Ilustrasi : Edi Wahyono
Sabtu, 09 November 2024
Mendung mengelayut di angkasa ketika Nyonya Siti Hafsah berkunjung ke rumah Siti Aminah di Jalan Ciomas I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa, 11 Oktober 1966, siang. Kedua perempuan ini saling mengenal, karena Siti Hafsah tinggal di Jalan Ciomas II. Mereka juga sama-sama menjadi makelar jual beli perhiasan.
Tapi kali ini Hafsah datang dengan maksud untuk meminjam uang Rp 300 kepada Aminah. Hafsah meminjam uang sebagai alasan saja. Pasalnya, dirinya selalu kesulitan ketika menagih uang cicilan pembelian perhiasan kepada Aminah bila tenggat waktu sudah tiba.
Benar saja, ketika Hafsah mengutarakan maksudnya, Aminah mengaku sedang tak punya uang. Padahal, beberapa hari sebelumnya, Hafsah tahu bila teman bisnisnya itu baru saja menjual jam mahal dan mendapatkan uang dari objekan lain sebagai makelar tanah.
Hafsah terus merajuk agar Aminah mau meminjamkan uang yang dimintanya. “Kalau saya tidak punya uang bagaimana? Kok, maksa-maksa,” jawab Aminah dengan suara mulai meninggi karena Hafsah terlihat mendesaknya.
Mendengar jawaban itu, Hafsah mulai dongkol. Dia mengatakan, Aminah bukan tidak punya uang, tapi memang tidak punya niat menolong teman. Saat ketegangan mulai meningkat, tiba-tiba warung Aminah yang ada di depan rumah kedatangan pembeli.
Aminah terpaksa meladeni pembelinya. Aminah sehari-hari berjualan gado-gado, minuman cendol, dan makanan ringan lainnya. Setelah pembelinya pergi, emosi Aminah muncul kembali. Hatinya masih panas mendengar ucapan Hafsah tersebut. Diraihnya pisau yang biasa digunakan untuk berjualan gado-gado di warung tersebut.
Aminah langsung menghampiri Hafsah yang tengah duduk di ruang tamu. Dia langsung menjambak rambut panjang Hafsah hingga kepalanya mendongak ke belakang. Dengan gerakan kilat, ia membunuh Aminah dengan pisau yang sudah disiapkan.
Tubuh Hafsah langsung jatuh menggelepar. Aminah lalu menyeret tubuh temannya itu ke dalam kamar, yang sebelumnya sudah dibungkus karpet. Lalu disembunyikannya mayat Hafsah di kolong tempat tidurnya.
Kronologi pembunuhan keji 58 tahun silam itu dituangkan oleh Zainal Abdi dalam bukunya ‘Aminah Dracula, Top News Kriminal 1966’ yang terbit pada 1967. Keberadaan jasad Hafsah di kolong tempat tidur tak diketahui oleh suami Aminah, Ahmad, dan anak angkatnya Neni yang masih kecil.
Jasad Hafsah berada di kolong ranjang selama 3 hari. Anehnya, Ahmad dan Neni tak pernah mencium bau busuk. Tetapi karena khawatir bau tak sedap semakin merebak ke luar, Aminah berniat untuk mengubur jasad temannya di kebun belakang rumahnya.
Dia berhasil merayu Mursidi, anak Munkin, pemilik rumah yang disewanya. Awalnya Mursidi menolak menggali lubang setelah tahu siapa yang bakal dikuburkan. Tapi karena diiming-imingi bakal menerima imbalan uang yang cukup besar, dia menyanggupinya.
Jumat, 14 Oktober 1966, pukul 03.00 WIB, ketika suami dan anaknya masih terlelap tidur, Aminah mengeluarkan jasad korban. Di belakang rumah, Mursidi sudah menunggunya untuk menggali lubang. Namun khawatir waktu tak cukup dan ketahuan tetangga yang mulai bangun, rencana berubah.
Siti Aminah
Foto: Istimewa
Aminah dan Mursidi sepakat untuk membuang saja jasad korban ke sungai. Aminah terlebih dahulu memotong bagian kaki dan tangan korban agar mudah dimasukkan ke dalam keranjang. Mursidi bertugas menyewa bemo yang disopiri Rojali untuk diantar ke Manggarai.
Rojali sempat bertanya tentang isi keranjang, karena terlihat keduanya membawa keranjang yang berat. “Daging, mau dibawa ke Sukabumi,” jawab Aminah. Rojali yang tanpa curiga langsung membawa keduanya ke arah Manggarai.
Sesampainya di kawasan Manggarai, Aminah dan Mursidi minta turun. Alasannya di tempat itu akan menunggu mobil omprengan menuju Sukabumi. Aminah dan Mursidi menurunkan keranjang. Rojali pun pergi melanjutkan perjalanan menuju kawasan Senen.
Setelah bemo Rojali tak terlihat lagi dari pandangan, Aminah dan Mursidi bergegas menggotong keranjang. Keduanya melemparkan begitu saja keranjang tersebut ke sungai. Lalu mereka bergegas pulang menuju rumahnya masing-masing.
Tiga jam kemudian, keranjang ditemukan warga. Hari itu warga Jakarta gempar dengan penemuan mayat perempuan. Kabar penemuan mayat di sungai sampai ke telinga keluarga Hafsah. Sudah empat hari mereka mencari ke sana ke mari, tapi Hafsah hilang bak ditelan bumi.
Sehari sebelumnya, Kamis, 13 Oktober 1996, keluarga Hafsah ditemani Ketua RT setempat, Sutarji, melaporkan kehilangan ke Polres Jakarta Selatan. Setelah menerima kabar, mereka mendatangi kantor polisi untuk menanyakan penemuan mayat tersebut.
Polisi memberitahu ciri-ciri mayat yang ditemukan, di antaranya memiliki kulit kuning langsat, memakai baju putih model Shanghai. Tubuh bagian kaki dan tangannya terpotong, namun hilang tak ditemukan. Perwakilan keluarga diantar Sutarji pergi menuju kamar jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Meraka pun histeris setelah ciri-ciri mayat itu cocok dengan identitas Hafsah. Polisi segera membentuk tim penyelidikan yang dipimpin oleh Brigadir Khudori. Dia bersama timnya mendatangi tetangga, teman dan saksi lain yang pernah terakhir kali bertemu dengan Hafsah.
Polisi mengantongi satu nama yang dicurigai sebagai tersangka, yaitu Aminah. Hal itu berdasarkan keterangan dari beberapa tetangga dan teman korban yang melihat Hafsah akan ke rumah Aminah. Polisi semakin yakin setelah mendapatkan keterangan anak-anak yang sempat melihat pakaian Aminah berlumuran darah, yang disebut sebagai tinta.
Kemudian keterangan salah satu tetangga di belakang rumah Aminah yang mencium aroma bau bangkai tikus. Juga keterangan salah seorang tetangga yang mengaku melihat Aminah bersama Mursidi tengah menggotong keranjang yang diangkut angkutan umum Bemo pada subuh.
Mendengar informasi itu, polisi mendatangi rumah sewaan Aminah dan Ahmad. Ternyata rumah itu kosong, karena keluarga itu sedang pergi ke acara undangan. Polisi akhirnya mendatangi Munkin, pemilik pavilliun yang disewakan kepada Aminah dan Ahmad.
Ilustrasi pembunuhan berantai oleh Siti Aminah
Ilustrator: Edi Wahyono
Tujuan polisi untuk memeriksa kamar Mursidi. Di tempat itu polisi menemukan potongan plastik hitam. Ketika ditanyakan, Mursidi sempat berbohong. Tapi setelah didesak polisi, akhirnya dia mengaku bahwa plastik itu bekas potongan plastik untuk membungkus jasad Hafsah.
Mursidi dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangannya lebih lanjut. Malam harinya, Ketua RT Sutarji mendapat kabar dari Munkin bahwa Aminah bersama suami dan anaknya sudah pulang ke rumah. Tanpa menunggu polisi datang, Sutarji ditemani hansip mendatangi rumah tersebut.
Sempat terjadi ketegangan di antara Sutarji, hansip dan Ahmad. Namun setelah dijelaskan Ahmad hanya diam ketika Sutarji dan hansip membekuk Aminah yang dituduh telah membunuh Hafsah. Lalu mereka dibawa ke kantor polisi malam itu juga.
Di hadapan penyidik kepolisian, Aminah mengaku pembunuhan tersebut. Dia mengatakan sangat kesal dengan sikap Hafsah yang dianggapnya memaksa untuk pinjam uang. Keesokan harinya polisi melakukan rekontruksi pembunuhan di tempat kejadian perkara (TKP) di Jalan Ciomas 1.
Usai mempraktekkan adegan pembunuhan, polisi sempat bertanya kepada Aminah akan diapakan jasadnya itu. “Rencananya sama seperti di rumah di Jalan Cibitung,” jawab Aminah keceplosan. Polisi terperanjat mendengar jawaban Aminah.
Polisi ingat kembali kasus hilangnya Nyonya Mangku Siswoyo, warga Jalan Cikajang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 1959. Wanita berumur 65 tahun itu sempat dicari-cari keluarganya. Polisi sempat menerima laporan kehilangannya dan melakukan penyelidikan. Tapi hasilnya nihil, Nyonya Mangku tak ditemukan bak hilang ditelan bumi.
Aminah menuturkan, tujuh tahun lalu dirinya bersama suami sempat tinggal Jalan Cibitung. Aminah berkenalan dengan Nyonya Mangku Siswoyo, karena menjalankan bisnis jual beli perhiasan. Kepada polisi, Aminah menjelaskan pembunuhan itu terjadi pada 5 Desember 1959.
Saat itu Nyonya Mangku datang ke rumahnya menawarkan sejumlah perhiasan. Aminah tertarik dengan liontin seharga Rp 5.000. Dia ingin membeli liontin tersebut dengan cara dicicil. Nyonya Mangku menolak dan meminta dibayar kontan.
Mendengar hal itu, Aminah kesal tapi dia berniat membelinya. Bukan uang yang diterima, leher Nyonya Mangku malah dicekik hingga lemas dan tewas. Jasadnya disembunyikan di kolong tempat tidur kamarnya. Anehnya, suaminya tak pernah tahu kalau di bawah ranjang ada mayat orang lain.
7 Desember 1959, pukul 05.00 WIB, Aminah menyeret jasad Nyonya Mangku ke belakang rumah. Dengan sadis, Aminah memotong tubuh korbannya itu menjadi beberapa bagian kecil. Potongan tubuh itu dikuburkan di bawah pohon Mangga di belakang rumah.
Polisi geleng-geleng kepala mendengar cerita perempuan kelahiran 4 Agustus 1928 asal Cikuray, Sukabumi, Jawa Barat, tersebut. Aminah yang biasa dipanggil Mince merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Hasan Zainal dan Uni. Ayahnya pernah menjadi camat di daerah Sumedang, semasa pemerintahan kolonial Belanda.
Ilustrasi penjara
Foto: Andi Saputra/detikcom
Tim penyidik bergegas mendatangi lokasi kuburan Nyonya Mangku di Jalan Cibitung. Setelah digali, ditemukan kerangka tulang belulang yang sudah tak utuh lagi. Penemuan tersebut dikabarkan kepada keluarga Nyonya Mangku, yang hampir tujuh tahun lamanya menanti kabar keberadaannya.
Semakin didalami kasus tersebut, polisi dibuat terkejut dengan pengakuan Aminah. Dia bahkan mengaku telah membunuh tiga anak angkatnya tanpa sepengetahuan siapa pun juga, termasuk suaminya sendiri.
Dia juga pernah membunuh Sumarni, sahabat kecilnya yang dia tolong. Aminah mengatakan telah mengubur jasad Sumarni di Pantai Sukawayana, Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Namun ketika polisi membongkat kuburan sesuai tempat yang ditunjukan, tak ditemukan apapun.
Dihadapan penyidik, Aminah menuturkan, pembunuhan yang dilakukannya atas bisikan gaib. Dia mengaku belajar ilmu spiritual kepada Ade yang tinggal di Pelabuhan Ratu. Bila ingin kaya raya, dia harus membunuh 25 wanita dan 3 bayi, serta darahnya harus diminum.
Penyidik polisi sempat menangkap Ade. Namun polisi membebaskan Ade, karena tidak cukup bukti yang kuat atas pembunuhan yang dilakukan Aminah. Malah sang guru spiritual itu telah menyimpangkan ajarannya.
Aminah akhirnya diajukan ke meja hijau setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, termasuk kejiwaanya. Menurut ahli jiwa dokter Tomo Kusumo, Aminah mengidap hipertensi exploitive. Yaitu bila dalam keadaan terdesak bisa melakukan tindakan super nekat, seperti membunuh dan memutilasi demi egonya.
Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, perempuan berusia 38 tahun itu diganjar vonis 20 tahun penjara. Dia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus (LPK) Wanita Bukit Duri. Sejumlah koran melebeli perempuan yang pernah menikah sebanyak 5 kali dan tak pernah punya anak itu dengan sebutan ‘Drakula Kebayoran Baru’.
“Saya bukan drakula. Pedih hati saya membaca koran saat itu menyebut saya begitu,” kata Aminah yang ditemui di dalam penjara 10 tahun kemudian, atau saat umurnya 48 tahun, seperti dikutip dari Majalah Tempo, edisi 1 Januari 1977.
Dia mengaku bukan pembunuh. Namun dirinya menyesal kenapa dirinya bisa berbuat kejam seperti itu. Bahkan dia sempat tidak mau makan dan minum selama tiga bulan pertama mendekam di dalam penjara. Para petugas penjara juga menerangkan Aminah sering emosional dan mudah tersinggung awal-awal hidup di dalam penjara.
Wanita yang bertubuh pendek dengan kulit putih bersih ini serta mata agak sipit ini tak pernah dikunjungi saudaranya. "Saya dipenjara saja mungkin mereka tak tahu,” ucapnya lirih.
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim