, stigma terhadap kegagalan sering menciptakan lingkungan yang menekan untuk anak-anak dan pelajar. Ketika orangtua dan guru terlalu fokus pada prestasi akademis, mereka mungkin mengabaikan pentingnya proses berpikir kritis. Penelitian Dweck (2006) menunjukkan bahwa ketakutan akan kegagalan dapat menghambat anak-anak untuk mengambil risiko intelektual, yang sangat penting dalam memahami isu-isu demokratis.
Dalam konteks ini, baik orangtua maupun guru harus mengubah cara mereka memandang kegagalan. Kegagalan seharusnya dianggap sebagai kesempatan untuk belajar, bukan sebagai sesuatu yang harus dihindari. Dengan mengubah perspektif ini, orangtua dan guru dapat membantu anak-anak dan pelajar untuk mengembangkan rasa percaya diri yang diperlukan untuk berpendapat dan berdiskusi tentang isu-isu yang relevan dengan kehidupan mereka.
Mendorong Perkembangan Kritis
Untuk menciptakan generasi yang paham akan demokrasi dan mampu berpikir kritis, orangtua dan guru harus bekerja sama dalam mendukung anak-anak dan pelajar. Memberikan ruang bagi anak-anak untuk berbicara, bertanya, dan berdiskusi akan sangat membantu dalam mengembangkan keterampilan kritis mereka. Penelitian menunjukkan bahwa dialog terbuka antara orangtua dan anak, serta antara guru dan siswa, dapat meningkatkan pemahaman tentang nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Penting juga untuk melibatkan anak-anak dalam aktivitas yang menantang, seperti debat, diskusi kelompok, dan proyek berbasis masyarakat. Dengan cara ini, mereka akan terbiasa mengemukakan pendapat, mendengarkan pandangan orang lain, dan menghargai perbedaan. Ini adalah langkah penting untuk menciptakan individu yang tidak hanya paham akan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, tetapi juga berani untuk bersuara dalam masyarakat.
Widya Lestari mahasiswa Program Magister CRCS UGM
(mmu/mmu)