Kesepian Ini Membunuhku

2 weeks ago 13

Di sebuah kamar kos berukuran 3 x 44 meter, Amalia Nadia Putri berbaring di kasurnya sembari melamun. Samar-samar telinganya menangkap alunan beat santai dari lagu berjudul "Modern Loneliness" yang dinyanyikan oleh pemilik nama panggung Lauv, seorang penyanyi dan penulis lagu asal Amerika Serikat. Meski lagu itu memiliki melodi pop yang catchy, Lauv sedang menggambarkan emosi mendalam mengenai perasaan kesepian yang dialami kaum urban.

Amalia, perempuan yang usianya sudah memasuki awal 30-an juga tengah mengalami pengalaman serupa. “Lagunya udah dari empat tahun yang lalu, belakangan ini gue lagi suka dengerin, diputar terus di playlist karena ngerasa relate aja sama lagunya,” ucap Amalia kepada detikX.

Sebagai pegawai kantor yang bekerja dari hari senin sampai sabtu, Amalia hanya punya waktu satu hari untuk bercengkrama dengan teman-temannya. Namun kenyataannya, perantau asal Yogyakarta ini malah mendekam di kamar kosannya yang terletak di Grogol, Jakarta Barat. Amalia sudah kepayahan untuk memasukkan agenda nongkrong dengan teman, setiap minggu energinya terkuras dengan segala urusan di kantor.

Meski Amalia memiliki banyak teman dari lingkungan kantor, ia tidak merasakan adanya chemistry yang berkembang. “Teman ada banyak, tapi teman yang bisa kita jadiin sandaran itu susah dicarinya. Apalagi di usia segini teman sudah pada nikah dan sibuk sama keluarganya sendiri. Kalau sama teman kantor, ya, sebatas kolega kerja. Nggak bisa deep talk,” katanya.

Semakin sedikit intensitas bertemu dengan teman-teman, Amalia merasakan adanya jarak dengan mereka. Kian hari, notifikasi handphone Amalia semakin sepi. Ujung-ujungnya ia hanya dapat mengetahui kabar mereka dari update-an story di Instagram. Kurangnya sosialiasi di kehidupan nyata dengan kerabat karena tergantikan oleh maraknya perkembangan media. Di era teknologi baru ini Amalia semakin merasa kesepian. Kisah yang dialami Amalia banyak terjadi di kota-kota besar yang terpapar gaya hidup modern.

Tahun lalu, sebuah lembaga survei, Health Collaborative Center (HCC) Jakarta mengungkapkan tingginya angka kesepian yang melanda di Jabodetabek. Dari 1299 responden yang terlibat dalam survei, sebanyak 44% atau separuhnya mengalami kesepian sedang. Sementara 6% mengalami kesepian berat.

Survei yang melibatkan 1.299 responden tersebut mengungkapkan bahwa separuh warga Jabodetabek merasa kesepian, dengan perincian sebagai berikut: 44% responden mengalami kesepian sedang dan 6% mengalami kesepian berat. Survei ini menggunakan barometer Skala Kesepian UCLA yang membagi kesepian menjadi dua kategori, yaitu kesepian sedang dan kesepian berat.

Tingginya angka kesepian bagi warga Jabodetabek disebabkan oleh ketidakcocokan yang dialami banyak orang dalam pergaulan. Status perkawinan juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam membentuk kesepian. Sebanyak 60 persen responden yang berstatus jomblo atau bercerai lebih rentan mengalami kesepian derajat sedang hingga berat.

Kesepian banyak dialami warga di usia produktif. Sekitar 51% warga di bawah usia 40 tahun mengalami kesepian sedang. Sementara sekitar 56% perantau yang beresiko mengalami gegar budaya di Jabodetabek merasa kesepian.

Dalam sebuah kolom di detikcom yang ditulis Dinar Maharani Hasnadi, pengamat isu sosial dan sosiologi, mahasiswa FISIP Universitas Indonesia, ia membeberkan beberapa aspek yang mendorong seseorang dapat merasa kesepian. Dinar mengutip artikel "Neoliberalism is creating loneliness: That's what's wrenching society apart", oleh pengamat politik George Monbiot.

Teknologi dan media sosial dinilai menjadi salah satu biang keroknya. Banyaknya unggahan yang mendorong individu untuk membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga menyebabkan stres yang tidak perlu. Selain itu, stres karena peristiwa-peristiwa ekonomi atau politik, stres karena tuntutan akademik, dan stres karena konflik interpersonal turut menyebabkan rasa kesepian.

“Bagi generasi milenial dan Z, rasa kesepian dapat diperparah karena adanya celah dengan generasi X dan baby boomers yang sulit memahami signifikansi masalah modern yang dinilai lebih sepele. Adanya rasa "sombong" bahwa permasalahan pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia jauh lebih sulit telah menumpulkan rasa simpati yang menjadi jembatan menuju harmoni sosial antargenerasi,” ungkap Dinar.

Menurutnya, sampel dalam survei ini tidak dapat mewakili seluruh populasi secara sepenuhnya. Pengalaman kesepian bagi setiap individu pasti berbeda-beda. Kesepian tidak bisa dinilai hanya dari kategori atau rentetan angka statistik. “Kesepian adalah kesepian, tanpa kategori atau embel-embel data. Survei-survei seperti ini, walaupun dilakukan dalam usaha memahami isu kesehatan jiwa secara lebih holistik, secara tidak sadar telah mengubah hakikat kesehatan mental menjadi sesuatu yang terlalu kuantitatif.”

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahaya fenomena kesepian di tengah gaya hidup modern ini. WHO merilis global recommendation terkait kesepian pada September lalu. Kesepian sama berbahayanya dengan merokok 15 batang setiap hari. Kesepian dapat meningkatkan resiko kematian hingga 45 persen.

Sebagaimana penyakit fisik, kesehatan mental akan dilihat sebagai sesuatu yang harus segera ditangani secara profesional dan terlembaga, tanpa stigma atau subjektivitas. Bagi generasi muda, hal ini dapat terwujud oleh diperbanyaknya lembaga skrining dan rujukan ahli psikologi. “Di lingkungan kampus, hal ini dapat diwujudkan dengan diperbanyaknya komunitas-komunitas positif, khususnya komunitas-komunitas daerah untuk para mahasiswa rantau,” ungkap Dinar.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial