Jakarta -
Di tengah derasnya arus digitalisasi, algoritma media sosial berperan sebagai pengendali tersembunyi yang menentukan apa yang kita lihat dan baca. Dalam keseharian yang serba cepat, algoritma ini tidak hanya menyajikan konten sesuai preferensi, tetapi juga mempengaruhi perilaku dan sikap kita. Fenomena filter bubble dan echo chamber adalah dampaknya, menciptakan lingkungan informasi yang mempersempit pandangan kita.
Dengan 210 juta pengguna internet di Indonesia pada 2023, pengaruh algoritma dalam membentuk pola komunikasi semakin signifikan. Namun, kemajuan ini dapat menggerus rasa empati kita dan memperburuk polarisasi sosial. Fenomena echo chamber yang dihasilkan oleh algoritma media sosial menyebabkan pengguna hanya berinteraksi dengan pandangan yang sejalan, memperkuat polarisasi.
Dr. Sherry Turkle dari MIT menekankan bahwa hal tersebut menghambat akses terhadap perspektif lain yang esensial untuk membangun empati. Interaksi yang dulunya alami kini tergantikan oleh keterbatasan pandangan, memecah masyarakat menjadi kelompok-kelompok kecil yang saling bertentangan. Akibatnya, empati berkurang dan polarisasi semakin mencolok, menciptakan tantangan dalam dialog dan pemahaman antarkelompok
Personalisasi Konten
Pada dasarnya, algoritma dirancang untuk memberikan pengalaman personal dengan menyesuaikan konten yang ditampilkan sesuai preferensi pengguna. Namun, efek sampingnya adalah pembatasan akses pada perspektif lain, sehingga menciptakan dunia yang terlihat seolah seragam.
"Algoritma memang bertujuan meningkatkan kenyamanan pengguna, namun berpotensi mengurung mereka dalam dunia sempit yang diciptakannya sendiri," kata Jaron Lanier, salah satu pelopor teknologi virtual reality. Inilah dampak nyata personalisasi konten yang membuat kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat, bukan apa yang sebaiknya kita pahami.
Martin Buber, seorang filsuf Jerman, mengajarkan pentingnya komunikasi dialogis melalui konsep I-Thou, di mana individu saling menghargai sebagai subjek setara. Namun, pada era digital, tantangan muncul karena interaksi sering dangkal akibat algoritma yang menyajikan konten mudah diterima, bukan yang mendorong dialog bermakna.
Dr. Sherry Turkle menyoroti bahwa kualitas komunikasi autentik semakin sulit dipertahankan di tengah lautan konten yang hanya menghibur atau mengukuhkan preferensi kita. Kualitas hubungan ini sangat penting untuk menciptakan interaksi yang lebih mendalam dan bermakna.
Strategi Praktis
Membangun empati di tengah badai algoritma memerlukan upaya nyata dari kita semua. Literasi digital menjadi langkah awal untuk memahami cara kerja algoritma dan dampaknya. Dr. Pamela Rutledge, seorang psikolog media, menyatakan, "Dengan literasi digital, kita dapat mengendalikan interaksi kita dengan konten dan tidak sepenuhnya dikendalikan oleh algoritma."
Selain itu, strategi praktis untuk keluar dari echo chamber mencakup mengikuti akun dengan pandangan berbeda, mencari konten beragam, dan terlibat dalam dialog sehat. Dengan demikian, kita dapat mempertahankan empati dan memahami keberagaman perspektif pada era informasi ini. Kemajuan teknologi memberikan banyak manfaat, tetapi tanpa keseimbangan, kemanusiaan dapat terpinggirkan.
Keseimbangan antara teknologi dan humanisme sangat penting untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat. Empati pada era digital tidak hanya bergantung pada perangkat, tetapi juga pada cara kita berinteraksi di dunia maya. Setiap individu memiliki peran dalam membangun empati digital dan menciptakan ruang komunikasi yang inklusif. Kini, saatnya kita memilih: menjadi pengguna yang terjebak dalam bubble atau pencipta empati di dunia digital.
Maulida Rizki Hasanah mahasiswi program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mmu/mmu)