Jakarta -
"Kita harus kerja sama. Kita harus kolaborasi, jangan kita mau ikut-ikut budaya lain. Budaya barat atau budaya mana itu mungkin suka oposisi-oposisi, gontok-gontokan, oposisi, nggak mau kerja sama itu mungkin budaya mereka." Begitulah potongan pidato Prabowo Subianto pada Kongres III Nasdem, di Jakarta Pusat (27/8). Pidato tersebut seakan menegaskan bahwa kolaborasi atau kerja sama adalah kata kuci yang akan mewarnai kabinetnya nanti.
Minggu 20 Oktober 2024 merupakan momen bersejarah bagi Prabowo. Sebab setelah dua kali gagal menjadi presiden, kini bersama wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, Prabowo dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029. Momen ini sekaligus mengakhiri masa jabatan Presiden Jokowi yang sudah berjalan sepuluh tahun.
Untuk dapat menjalankan pemerintahan dengan baik, Prabowo akan dibantu oleh menteri kabinet kerja. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 17 UUD NRI tahun 1945 ayat 1 dan 2: Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, dan menteri-menteri tersebut diangkat juga diberhentikan oleh Presiden. Sementara itu, menurut Pasal 15 UU No. 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara: Jumlah keseluruhan Kementerian yang dibentuk ditetapkan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden.
Itu artinya, Prabowo memiliki keleluasaan (hak preogratif) dalam menentukan jumlah sekaligus nama-nama yang akan mengisi pos kementerian dan lembaga. Namun yang menjadi perdebatan publik ialah munculnya 17 orang menteri Jokowi dalam 100 orang calon menteri, wakil menteri, dan lembaga yang sudah dipanggil Prabowo ke Kertanegara Jakarta maupun Hambalang Bogor. Mereka di antaranya Pratikno, Sri Mulyani, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Bahlil Lahadalia. Sehingga muncul anggapan bahwa kabinet Prabowo-Gibran tiada lain adalah kabinet Jokowi jilid tiga (kabinet daur ulang).
Mengakomodasi Semua Kepentingan
Bagi negara demokrasi, salah satu upaya mewujudkan pemerintahan yang baik adalah melalui pendekatan meritokrasi (merit system). Istilah ini dipopulerkan oleh Michael Young dalam bukunya Rise of the Meritocracy (1958). Meritokrasi adalah sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk bekerja berdasarkan kemampuan dan prestasi individu daripada basis keluarga, kekayaan, atau latar belakang sosial. Singkatnya rekrutmen pejabat pemerintahan dilakukan berdasarkan kinerja nyata bukan atas dasar lobi-lobi politik.
Namun jika melihat kondisi yang ada, tampaknya Prabowo akan lebih mengedepankan pola akomodatif dibanding meritokrasi. Taktik ini dikenal juga sebagai the winner takes all atau pemenang mengambil semuanya. Strategi ini dilakukan pemenang pemilu dengan tujuan memegang kendali penuh pemerintahan tanpa adanya oposisi, sehingga mereka lebih leluasa membuat kebijakan tanpa khawatir di tolak parlemen.
Setidaknya ada tiga basis utama yang melatarbelakangi Prabowo memilih politik akomodatif dalam menyusun kabinet kerja. Pertama, janji politik setia Prabowo terhadap Jokowi. Seperti yang kita tahu, sebelum terpilih sebagai presiden, Prabowo kerap menasbihkan diri sebagai penerus Jokowi. Bahkan dalam forum debat calon presiden, Prabowo tidak pernah absen memuji kinerja pemerintahan Jokowi dan berjanji akan meneruskan proyek besar Jokowi jika terpilih sebagai Presiden 2024.
Sebagai orang berlatar militer, tentu Prabowo sangat paham bahwa setiap janji haruslah ditepati. Apalagi pada pemilu kemarin, suara Jokowi sangat berkontribusi dalam pemenangan Prabowo. Maka pada konteks ini, masuknya sejumlah menteri dan loyalis Jokowi dalam kabinet Prabowo adalah bagian dari pemenuhan janji. Mereka ditugaskan untuk mengakselerasi dan menguatkan legacy Jokowi pada pemerintahan Prabowo-Gibran.
