Jakarta -
Persoalan integritas manusia bukan isu yang selesai dengan bim salabim, melainkan membutuhkan ketekunan untuk membentuknya sehingga praktik immoral tidak terulang kembali. Integritas bukan soal menjaga diri dari praktik suap, pungutan liar, atau perbuatan immoral lainnya, tetapi juga berkaitan dengan kedisiplinan, profesionalitas, dan kemajuan. Orang banyak salah paham bahwa yang dimaksud dengan integritas hanya dibatasi persoalan terima uang saja padahal integritas adalah spektrum luas yang meliputi berbagai problematika dan standar nilai hidup.
Untuk menjaga integritas membutuhkan ketekunan, yaitu ketekunan untuk mempelajari praktik immoral sekaligus ketekunan untuk memikirkan strategi tepat guna mengantisipasinya agar perilaku immoral tidak terulang kembali. Langkah-langkah radikal, bukan emosional, perlu dikedepankan dalam merumuskan strategi penanganan praktik immoral dengan berbagai metode, pendekatan, dan wawasan dengan satu tarikan napas mengimbangi laju kecepatan modus operandi yang semakin eksponensial.
Ketekunan berbeda dengan retorika semata. Praktik immoral tidak cukup ampuh diobati dengan kata-kata retorik, melainkan dengan aksi nyata yang sistemik dalam sebuah sistem pencegahan sehingga praktik immoral tidak terjadi. Ketekunan juga mendorong lahirnya inovasi-inovasi baru dalam menekan angka pelanggaran integritas yang dapat dilakukan oleh siapapun sehingga orang-orang yang memiliki ide merasa tertantang untuk ambil bagian dalam menekan praktik immoral tersebut.
Ketekunan dan Komitmen
Ketekunan dalam membangun integritas dapat dilihat dari berbagai tindakan yaitu perenungan, pemikiran, dialektika, tukar guling pendapat, dan diskusi yang tujuannya untuk mendapatkan intisari pemikiran tentang urgensi nilai-nilai moral. Selain itu, ketekunan menghasilkan paket rumusan kebijakan etik yang dapat diterapkan dalam sebuah organisasi sebab ketekunan merupakan pilar utama dalam membangun integritas kolektif.
Integritas juga terkait dengan komitmen individu. Semakin individu itu memiliki komitmen untuk menjaga integritas, semakin kecil peluang terjadinya pelanggaran sebab dirinya membentengi dari perilaku immoral secara ketat. Seorang yang berintegritas akan selalu berusaha untuk menolak segala pemberian dari orang lain yang sifatnya syubhat maupun yang haram bahkan halal pun ditolaknya. Jika seseorang sudah membatasi diri dengan hal-hal yang halal apalagi yang haram, maka orang tersebut tidak mempan disogok uang recehan maupun nominal besar.
Seseorang yang sudah berhati-hati dalam memakan barang-barang yang tidak jelas status dan hukumnya akan membentuk karakter pribadi yang tegak lurus. Dirinya tidak lagi silau dengan kemewahan dan menutup diri dari mental pengemis. Dirinya lebih banyak mengejar kewajiban ketimbang memperoleh hak sehingga hak-hak itu dikembalikan kepada sang pemberi.
Sikap seperti itulah yang akan membentengi diri dari segala bentuk praktik immoral terutama praktik penyuapan yang melibatkan dua pihak yaitu pemberi dan penerima. Sikap ikhtiyat seperti ini dapat menyaring semua asupan yang masuk ke dalam tubuh sebab barang-barang yang haram tidak hanya merusak organ tubuh tetapi juga merusak organisasi/institusi.
Membatasi yang halal apalagi yang haram merupakan perbuatan yang mudah diucapkan namun sulit diimplementasikan. Sikap ini termasuk salah satu ciri dari orang-orang yang bertakwa, hakikatnya telah melindungi diri sendiri, keluarga, lembaga dan negara. Uang risywah yang haram untuk dikonsumsi sudah otomatis ditolaknya karena pihak yang disogok tidak bersedia untuk memasukkan barang haram ke dalam tubuhnya. Dirinya sudah selesai, merasa cukup atas karunia yang dimiliki tanpa harus menjadi pengemis yang dapat menjatuhkan martabat diri.
Pembatasan diri terhadap sesuatu yang halal menandakan bahwa profil yang bersangkutan menghindari dari kenestapaan. Dirinya tidak rela jika harus mengkonsumsi barang-barang yang dilarang. Uang suap yang merupakan bentuk perbuatan jahat merupakan uang panas yang dapat merusak organ tubuh bagi orang yang mengkonsumsinya. Jika tidak dirinya maka akan turun kepada anak cucunya.
Lain halnya dengan orang yang rakus/tamak. Dirinya tidak mampu lagi membedakan yang halal dan haram sehingga semua materi yang sifatnya mendatangkan kepuasan diri akan ditelannya meskipun dengan cara-cara yang tidak terpuji. Dirinya merasa puas ketika mampu menumpuk materi yang akan dikonsumsi oleh dirinya sendiri maupun dipersiapkan untuk keturunannya karena memang manusia adalah makhluk yang gemar menimbun harta kekayaan (homo economicus).
Perbuatan menolak segala sesuatu yang haram dengan membatasi yang halal akan membentuk kepribadian tegak lurus dan integritas yang kokoh sehingga dirinya akan selamat dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi.
Pejabat Publik
Menjadi pejabat publik banyak menuai sorotan dan perhatian dari publik. Publik akan selalu memperhatikan dan mengawasi gerak-gerik pejabat bersangkutan mulai dari gaya hidup, cara bekerja, berinteraksi dan berkomunikasi serta asesoris yang dipakainya. Hal ini sangat wajar mengingat penghasilannya dibayar dari pajak masyarakat sehingga masyarakat bersikap kritis dan tidak mau pajak yang dibayarnya jatuh kepada orang yang salah.
Pejabat publik dan pasangannya harus pandai menempatkan diri dan tidak perlu memamerkan harta kekayaannya di berbagai media sehingga menimbulkan reaksi keras berupa makian, cercaan, dan cacian dari publik. Mempertontonkan kemewahan hidup di ruang publik sangat melukai hati masyarakat meskipun harta yang dimiliki legal, sah, dan halal. Oleh karena itu, pejabat publik dan keluarganya harus memiliki sensitivitas sehingga berperilaku sederhana dan tidak show-up sebab kesederhanaan pejabat publik dituntut sepenuhnya dalam kehidupan bernegara.
Gaya hidup yang serba mewah harus ditinggalkan dan fokus kembali kepada hakikatnya sebagai pelayan masyarakat. Gaya hidup hanya dikonsumsi untuk diri sendiri dan tidak perlu dipublikasi ke ruang publik sebab dapat memantik kecemburuan sosial.
Kesederhanaan
Kesederhanaan merupakan cermin integritas diri dan buah dari kejujuran serta kesadaran akan posisi manusia yang lemah di muka bumi. Setiap kelebihan dan anugerah yang dimilikinya bukan untuk membuat orang merasa iri, atau memicu terjadinya perilaku koruptif orang lain akan tetapi cukup disyukuri dan didermakan kepada pihak yang membutuhkan.
Selain kesederhanaan, pejabat publik juga harus memiliki sikap rendah hati, dan tidak sombong. Memamerkan harta kekayaan dan fasilitas mentereng di ruang publik menimbulkan rasa sombong, ingin dilihat, dipuji dan merasa lebih dari orang lain. Sikap sombong inilah yang harus disingkirkan dalam diri seorang pejabat publik. Kesederhanaan yang didambakan publik bukan taken for granted namun hasil dari pabrikasi pembelajaran, kesungguhan akan kekurangan diri dan madrasah pengalaman pejabat yang bersangkutan.
Menghilangkan sikap pamer (flexing) harus menggunakan terapi mental dengan menghapus segala bentuk kepribadian narsistik yang ingin dipuji dan dihormati. Dirinya sudah tidak butuh lagi hormat, pengakuan, sanjungan atau apapun bentuk pemuliaan lainnya namun yang ada di dalam hatinya adalah niat untuk melayani dan membantu masyarakat. Sikap pamer sebagai naluri manusia yang membutuhkan pengakuan orang banyak amat sulit dihilangkan, tidak semudah membalik telapak tangan.
Fasilitas nomor wahid yang biasa diterima oleh pejabat publik membuat dirinya lupa diri bahkan kebablasan hingga rela meminta-minta kepada bawahannya untuk dilayani. Model pejabat publik seperti ini maunya dilayani dan dihormati ketika turun ke lapangan sambil basa basi dan berkelakar yang intinya meminta fasilitas dan layanan. Praktik-praktik kuno semacam ini sudah tidak laku di zaman egaliter terutama dalam manajemen organisasi yang inklusif dan liberal bukan feodal.
Setiap pejabat publik selain memperoleh fasilitas dan penghasilan yang menggiurkan juga sering mendapatkan bonus-bonus dari pos lain. Misalnya pejabat publik yang sering perjalanan dinas dan bermalam maka mendapatkan bonus berupa poin tiket dan hotel.
Selain itu, pejabat publik juga sering mendapatkan oleh-oleh atau cenderamata dari tempat kunjungannya. Buah tangan ini biasanya dinantikan bahkan tanpa malu dirinya meminta secara terang-terangan yang konon sebagai bentuk penghormatan orang timur kepada setiap tamu yang datang. Perilaku meminta seperti ini juga merupakan perilaku immoral yang harus segera hengkang dalam diri seorang pejabat publik karena tidak elok di tengah krisis ekonomi dan degradasi moral yang terjadi saat ini.
Pejabat publik yang konon dirinya sudah selesai dengan segala persoalan hidup sepatutnya menolak segala bentuk pemberian yang halal terlebih yang haram, bonus-bonus, diskon, dan manfaat lainnya. Dirinya sudah tidak memerlukan itu semua; ditolak secara keras dan konsisten, dan mencukupkan diri dengan penghasilan yang diterima. Penolakan itu akan menjadi pembelajaran bagi masyarakat, yaitu hidup tidak melulu soal uang dan perut, namun ada persoalan serius yang lebih diperhatikan: integritas.
Ahmad Syahrus Sikti hakim
(mmu/mmu)