Jakarta -
Gemuruh gelombang inovasi kecerdasan buatan (AI) generatif bak ombak besar yang menerjang segala aspek kehidupan manusia. Dari menghasilkan narasi dalam bentuk teks yang nyaris sempurna baik secara tata bahasa maupun alur berpikir manusia, menciptakan gambar yang mengagumkan, hingga mampu menyusun kode program untuk algoritma yang kompleks. Kemampuan AI generatif ini sungguh mencengangkan. Namun, di tengah euforia kemajuan ini ada satu hal krusial yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu etika.
Kita menyaksikan secara langsung kemudahan akses AI generatif ini. Semua kalangan dapat dengan mudah mengaksesnya. Kemudahan ini sayangnya juga membuka pintu penyalahgunaan yang mengkhawatirkan. Bayangkan bagaimana mudahnya informasi palsu (hoax) diproduksi, baik yang berbentuk teks, gambar, bahkan video. Teknologi Deepfake misalnya, yang mampu memanipulasi video dan audio.
Jika kita lihat "dapur" teknologi AI generatif yang sampai mampu memproduksi suatu konten, teknologi ini dilatih menggunakan sejumlah data yang sangat besar. Jika dalam data itu terdapat bias, maka luaran yang dihasilkan pun berpotensi memiliki bias dan sangat mungkin menghasilkan konten diskriminatif dan nir-keadilan. Misalnya, AI yang dilatih dengan data yang kurang representatif pada kelompok minoritas dapat menghasilkan stereotipikal atau bahkan kerugian pada kelompok tertentu. Hal ini bukanlah masalah teknis, tetapi sudah menyangkut isu keadilan sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, timbul juga isu kepemilikan hak cipta dari konten yang diproduksi AI. Siapa pemilik sah dari konten tersebut? Apakah penulis prompt? Developer AI? Atau tidak ada kepemilikan sama sekali? Ketidakpastian ini berpotensi menimbulkan sengketa hukum dan menghambat perkembangan ekosistem kreatif yang sehat.
Ada lagi dampak negatif yang mungkin saja muncul dari menjamurnya AI generatif, yaitu terhadap pasar tenaga kerja. Sudah terlihat beberapa jenis pekerjaan yang bersifat repetitif dan berbasis informasi berpotensi tergantikan oleh kemampuan AI generatif. Kesiapan sumber daya manusia untuk beradaptasi dengan perubahan ini menjadi krusial agar tidak terjadi gejolak sosial dan ekonomi.
Dari sekian dampak negatif itu, hal konkret apa yang diperlukan? Jawabannya adalah etika. Etika ibarat peta yang harus kita ikuti dalam mengembangkan dan menggunakan AI generatif. Ini adalah tugas kolektif, bukan hanya para pakar teknologi, melainkan juga pemerintah, institusi pendidikan, pelaku usaha, dan setiap anggota masyarakat secara umum.
Pemerintah memiliki peran krusial dalam menyusun regulasi yang adaptif, responsif, tanpa menghambat inovasi, namun tetap mampu melindungi masyarakat dari potensi dampak negatif AI generatif. Regulasi ini perlu mencakup beberapa aspek seperti keterbukaan algoritma, perlindungan data pribadi, tanggung jawab atas konten yang dihasilkan AI, serta mekanisme penanganan terhadap penyalahgunaan teknologi ini.
Para pengembang teknologi memiliki tanggung jawab moral untuk membangun AI yang beretika sejak tahap perancangan. Hal ini mencakup penggunaan data latih yang bebas dari bias, mengembangkan mekanisme deteksi konten buatan AI, serta memberikan informasi yang jelas kepada pengguna tentang keterbatasan AI dan risiko penggunaan AI generatif.
Dunia pendidikan dan akademisi perlu berperan aktif dalam membentuk masyarakat yang cerdas dan memiliki kesadaran etis terhadap perkembangan teknologi, khususnya AI generatif. Keterlibatan aktif lembaga pendidikan dalam menyusun kurikulum yang mengintegrasikan literasi digital dan etika penggunaan AI menjadi sangat penting untuk mempersiapkan generasi yang mampu menghadapi tantangan era digital.
Edukasi yang komprehensif perlu diberikan, mencakup pemahaman tentang bahaya misinformasi, dampak bias dalam algoritma, serta pentingnya kemampuan berpikir kritis dalam menyikapi informasi yang dihasilkan oleh teknologi. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga mampu menjadi agen yang bijak dan bertanggung jawab dalam ekosistem digital. Satu hal nyata yang dapat diterapkan dalam dunia akademis adalah memasukkan etika teknologi dalam kurikulumnya.
Pada akhirnya, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menggunakan AI generatif secara bijak dan bertanggung jawab. Sebelum menyebarkan informasi yang dihasilkan AI, penting untuk melakukan verifikasi dan mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Kita tidak boleh terlena dengan kemudahan yang ditawarkan, dan juga memikirkan konsekuensi etisnya.
Era AI generatif adalah keniscayaan yang tidak dapat dicegah. Namun, kemajuan teknologi ini harus diimbangi dengan kesadaran etika yang kuat. Jika kita lalai dalam menanamkan nilai-nilai etika dalam pengembangan dan penggunaan AI generatif, kebermanfaatannya dapat tertutup oleh dampak negatif yang merugikan. Jangan sampai kemajuan teknologi ini justru membawa kita pada kemunduran nilai-nilai kemanusiaan. Mari jadikan etika sebagai navigator yang menuntun kita berlayar di tengah gelombang inovasi AI generatif.
Muhammad Zidny Nafan pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien dan dosen Telkom University Purwokerto
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini