Jakarta -
Kasus yang menjerat mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, kembali membuka borok lama peradilan Indonesia. Kejaksaan Agung menemukan praktik "makelar kasus" yang melibatkan Zarof. Dengan posisi strategis sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Hukum dan Peradilan di MA, Zarof diduga menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi keputusan perkara, termasuk suap untuk membebaskan sejumlah tersangka kasus besar.
Saat penggeledahan, ditemukan barang bukti yang mengejutkan: uang tunai nyaris Rp 1 triliun serta emas batangan seberat 51 kilogram di rumah Zarof. Jumlah ini mencerminkan skala praktik kotor yang selama ini seakan tak terjamah. Tak heran jika publik semakin skeptis terhadap lembaga peradilan yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan keadilan .
Bukan Hal Baru
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Istilah "makelar kasus" bukanlah hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Dalam kasus Zarof, praktik ini dilakukan dengan menjanjikan pihak tertentu pengaruh atas keputusan pengadilan, sebuah bentuk intervensi yang jelas melanggar etika dan hukum. Keberadaan makelar kasus menandakan bahwa jalur hukum bisa "dinegosiasikan", yang tentu menodai prinsip independensi peradilan dan keadilan bagi masyarakat .
Kasus ini bukan hanya menampar wajah MA, tetapi juga menyampaikan pesan kepada publik bahwa hukum bisa saja tak netral. Ketika keadilan diperdagangkan, masyarakat yang seharusnya terlindungi oleh hukum malah menjadi korban dari praktik penyalahgunaan kekuasaan. Bukankah ini memperparah krisis kepercayaan publik?
Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan merupakan fondasi utama bagi legitimasi institusi tersebut. Jika publik kehilangan kepercayaan, maka fungsi hukum sebagai penjaga keadilan akan runtuh. Kasus Zarof yang melibatkan praktik makelar kasus di tubuh MA sangat merugikan, mengingat MA adalah benteng terakhir dalam penegakan hukum. Jika lembaga tertinggi saja bisa "dibeli", bagaimana dengan pengadilan yang lebih rendah?
Kasus ini adalah momentum penting untuk mengevaluasi kembali proses reformasi peradilan. Kita perlu bertanya, sejauh mana reformasi ini berjalan? Apakah perubahan yang ada selama ini hanya sekadar retorika atau benar-benar membawa perbaikan substansial? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin mendesak untuk dijawab agar tidak ada lagi celah bagi praktik "makelar kasus" pada masa mendatang.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kejadian serupa? Pengawasan internal yang lebih ketat dan mekanisme seleksi berbasis merit adalah langkah yang tidak bisa ditunda. Posisi strategis di peradilan, terutama yang berpotensi membuka akses terhadap pengambilan keputusan, harus dipegang oleh individu-individu yang berintegritas tinggi.
Selain itu, penting pula bagi lembaga eksternal, seperti Kejaksaan Agung, untuk memiliki peran pengawasan yang lebih proaktif. Keterlibatan Kejaksaan Agung dalam kasus Zarof menunjukkan bahwa pengawasan dari luar memiliki kekuatan besar untuk menindak pelanggaran di lingkungan peradilan. Namun, agar pengawasan ini efektif, dukungan regulasi dan keberanian dalam mengungkap praktik buruk di MA harus terus ditingkatkan .
Reformasi Sistemik
Reformasi di lembaga peradilan seharusnya tidak hanya sebatas perubahan pada aturan internal atau kosmetik belaka. Jika ingin menciptakan perubahan nyata, reformasi yang substansial harus menyentuh akar masalah, seperti transparansi, akuntabilitas, dan independensi pengambilan keputusan di tubuh peradilan.
Masyarakat menantikan langkah konkret yang menunjukkan keseriusan pemerintah dan lembaga terkait dalam memperbaiki sistem peradilan. Reformasi yang hanya fokus pada penambahan aturan tanpa implementasi nyata hanya akan melanggengkan praktik-praktik korup di lembaga yang seharusnya menjadi panutan keadilan. Ini saatnya bagi MA untuk berbenah, meninjau kembali seluruh mekanisme pengawasan dan seleksi, serta memastikan setiap pejabatnya tidak tergiur untuk menyalahgunakan kekuasaan .
Kasus Zarof Ricar adalah alarm keras bagi kita semua. Jika tidak segera diambil tindakan, citra hukum yang independen dan berintegritas hanya akan menjadi ilusi. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk merancang reformasi sistemik yang lebih nyata dan berdampak. Jangan sampai kasus Zarof menjadi salah satu dari sekian banyak kasus yang lenyap ditelan waktu tanpa ada pembenahan berarti.
Publik tidak hanya ingin mendengar janji perubahan; mereka membutuhkan bukti konkret. Dengan membersihkan lembaga peradilan dari oknum seperti Zarof, kita bisa membangun kembali kepercayaan publik dan menciptakan peradilan yang benar-benar menjadi harapan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Firdaus Arifin dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
(mmu/mmu)