Jakarta -
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam pendidikan tinggi semakin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi. AI memang memiliki banyak sekali manfaat dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tidak dapat dihindari bahwa AI juga mempunyai kelemahan yang berpotensi mempengaruhi kualitas pembelajaran. Salah satu yang kita sadari bahwa kelemahan AI ada pada kemampuan yang terbatas dalam memberikan pendekatan yang mendalam kepada mahasiswa.
Secara filosofis, AI cenderung kurang fleksibel jika dibandingkan dengan manusia dalam memahami konteks pembelajaran secara mendalam. Algoritma AI bekerja berdasarkan data yang telah diprogramkan, sehingga kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang berbeda dan memahami kebutuhan spesifik dan preferensi Mahasiswa menjadi terbatas, tidak seperti yang dilakukan oleh dosen yang bisa responsif terhadap mahasiswa di berbagai situasi.
Mahasiswa sering memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, baik dalam pemahaman materi maupun cara belajarnya. AI bisa menyulitkan proses pembelajaran bagi mahasiswa yang memerlukan pendekatan khusus dan lebih mendalam karena sistemnya yang kaku dan linear.
Penelitian menyatakan bahwa AI juga tidak memiliki kemampuan untuk memahami emosi dan menyampaikan empati, dua hal ini sangat penting dalam proses pembelajaran. Mahasiswa sering membutuhkan bimbingan emosional dan motivasi dari pengajar, terutama dalam menghadapi tekanan akademik. AI, yang umumnya hanya beroperasi berdasarkan algoritma, tidak dapat menyediakan dukungan ini, sehingga beberapa mahasiswa mungkin merasa kurang terinspirasi bahkan merasa diabaikan saat menghadapi kesulitan belajar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, AI cenderung mengandalkan data yang telah ada dan menjadi sulit untuk beradaptasi terhadap situasi baru yang kompleks atau abstrak. Hal ini dapat menghambat pada perkembangan kreatif dan kritis mahasiswa, terutama dalam hal disiplin ilmu yang membutuhkan pemahaman mendalam dan perspektif yang berbeda. Mahasiswa hanya diberikan jawaban-jawaban standar yang diambil dari data, tanpa adanya pembahasan yang lebih luas dari konteks permasalahan yang mereka hadapi.
Di sisi lain, penggunaan AI ini yang terlalu intensif dalam perkuliahan bisa menurunkan kemampuan interaksi sosial pada mahasiswa. Proses belajar di perguruan tinggi bukan hanya soal menerima informasi saja, tetapi juga bagaimana mahasiswa belajar bisa berinteraksi, bekerja sama, dan berpikir kritis dalam lingkungan sosialnya. Ketika mahasiswa hanya berinteraksi dengan teknologi, mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial yang penting dalam dunia kerja dan kehidupan nyata.
AI juga menghadapi tantangan dalam mengidentifikasi potensi kesulitan yang dialami oleh mahasiswa. Dosenlah yang dapat mengenali tanda-tanda yang menunjukkan masalah dalam akademik maupun psikologis mahasiswa, seperti penurunan motivasi, perubahan perilaku, serta memberikan dukungan yang sesuai kepada mahasiswa yang membutuhkan hal tersebut. Sebaliknya, AI cenderung hanya fokus pada aspek akademis saja tanpa adanya untuk mempertimbangkan faktor-faktor pribadi mahasiswa yang bisa mempengaruhi prestasi mereka.
Secara keseluruhan, meskipun AI dapat menjadi alat bantu yang efisien dalam pendidikan, penggunaannya yang berlebihan dan tidak tepat dalam perkuliahan bisa menimbulkan lebih banyak dampak negatif daripada positif. Teknologi AI ini sebaiknya digunakan sebagai pelengkap saja, bukan pengganti, dari interaksi manusia yang menjadi esensi dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Mari bersama-sama kita menciptakan lingkungan pendidikan yang berimbang, di mana AI dan interaksi manusia saling melengkapi untuk mencapai tujuan akademis yang lebih berarti.
Ashfa Mawaddati mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mmu/mmu)