Basis kedua ialah janji politik Prabowo terhadap partai koalisi dan tim pemenangan. Dalam UU Pemilu No. 7 tahun 2017, untuk dapat mencalonkan diri sebagai Calon Presiden seseorang harus mendapatkan dukungan partai atau gabungan partai politik minimal 20% jumlah kursi DPR pada pemilu sebelumnya atau disebut dengan presidential threshold. Dalam hal ini, pasangan Prabowo-Gibran diusung sembilan partai pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Bahkan beberapa bulan menjelang pelantikan, PKB dan PKS pun ikut bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran (baca: kimplus.org)
Konsekuensi logis dari besarnya dukungan politik terhadap Prabowo-Gibran menimbulkan sebuah dilema. Satu sisi mereka harus membuat kebijakan berdasarkan kepentingan rakyat. Namun di sisi lain, mereka sulit terlepas dari jebakan politik pragmatis. Akibatnya dalam penyusunan kabinet kerja, mereka lebih cenderung bagi-bagi jatah kementerian sesuai dengan kesepakatan politis. Inilah kemudian yang disebut banyak pihak sebagai dasar politis jumlah kementerian tidak lagi dibatasi 34 jenis, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan presiden.
Ketiga, janji politik terhadap basis pemilih (rakyat). Merujuk data KPU dalam penetapan Presiden dan Wakil Presiden 2024, Prabowo-Gibran mendapatkan 96.214.691 suara (56,8 %). Sebagai Presiden dan Wakil Presiden, tentu Prabowo-Gibran harus menuntaskan janji politiknya terhadap rakyat indonesia, khususnya bagi 56,8 persen suara yang sudah memilihnya. Dengan kata lain, visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 serta delapan pokok haluan (Astacita) yang sudah dicanangkan harus benar-benar bisa terealisasi dengan baik.
Di tengah situasi ekonomi dan geopolitik yang sangat dinamis seperti saat ini, mewujudkan kesejahteraan rakyat tentu bukanlah perkara mudah. Oleh karna itu, nomenklatur dan efisiesi kementerian menjadi kunci keberhasilan. Jangan sampai tidak adanya batasan jumlah kementerian, serta tingginya dominasi partai koalisi menjadikan akselerasi keberpihaan terhadap rakyat menjadi terhambat.
Berpihak kepada Rakyat
Dari ketiga janji politik yang sudah dijelaskan tersebut kita berharap bahwa Prabowo-Gibran akan mengedepankan kepentingan rakyat dibanding kepentingan pragmatis individu maupun kelompoknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Itu artinya, dasar teoritis dari negara demokrasi adalah kekuasaan berada di tangan rakyat.
Di sisi lain, Marcus Cicero, seorang filsuf klasik dari Yunani Kuno menjelaskan, kesejahteraan bersama dari seluruh rakyat adalah hukum yang tertinggi. Itu artinya, dalam segala aspek pembuatan peraturan maupun kebijakan publik, rakyat dan kepentingannya adalah titik pijak yang paling utama. Seluruh tata politik, ekonomi, dan hukum dibuat untuk memenuhi sedapat mungkin semua kepentingan rakyat.
Pada akhirnya, kita berada pada kesimpulan bahwa mengevaluasi dan menilai orang sebelum resmi menjabat bukanlah hal yang bijaksana. Sebab, dunia politik pemerintahan sangatlah dinamis. Orang yang pada awalnya kita percaya dapat membawa perbaikan justru kerapkali berkhianat dan mengecewakan. Namun bisa jadi orang yang awalnya kita ragukan justru malah memberikan bukti nyata dengan kinerja yang maksimal. Jadi kita tunggu dan kawal kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran untuk lima tahun ke depan.
Dadan Rizwan Fauzi mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana UPI
(mmu/mmu)