Jakarta -
Lagi-lagi guru dikriminalisasi. Supriyani, seorang guru honorer dari Konawe Selatan, Sulawesi Utara, diseret ke meja hijau. Ia diduga menganiaya muridnya yang merupakan anak polisi. Setelah sepekan berada di penjara, penangguhan penahanan Supriyani dikabulkan Pengadilan Negeri Andoolo. Kejadian Supriyani ini viral di media sosial, saat tagar 'Save Ibu Supriyani, S.Pd' beredar luas. Hal ini mengundang respons dari sesama guru dengan menyerukan mogok mengajar untuk membela Supriyani.
Ironisnya, peristiwa ini terjadi saat pergantian Menteri Pendidikan dari Nadiem Anwar Makarim ke Abdul Mu'ti dilangsungkan. Seolah menyampaikan pesan bahwa kriminalisasi guru menjadi pekerjaan rumah pertama bagi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti.
Disiplin Positif
Kejadian melaporkan guru karena diduga melakukan kekerasan dalam mendisiplinkan murid ke aparat penegak hukum bukan kali ini terjadi. Dalam rentang waktu 10 tahun, pengadilan banyak memutus kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswanya. Ada guru yang divonis bersalah, tidak sedikit juga yang divonis bebas. Tidak mengherankan bila pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Salah satu kebijakan dalam peraturan tersebut adalah wajib dibentuknya satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan hingga tingkat dinas pendidikan kabupaten/kota/provinsi. Satuan tugas ini yang diberi peran lebih untuk membantu kepala sekolah dalam melakukan pencegahan kekerasan baik berupa sosialisasi, pelatihan, dan kegiatan sejenis dalam menyamakan persepsi kepada seluruh sivitas sekolah bahwa segala tindak kekerasan apapun bentuknya, baik verbal maupun non verbal, dan alasannya dilarang.
Kita berharap dugaan penganiayaan fisik seperti menjewer atau menampar yang dilakukan Supriyani tidak terbukti di pengadilan. Konsep disiplin positif perlu masif disosialisasikan kepada sivitas sekolah. Disiplin harga mati untuk mencapai sukses. Ia harus ada dalam setiap murid dalam belajar. Menurut konsep ini, guru dapat mendisiplinkan murid tanpa harus ada lagi hukuman (punishment) dan hadiah (rewards).
Murid disiplin melaksanakan aktivitas belajarnya dari mulai masuk sekolah tepat waktu, belajar secara gembira, bermain dengan teman-temannya, bertegur sapa dan menghormati guru dan tamu sekolah, tanpa harus disuruh, diiming-imingi dengan nilai atau ditakut-takuti dengan semacam punishment score. Murid melakukan itu atas kesadarannya yang dibangun melalui pembiasaan, suri teladan (role model) dari gurunya di sekolah dan orangtuanya di rumah. Karena itu, sinergi antara pendidikan di sekolah (formal) dan di rumah (informal) dilakukan secara simultan. Saat di sekolah penanganan murid steril dari kekerasan, di rumah pun sama, begitupun sebaliknya.
Guru dan murid membuat kesepakatan kelas, apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, bersama-sama membangun komitmen untuk mentaati kesepakatan tersebut. Seandainya ada poin kesepakatan yang dilanggar, guru melakukan pendekatan restitusi dengan bertanya, menggali latar belakang mengapa murid tersebut melanggar kesepakatan tersebut, lalu menanyakan apa yang ia akan lakukan ke depan untuk memperbaiki dirinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditanamkan pula kepada murid, konsekuensi bila ia melakukan pelanggaran. Misalnya, jika ia terlambat 30 menit, maka konsekuensinya ia akan kehilangan 30 menit layanan kegiatan belajar mengajar di kelas. Jika ia memecahkan jendela kelas karena ia bermain bola di dalam kelas, konsekuensinya ia harus membersihkan kaca dan mengganti kerugian yang ditimbulkan. Konsekuensi ini melatih tanggung jawab kepada murid atas pelanggaran yang ia perbuat.
Berbeda dengan pendisiplinan yang selama ini dilakukan sekolah saat hukuman menjadi ujung tombaknya, tak jarang tidak ada kaitan antara hukuman yang diberikan dengan pelanggaran yang dilakukan murid. Misal, murid terlambat sekolah karena bangun terlalu siang, lalu ia dihukum berdiri di tengah lapang agar jera. Sementara akar masalah mengapa ia bangun kesiangan tidak diselesaikan. Pendisiplinan seperti ini yang rawan munculnya kekerasan, bahkan perundungan saat pelaku pelanggaran ditertawakan oleh teman-temannya.
Undang-Undang Perlindungan Guru
Tampaknya perlu dibuat undang-undang perlindungan guru yang secara khusus menjamin kemerdekaan bagi guru dalam mendidik dan mendisiplinkan muridnya tanpa khawatir dipidanakan. Meski ada beberapa regulasi yang melindungi profesi guru, faktanya tidak efektif. Guru dapat dilaporkan ke aparat penegak hukum atas dugaan tindak pidana yang dilakukan padahal perbuatan yang diduga melanggar aturan itu sebenarnya tidak ada motif jahat (mens rea) dan merupakan dalam konteks mendidik.
Sebagaimana undang-undang pers, para jurnalis tidak serta-merta dapat diadukan ke aparat penegak hukum saat ia memberitakan kejadian yang tidak menyenangkan bagi seseorang. Dewan pers yang akan menilai apakah jurnalis tersebut melanggar atau tidak kode etik jurnalistik. Terobosan yang sama dapat dilakukan untuk profesi guru.
Meski ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, atau peraturan di bawahnya yang mengatur tentang perlindungan profesi guru, tetap saja kejadian seperti Supriyani terjadi. Dengan kata lain, peraturan yang selama ini digunakan untuk melindungi guru melaksanakan aktivitas mendidik tidak efektif. Tidak ada yurisprudensi hingga saat ini sehingga ketika guru dilaporkan ke aparat penegak hukum, pengadilan menolak mengadili.
Karena itu, perlu regulasi yang lebih kuat untuk mengatur secara tegas bahwa tindakan guru dalam mendidik atau mendisiplinkan siswa tidak dapat dipidanakan. Bila orang tua tidak menerima tindakan guru terhadap putra/putrinya, ia dapat mengajukan gugatan atau keberatan kepada dewan etik profesi yang ada organisasi profesi seperti PGRI. Di dewan etiklah diuji perbuatan guru yang digugat tersebut apakah terjadi pelanggaran kode etik ataukah tidak.
Terobosan ini sangat penting dilakukan oleh Mendikdasmen di seratus hari pertama untuk menunjukkan kepada publik bahwa kesejahteraan (well beings) kepada guru bukan sekadar soal gaji yang layak dan kepastian jenjang karier yang jelas, namun memastikan aman secara psikologis saat ia menjalankan aktivitasnya dalam mendidik, mengajar, membimbing, dan mengevaluasi murid.
Banyak komentar negatif dari netizen bagi orangtua yang tidak mau anaknya dididik untuk disiplin, atau yang melaporkan guru ke aparat penegak hukum, untuk membuat sekolah sendiri. Tentunya ini tidak sehat bila dibiarkan. Kemendikdasmen perlu merespons secara aktif masalah ini bukan menjadikan wacana ganti kurikulum yang baru berjalan empat tahun sebagai prioritas PR yang diselesaikan.
Denny Kodrat pengamat pendidikan
(mmu/mmu)