Jakarta -
Salah satu kasus yang memantik atensi publik secara masif belakangan ini adalah ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) terseret dalam kasus suap vonis bebas Ronald Tannur, bernama Zarof Ricar (ZR) --ia juga diduga menerima gratifikasi pengurusan perkara-perkara lainnya. Menurut Kejagung, penerimaan gratifikasi tersebut terjadi selama ZR menjabat Kapusdiklat MA.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung menyatakan, "Selain perkara pemufakatan jahat untuk melakukan suap (vonis bebas Ronald Tannur) tersebut, Saudara ZR pada saat menjabat sebagai Kapusdiklat menerima gratifikasi pengurusan perkara-perkara di Mahkamah Agung dalam bentuk uang. Ada yang rupiah dan ada yang mata uang asing. Seluruhnya jika dikonversikan Rp 920.912.303.714 dan emas batangan seberat 51 kilogram."
Fenomena semacam itu, jika dipotret dalam perspektif hukum pidana status quo, berpotensi akan menimbulkan kekecewaan bagi publik, apabila aset yang dikuasai oleh ZR tersebut --yang diduga kuat merupakan suatu hasil kejahatan-- pada akhirnya tidak dapat dirampas dikarenakan aset tersebut tidak dapat dibuktikan sebagai hasil tindak pidana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa berpotensi sulit dibuktikan sebagai hasil tindak pidana?
Pertama-tama saya perlu menjelaskan bahwa dalam pembuktian hukum pidana, terkadang ada momentum di mana terdapat perbuatan seseorang yang secara wajar yang bersangkutan telah melakukan kejahatan, namun karena tidak dapat dibuktikan, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasi sebagai suatu kejahatan. Hal tersebut karena dalil kebersalahan dari yang bersangkutan hanya didasarkan pada prejudice.
Menurut Peter Hoefnagels, prejudice tidak dapat dijadikan sebagai dasar bersalahnya seseorang. Hal tersebut dikarenakan dalam hukum pidana dikenal prinsip in criminalibus probantiones beden esse lusse clariores --'dalam pembuktian hukum pidana, bukti-bukti haruslah lebih terang dari sebuah cahaya'.
Dalil-dalil tersebut di atas juga seirama dengan asas beyond reasonable doubt yang terejawantahkan dalam Pasal 183 KUHAP. Memang, pada prinsipnya berbicara tentang aset (hasil tindak pidana) berbeda dengan perbuatan, sebagaimana konteks dari penjelasan di atas. Namun, yang perlu dipahami bahwa aset (hasil tindak pidana) bersumber dari tindak pidana. Sehingga, untuk memberi judgement bahwa suatu aset merupakan hasil tindak pidana, maka (dalam perspektif hukum pidana status quo), wajib hukumnya untuk dibuktikan/diuraikan bahwa harta tersebut bersumber dari suatu tindak pidana.
Dalam konteks perkara yang menjerat ZR, delik yang paling potensial untuk dikenakan kepadanya --yang diduga sebagai 'makelar kasus' di MA-- adalah tindak pidana suap dan gratifikasi. Yang mana, untuk membuat "seterang cahaya" tindak pidana tersebut, diperlukan untuk membuktikan siapa saja pemberi dan penerima suap/gratifikasinya.
Dalam konteks membuktikan penerima suap/gratifikasi, pihak yang akan menjadi targetnya sudah jelas adalah ZR. Namun, berkaitan dengan membuktikan siapa yang menjadi pemberi suap/gratifikasi, pastinya akan menuai polemik bagi penyidik ataupun penuntut umum, kelak. Polemik tersebut berupa bahwa berdasarkan asas beyond reasonable doubt (Pasal 183 KUHAP), terdapat kewajiban untuk membuktikan (berdasarkan bukti yang cukup) perihal siapa saja pihak yang memberi suap/gratifikasi kepada ZR.
Ketika tidak dapat dibuktikan perihal tersebut, maka tidak sempurna sangkaan/tuntutan atas suap/gratifikasi yang dijatuhkan kepada ZR. Dan, ketika tidak dapat dibuktikan perbuatan suap/gratifikasinya, maka harta kekayaan yang tidak dapat dibuktikan tindak pidana suap/gratifikasinya tersebut harus tetap diposisikan sebagai aset legal.
Bagaimana dengan pembalikan beban pembuktian?
Memang, berkenaan dengan tindak pidana korupsi, dikenal suatu instrumen khusus berupa pembalikan beban pembuktian (omkering van het bewijslaast) sebagaimana diatur dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a jo Pasal 38A, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU Tipikor. Tetapi, konteks keberlakuam norma-norma tersebut (kecuali Pasal 38B) tidak menghilangkan beban pembuktian dari penuntut umum.
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU Tipikor yang menyatakan, "Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya".
Oleh sebab itu, kendatipun terdapat instrumen pembalikan beban pembuktian, apabila penuntut umum tidak mampu terlebih dahulu membuktikan dakwaannya, maka tidak ada relevansi bagi pelaku untuk membuktikannya secara terbalik. Karena aset tersebut belum dapat dikategorikan sebagai hasil tindak pidana apabila penuntut umum tidak mampu membuktikan bahwa benar harta kekayaan tersebut diperoleh dari suatu tindak pidana (in casu, suap dan/atau gratifikasi).
Jadi, instrumen hukum apa yang dibutuhkan saat ini?
Dengan permasalahan residual yang timbul sebagaimana dijelaskan di atas, sebenarnya telah terdapat instrumen yang diintrodusir, baik di dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006, maupun RUU Perampasan Aset yang dapat digunakan untuk mengefektifkan penanganan perkara ZR yang saat ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung ataupun perkara serupa pada masa yang akan datang.
Hal yang saya maksudkan adalah unexplained wealth atau yang apabila subjeknya adalah pejabat publik, disebut dengan illicit enrichment.
Berdasarkan Article 20 UNCAC dinyatakan bahwa illicit enrichment dimaknai sebagai a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income (peningkatan yang signifikan pada harta kekayaan seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara wajar terkait dengan pendapatan sahnya).
Sayangnya, setelah 18 tahun Indonesia meratifikasi UNCAC hingga saat ini, ketentuan terkait illicit enrichment belum dideterminasi di dalam UU Tipikor Indonesia. Sehingga untuk dapat mengaplikasikan norma illicit enrichment tersebut dalam penegakan hukum di Indonesia, diperlukan perubahan UU Tipikor yang menjadikan illicit enrichment berdasarkan Article 20 UNCAC sebagai salah satu norma baru yang dideterminasi.
Selain itu, pada saat ini, di dalam draf RUU Perampasan Aset (April, 2023), terdapat norma Pasal 5 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa salah satu aset yang dapat dirampas (tanpa pemidanaan) adalah "aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan Aset Tindak Pidana".
Dalam perspektif global, jenis aset tersebut disebut dengan istilah unexplained wealth. Namun, apabila dikerucutkan subjeknya menjadi hanya public officials (pejabat publik), maka norma tersebut juga meliputi illicit enrichment.
Pertanyaan berikutnya, mengapa penormaan illicit enrichment melalui perubahan UU Tipikor maupun pengundangan RUU Perampasan Aset dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengefektifkan penanganan perkara ZR atau perkara yang serupa dengan itu pada masa yang akan datang? Jawabannya, karena melalui hal tersebut peningkatan harta kekayaan yang tidak wajar dari pejabat publik dapat dijadikan sebagai objek tindak pidana (apabila diundangkan dalam perubahan UU Tipikor) dan tentunya juga sebagai aset yang dapat dirampas, ataupun dapat dijadikan sebagai objek perampasan aset tanpa pemidanaan (apabila diundangkan melalui RUU Perampasan Aset).
Penjelasan tersebut tentunya menggambarkan bahwa pada saat ini memang terdapat urgensi nyata mengapa norma illicit enrichment perlu untuk segera diundangkan dalam konteks hukum pidana di Indonesia.
Muh. Afdal Yanuar, S.H, M.H pemerhati hukum pidana
(mmu/mmu)