Sudah lebih dari setahun ini Muhammad Reza Ramadhan (27), arsitek di Palembang, Sumatera Selatan, menjadi relawan di aplikasi Be My Eyes. Tugasnya, menerima video call dari siapapun tunanetra yang membutuhkan bantuan penglihatannya dalam mengerjakan aktivitas sehari-hari yang sederhana.
Belakangan, aplikasi tersebut menjadi perbincangan di TikTok setelah seorang pengguna mengunggah video yang menunjukkan kamera belakang seorang tunanetra tengah menyorot jalan. “Dikit lagi nanti belok kanan, tapi belum sekarang, Pak. Maaf, ada got, hati-hati. Lurus dulu,” ucap suara dalam video itu memberikan instruksi. Caption video tersebut, ‘POV: Bantuin Orang Disabilitas Netra’.
Saat seorang tunanetra memerlukan arahan untuk melakukan sesuatu, dengan koneksi internet dan Be My Eyes, mereka bisa terhubung dengan relawan yang sudah terdaftar di aplikasi yang tersedia untuk mobile dan web itu. Sistem akan memberikan notifikasi kepada relawan. Siapa cepat mengangkat, dia yang akan tersambung dengan tunanetra tersebut. Relawan Be My Eyes tersebar di seluruh dunia dan berbicara dalam 185 bahasa.
Awalnya, Reza membaca sebuah utas asing di X yang membahas aplikasi tersebut. Ia pun tertarik membuat akun sebagai relawan dan bergabung sekitar September 2023. Tidak ada biaya dalam seluruh proses baik untuk mereka yang tunanetra maupun relawan. Reza mendaftarkan diri sebagai penutur Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
“Video call pertamaku dari tunanetra yang bicara Bahasa Indonesia. Saat itu beliau minta diarahkan untuk mengubah file ke versi PDF di laptopnya. Rasanya senang bisa berbuat hal kecil untuk membantu sesama,” ujar Reza kepada detikX, Jumat, 18 Oktober 2024.
Sampai sekarang, Reza masih aktif dan telah menerima belasan panggilan. Memang tak banyak, sebab relawan Be My Eyes membludak dibandingkan penggunanya yang tunanetra. Per September 2024, ada 7,7 juta relawan dan 698.667 tunanetra. Oleh sebab itu, tunanetra tak perlu khawatir panggilannya tidak diangkat, sebab pasti ada yang mengangkat. Bahkan, saking populernya aplikasi ini, rata-rata tunanetra menerima respons dalam 20-30 detik.
Dari belasan telepon yang Reza angkat, ada satu pengalaman yang menurutnya paling unik. Suatu hari, pukul 11.00, ia menerima panggilan dari Be My Eyes. Seorang perempuan tunanetra hendak memasak dan butuh bantuan. Reza pun menghabiskan sekitar 15 menit untuk mendampinginya memasak sayur sop.
“Pada dasarnya, semuanya berkesan. Namun, yang paling kuingat adalah saat membantu salah satu pengguna memasak sop. Aku yang tidak bisa memasak ini harus mengarahkan sambil melihat resepnya,” tuturnya.
Bantuan lain yang pernah ia berikan adalah memberi tahu warna pakaian, memandu mengetik di keyboard, dan mencari produk tertentu di market place. Yang terbaru, Reza membantu membaca label kedaluwarsa dari obat yang hendak dikonsumsi oleh seorang tunanetra.
Meskipun sebagian besar panggilan adalah untuk tugas-tugas kecil, setiap kali ada sukarelawan yang membantu, itu berarti seorang tunanetra dapat menjalani kehidupan yang lebih normal. “Aplikasi ini sangat bagus dan bermanfaat khususnya untuk tunanetra yang tinggal sendiri. Mereka bisa menyelesaikan hal-hal dengan lebih mudah dan cepat, tidak perlu menunggu seseorang datang ke tempatnya berada,” ucap Reza.
Be My Eyes juga dinilai membantu oleh tunanetra yang tinggal dengan orang lain sekalipun. Aini Dhuha Hidayah (27), mahasiswa Sastra Indonesia yang tinggal dengan keluarganya di Penjaringan, Jakarta Utara itu memanfaatkan Be My Eyes untuk mendeskripsikan gambar atau teks dalam format foto.
“Aku nggak terlalu menggunakannya untuk call volunteer. Aku malah pakai setiap hari untuk membantuku berselancar di media sosial. Misalnya, Instagram meskipun sudah ada fitur alt text, masih banyak pengguna yang nggak mencantumkannya. Jadi, aku download dulu fotonya, terus aku baca, deh, di Be My Eyes,” ujar Aini kepada detikX.
Kecerdasan buatan Be My Eyes akan mendeskripsikan foto dan menjawab pertanyaan lanjutan yang disampaikan oleh pengguna tunanetra. Hari itu, Aini baru saja memotong (cropping) foto untuk diunggah sebagai foto profil barunya di WhatsApp. Untuk mengetahui apakah fotonya sudah proporsional dan sesuai intensi, ia menggunakan Be My Eyes.
“Dia akan mendeskripsikan, misalnya, ‘Foto ini menggambarkan dua orang yang sedang tersenyum dan memegang bungkus popcorn berwarna kuning. Ada tulisan CGV dan ada beberapa tulisan yang tidak terlihat.’ Dengan begitu aku jadi tahu, di dalam fotoku ada elemen popcorn dan CGV, yang menggambarkan aku sedang berada di bioskop untuk menonton film dengan seorang teman yang menjadi mataku,” jelas Aini.
Meski jarang memakai fitur video call dengan sukarelawan, Aini mendengar banyak cerita dari teman-teman sesama tunanetranya mengenai bagaimana aplikasi Be My Eyes sangat membantu dalam keseharian. Kata Aini, temannya paling sering menelepon sukarelawan untuk dimintai pendapat dalam memilih pakaian yang hendak dikenakan dan membantu berkemas.
***
Be My Eyes dibuat oleh pria berkebangsaan Denmark, Hans Jørgen Wiberg, yang mulai kehilangan penglihatannya akibat retinitis pigmentosa pada usia 25. Bersama rekan bisnisnya Christian Erfurt, pada 2012, dengan dana hibah dari Velux Foundation, keduanya mulai merekrut pengembang perangkat lunak untuk menulis kode. Tiga tahun kemudian, Be My Eyes diluncurkan dan dalam sekejap menarik seribuan tunanetra dan orang dengan penglihatan sebagian, serta sepuluh ribu sukarelawan.
Meskipun dimulai sebagai organisasi nirlaba, Be My Eyes kini bekerja dengan model bisnis berkelanjutan agar aplikasinya selalu gratis bagi pengguna. Beberapa perusahaan komersial yang membayar untuk terdaftar, seperti, layanan perbankan, perusahaan teknologi, dan perusahan kesehatan, bisa mengintegrasikan layanannya yang cocok untuk tunanetra dengan Be My Eyes.
Wiberg mengungkapkan bahan utama yang menyusun Be My Eyes adalah kepercayaan. “Saya rasa bukan suatu kebetulan bahwa Be My Eyes lahir dan dibuat di sini, di Skandinavia, yang masyarakatnya memiliki tingkat kepercayaan sangat tinggi terhadap satu sama lain. Saya harap Be My Eyes bisa ‘mengekspor’ kepercayaan ke seluruh dunia,” katanya.
Walau dengan jutaan pengguna, menurut perusahaan, Be My Eyes tidak pernah digunakan oleh seseorang yang mencoba menipu tunanetra atau mengerjai mereka. Klaim keamanan ini lantaran aplikasi tidak mengungkapkan identitas dan lokasi tunanetra maupun sukarelawan, serta merekam semua panggilan sebagai bentuk melindungi dari penyalahgunaan.