Memahami Bahasa Gen Alpha

1 day ago 6

Jakarta - Generasi Alpha atau kerap dikenal dengan sebutan Gen Alpha merupakan generasi yang lahir pada 2010 sampai 2025. Menurut Mark McCrindle, Gen Alpha digunakan untuk menggambarkan generasi yang lahir setelah Generasi Z dan di mana teknologi digital seperti internet, smartphone, dan media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari mereka sejak lahir (Novianti, 2019).

Gen Alpha bertumbuh seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam komunikasi antar-individu yang semakin dipermudah, Gen Alpha merupakan bagian dari subjek aktif dari hubungan keterikatan ini. Menurut survei dari Pew Research Center, 53% dari anak-anak Gen Alpha mengakui menggunakan sosial media setiap hari. Dari keterikatan tersebut, lahirlah suatu gaya bahasa yang baru dan kerap digunakan kalangan generasi ini.

Kini, sudah tidak jarang terlihat di internet pengguna media sosial yang saling berkomunikasi menggunakan kata-kata seperti 'skibidi', 'sigma', 'rizzler', terutama di kalangan anak-anak muda dari Gen Alpha. Apabila ditelusuri asal-usulnya, kata-kata ini mulai tampak dari meme culture, yakni budaya lelucon di internet. Seperti kata 'skibidi' yang lahir dari animasi meme 'skibidi toilet' yang sempat viral di internet.

Dengan mengkonsumsi media tersebut, Gen Alpha mengadopsi humor-humor yang berasal dari meme culture sebagai bahasa sehari-hari antarsatu sama lain. Terciptanya gaya bahasa yang melekat dengan Gen Alpha dapat membingungkan mereka yang berasal dari generasi yang lebih tua. Menurut pandangan masyarakat, kata-kata yang mereka gunakan "aneh" dan sulit dipahami oleh mereka yang bukan Gen Alpha.

Penggunaan bahasa yang "nggak jelas" ini menciptakan suatu disparitas linguistik antara Gen Alpha dengan anggota masyarakat lainnya. Dari fenomena ini muncul permasalahan: mengapa Gen Alpha memilih untuk menggunakan bahasa yang sulit dipahami masyarakat?

Mengekspresikan Diri

Internet bukan hanya sekadar media untuk bertukar informasi, melainkan media untuk mengekspresikan diri. Seperti generasi-generasi sebelumnya, mereka juga ingin merasakan koneksi dengan teman-teman sebaya di ruang digital tersebut. Dengan mengadopsi bahasa yang unik, memungkinkan mereka untuk membangun hubungan-hubungan erat berdasarkan pemahaman yang mutual dan menumbuhkan sebuah sense of belonging dalam komunitas-komunitas digital mereka.

Menggunakan kosakata slang yang trendi dapat memberikan sinyal kepada mereka "yang mengerti" bahwa pengguna gaya bahasa tersebut satu frekuensi dengan mereka, memudahkan mereka untuk menyesuaikan diri dan stay relevant. Penerapan gaya bahasa dari tren-tren internet ini menciptakan suatu identitas kolektif dan personal bagi Generasi Alpha yang erat dan eksklusif dari masyarakat.

"Setiap orang sepanjang sejarah selalu mengeluh tentang bagaimana generasi muda merusak bahasa gaul yang dibuat-buat," kata Adam Aleksic, seorang kreator konten dan ahli bahasa yang menelusuri asal-usul gaya bahasa ini. "Itulah mengapa mereka melakukannya, karena mereka membangun identitas. Mereka membedakan diri mereka sendiri."

Alasan mengapa orangtua bingung dengan gaya bahasa anak mereka adalah karena bahasa Gen Alpha ini tidak jauh berbeda dengan bahasa-bahasa gaul lainnya, yakni bahasa yang memang sengaja didesain agar tidak bisa dimengerti oleh mereka yang bukan termasuk dalam Gen Alpha. Kita harus pahami, eksklusivisme ini tidak harus menjadi penghalang, melainkan peluang untuk memperkaya interaksi lintas generasi, asalkan disertai dengan kesadaran dan upaya untuk saling memahami dan beradaptasi.

Perubahan Sosial

Penggunaan gaya bahasa yang dinamis dan berbeda-beda antargenerasi menunjukkan adanya perubahan sosial di masyarakat, dalam konteks ini evolusi terhadap kaidah kebahasaannya. Secara sosiologis, perkembangan masyarakat sering diibaratkan sebagai dorongan evolusi yang tidak dapat dihindari. Hal ini pun terjadi terhadap perubahan gaya bahasa antargenerasi. Gaya bahasa yang digunakan menjadi lebih bervariasi seiring berjalannya waktu dan generasi yang semakin berkembang.

Menurut Teori Evolusi oleh Herbert Spencer, evolusi ini ditandai dengan perubahan masyarakat yang simpel dan homogen menjadi kompleks dan terdiferensiasi. Perkembangan ini diawali dengan munculnya perubahan dan perbedaan dalam aspek-aspek masyarakat. Lalu dari perubahan ini muncullah tahap diferensiasi di mana masyarakat menjadi kelompok-kelompok sosial berdasarkan unsur-unsur yang berbeda itu.

Kita bisa lihat aktualisasi dari teori ini dari bagaimana kata-kata slang kerap muncul dari generasi ke generasi yang khas dan berbeda. Sebagai contoh, kata 'masbuloh' dan 'meneketehe' sempat populer pada era 1990-2000-an, namun apabila kita tanyakan kepada anak-anak Gen Alpha terkait gaya bahasa tersebut, mungkin mereka pun juga tidak mengerti artinya. Sama seperti bahasa Gen Alpha, kata-kata slang tersebut hanya dimengerti oleh mereka yang kerap menggunakan pada masanya, yakni Generasi Milenial dan sebelumnya.

Setiap generasi memiliki kata-kata slang pada masanya yang jarang dimengerti generasi lain. Perkembangan kata-kata slang yang khas menandakan adanya diferensiasi budaya atas basis kelompok usia dan generasi. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan adanya tembok kesenjangan bahasa antargenerasi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman, miskomunikasi, dan memunculkan stigma buruk kepada generasi terkini.

Sebagai generasi yang lebih tua, kita perlu memahami bahwa gaya bahasa yang unik tersebut merupakan media ekspresi bagi Gen Alpha. Berdasarkan riset terkini, sekitar 68% dari mereka mengakui bahwa dialek slang ini memungkinkan mereka untuk mengekspresikan diri mereka dengan sesungguh-sungguhnya, jadi tidak sepantasnya kita langsung menolak dan menghakimi bahasa yang mereka gunakan untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.

Sebaliknya, alangkah baiknya jika kita bisa tetap terlibat dan membangun lingkungan yang nyaman dan inklusif bagi mereka untuk berani memulai langkah dalam berbicara, berekspresi, dan mendorong mereka untuk berkomunikasi dengan antusias. Keterlibatan aktif dari kedua belah pihak dalam proses pembelajaran budaya antarsatu sama lain bisa menjadi suatu solusi yang efektif jika diterapkan secara berlanjut dan menurunkan kebiasaan ini kepada generasi-generasi selanjutnya.

Menciptakan Identitas Kolektif

Sebenarnya, Gen Alpha tidak jauh berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Masing-masing generasi juga memiliki budayanya sendiri yang unik sesuai dengan masa-masa yang mereka alami. Hanya saja, kehadiran internet mempercepat perkembangan budaya ini. Gaya bahasa gaul atau dialek Gen Alpha yang terus berganti-ganti ini merupakan representasi dari keterhubungan mereka dengan tren-tren di internet.

Mereka belajar untuk tak hanya mengadopsi budaya-budaya di internet tapi juga mengekspresikan diri dengan cara yang menunjukkan keterlibatan mereka dalamnya. Penggunaan kata-kata seperti 'skibidi', 'rizz', dan 'sigma' dalam keseharian mereka mencerminkan upaya mereka untuk menciptakan identitas kolektif yang kerap tidak dimengerti generasi-generasi sebelumnya. Bukan hanya sekadar untuk memberontak, mereka memilih untuk berkomunikasi sedemikian rupa demi menjalin rasa "koneksi" dengan teman-teman sebayanya.

Menghindari dan mengabaikan perubahan zaman bukan suatu upaya yang membawa kita ke dalam lingkungan yang mengayomi. Sebagai generasi yang lebih tua, sudah sepantasnya kita memulai langkah untuk merangkul lintas generasi tanpa membedakan dari berbagai macam aspek. Dalam menciptakan kekeluargaan yang hangat dan harmonis diperlukan kebiasaan komunikasi yang kuat serta memberikan rasa pengertian terhadap satu sama lain.

Kita perlu beradaptasi dan melibatkan diri dalam dialog inklusif serta memberikan ruang bagi Gen Alpha untuk mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan sesamanya secara antusias. Membuka diri terhadap perkembangan adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang suportif bagi generasi yang muda tanpa memunculkan stigma atau kesalahpahaman yang memisahkan kita.

Bening Indira siswa SMA Kolese Gonzaga Jakarta

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial