Intrik Pembunuhan Asisten Residen Bandung

3 hours ago 2

Ilustrasi : Edi Wahyono

Rabu, 22 Januari 2025

Sebuah rumah di Kampung Kaum, Desa Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Bandung, dibakar orang tak dikenal pada malam dini hari, Sabtu, 27 Desember 1845. Kobaran api merembet ke rumah lainnya hingga menjalar membakar Pasar Ciguriang, satu-satunya pasar yang pertama ada di Kota Kembang. Warga panik dan berhamburan keluar rumah.

Setelah menerima laporan huru-hara itu, Asisten Residen Bandung Carl Wilhelm August Nagel, 48 tahun, keluar dari Loji (rumah dinas). Dia langsung menuju lokasi kejadian yang jaraknya sekitar 3 kilometer ditemani ajudannya, opas Baron, dengan menumpang kereta kuda.

Bupati Bandung Raden Adipati Wiranatakusumah III, yang dikenal dengan julukan Dalem Karanganyar, melakukan hal yang sama menuju lokasi kebakaran. Nagel, yang lebih dahulu tiba, melihat dari kereta kudanya banyak orang panik dan berupaya memadamkan api.

Nagel tak menyadari bila di kegelapan malam di antara kerumunan orang ada beberapa orang berpakaian serba hitam mendekatinya. Salah satu di antara mereka langsung menyerang dan menebaskan pedang ke arah Nagel. Melihat hal itu, opas Baron turun dari kereta kuda menghadang mereka.

Tapi karena dikeroyok, opas Baron akhirnya ambruk ke tanah setelah tubuhnya beberapa kali menerima bacokan pedang dan keris hingga bersimbah darah. Nagel berniat akan menolong ajudannya. Tapi para penyerangnya langsung mengincar dengan menebaskan pedang dan keris ke tubuhnya.

Nagel memekik kesakitan ketika senjata tajam menghujam tubuhnya. Tapi dia masih bisa mengenali salah satu penyerangnya karena diterangi cahaya dari kobaran api. “Tangkap si Munada!” teriak Nagel seraya menyebutkan nama pelaku penyerangnya, sebelum tubuhnya jatuh terkulai di tanah.

Mendengar teriakan itu, Lurah Pasar bernama Rono Sentono mengejar Munada yang lari ke arah selatan. Munada hendak menikam lurah tersebut, tapi rupanya kalah cepat. Justru Munada tertusuk keris milik sang lurah. Namun, saat hendak ditangkap, Munada loncat dan kabur meninggalkan kerisnya.

Selain Nagel, komplotan penyerang juga menyasar untuk membunuh Bupati Bandung Raden Adipati Wiranatakusumah III. Tapi gagal karena dihadang oleh Kopral Unit, seorang prajurit kabupaten yang mengawalnya. Unit melakukan perlawanan dengan gigih untuk melindungi sang bupati.

Sementara Asisten Residen Bandung yang terluka parah segera dibawa ke Loji. Namun luka parah akibat bacokan dan tusukan pedang dan keris tak kunjung membaik. Asisten Residen Bandung sekaligus menjabat sebagai Asisten Perkebunan Kopi itu meninggal dunia pada 3 Januari 1846.

Pria kelahiran Hoyel, Jerman, 10 Maret 1794, itu dimakamkan di sebuah tempat sebelah utara dari Oud Kerkhof Weg, sekarang Jalan Banceuy. Peristiwa itu dilaporkan kepada Residen Priangan di Cianjur, yaitu O.C. Holmberg de Beckfelt dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor dan Batavia (Jakarta).

Assistent Resident huis te Bandoeng 1915_
Foto : Istimewa

Kematian Asisten Residen Bandung menjadi topik menarik perhatian masyarakat Bandung, terutama kalangan bangsawannya. Lebih dari 100 tahun ceritanya masih dikenal secara lisan. Pemerintah pusat di Batavia memerintahkan agar kasus itu diselidiki hingga tuntas.

Pembunuhan tersebut dipandang sebagai peristiwa besar di daerah Bandung. Kisah pembunuhan penuh intrik para menak Bandung itu dimuat di dalam empat naskah, yakni Wawacan Carios Munada (1845), Sajarah Timbanganten (1845), Kitab Pancakaki (1846) dan Babad Raden Aria Adipati Martanagara (1923).

“Bedanya ragam ceritanya bervariasi dari sudut kuantitas cerita dan dari titik berat ceritanya,” ungkap peneliti Edi S. Ekadjati dan Aam Masduki dalam buku ‘Wawacan Carios Munada’ terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993).

Naskah Wawacan Carios Munada dianggap paling detail mengisahkan pembunuhan tersebut. Naskah ini dibuat oleh W.P.Tj.M. Kartadinata, mantan Kepala Stasiun Rajapolah di Banontjinawi Preangan dan diterbitkan G. Koff & Co. Batavia pada 1845. Namun peristiwa pembunuhan di dalam naskah ini terjadi pada 30 Desember 1842.

Munada disebutkan warga keturunan Cina asal Kudus yang bernama asli Liem Siang. Sebelumnya, dia menetap di Cianjur sebagai pedagang kuda, kerbau, dan dokar. Pria berperawakan perlente dan pandai bicara ini masuk agama Islam, sehingga mengubah namanya menjadi Munada.

Lalu dia hijrah ke Bandung berdagang kain (laken, madras, encit, kateh dan batik). Karena itulah Munada dapat berkenalan dengan para priyayi atau menak Bandung. Hingga akhirnya dia berhasil dekat dengan Asisten Residen Bandung, CWA Nagel. Dagangannya sangat laku sehingga ia mendapat keuntungan besar.

Sayangnya semua keuntungan yang didapat justru dihabiskan untuk foya-foya, seperti menghisap candu, main judi, dan perempuan. Akibatnya Munada malah terlilit utang lelang kepada negara senilai 300 gulden (f 300), nilai uang yang cukup besar pada waktu itu.

Munada memohon kepada Asisten Residen Bandung untuk bisa menalanginya. Nagel mengabulkannya dengan syarat Munada mau menjualkan 6 kerbau miliknya di Balubur Limbangan (Garut). Selain itu, Munada diberi kesempatan menjadi pemasok kuda dan kerbau untuk keperluan kereta pos Belanda.

Ternyata uang hasil penjualan kerbau dan komisi pelaksanaan order dihabiskan di meja judi, tempat hiburan (ronggeng) dan pelacuran. Setelah dicari petugas keamanan, Munada ditangkap saat kencan dengan ronggeng bernama Nyi Oyi, sambil main judi. Dia disiksa hingga dijebloskan ke penjara di Cikapundung.

Di penjara, Munada bertemu dengan Mas Suradireja, yang berkerja sebagai juru simpan Hoofd Djaksa (Jaksa Kepala) Bandung Raden Demang Mangunagara. Suradireja dipenjara atas tuduhan kematian istrinya sendiri, Nyi Asmah. Perempuan mati diduga karena diracun oleh orang suruhan suaminya sendiri.

Pasar Baru Bandung, pengganti Pasar Ciguriang 1900. 
Foto : KITLV Leiden

Raden Demang Mangunagara merasa tak senang anak buahnya ditangkap dan ditahan tanpa pemberitahuan. Karena itu Demang Mangunagara menaruh dendam kepada Bupati Bandung Raden Adipati Wiranatakusumah III dan Asisten Residen Bandung C.W.A Nagel.

Di sisi lain, Dameng Mangunagara sakit hati kepada Bupati Bandung. Demang Mangunagara menaruh hati kepada Ratna Ayu Rajamerat, putri sang Bupati. Sayangnya sang putri Bupati justru dinikahkan kepada Raden Suriakusumah Adinata, putra Bupati Sumedang.

Karena itulah Munada dan Suradireja mengungkapkan pengalaman dan perasaannya masing-masing. Keduanya sama-sama memiliki dendam kepada Asisten Residen Bandung dan Bupati Bandung. Tiga bulan kemudian, Munada dibebaskan dan kembali ke rumahnya di kawasan Cibadak.

Munada menemui Raden Demang Mangunagara di rumahnya di Kajaksan. Dia meceritakan telah bertemu Suradireja dan berniat ingin membalas dendam kepada Asisten Residen Bandung C.W.A Nagel dan Bupati Bandung Raden Adipati Wiratanakusumah III.

“Walau sampai pada ajal, saya rela membela paduka, dan membalas sakit hati. Sekarang niat saya, yang dua orang itu akan saya bunuh,” ucap Munada kepada Demang Mangunagara.

Keesokan harinya, Munada diminta kembali. Di sana berkumpul Demang Mangunagara dan beberapa orang lainnya, yaitu Raden Sasmita, Raden Padma, Ngabehi Juri, Wiradinata (pegawai penjara), Sastradireja (juru tulis Kawedanan Ujungberung Wetan), Mas Raksamanggala dan Raden Puspayuda.

Semua yang hadir dalam pertemua rahasia mengambil sumpah janji untuk segenap jiwa dan raga membela Demang Mangunagara. Lalu mereka menyusun rencana untuk membunuh Asisten Residen dan Bupati Bandung.

Pertama mereka membeli rumah milik Raden Tanek di Kampung, Desa Cibadak, sebelah Mesjid Agung. Rumah tersebut dibeli dengan uang panjer 4 ringgit. Rumah itu akan dibakar untuk memancing Asisten Residen dan Bupati Bandung datang ke lokasi dan membunuhnya.

Dalam aksi pembakaran dan pembunuhan, Munada dibantu empat orang. Seperti tertulis dalam naskah Sajarah Timanganten, keempat pelaku itu adalah Narajibja, Natawijaya Iyong (saudara Jibja), Suma Manggala (petugas keamanan Cibadak) dan Kento (petugas keamanan Kawedanaan Majalaya).

Setelah membunuh Asisten Residen Bandung dan gagal membunuh Bupati Bandung, Munada bersembunyi di rumah Jaksa Kepala Raden Demang Mangunagara. Karena kegagalan dan ingin menghilangkan jejak, Jaksa Kepala bertanya apakah Munada ingin dihukum gantung atau mau bunuh diri.

Pengadilan Landraad di Meester Cornelis (Jatinegara) abad ke-19. 
Foto : Wereldmuseum Amsterdam

“Hamba ingin dibunuh oleh Bapak Jaksa saja,” pinta Munada seperti dikutip dari Babad Raden Adipati Aria Martanagara.

Oleh komplotannya sendiri, leher Mudana diikat dan dimasukan ke dalam peti kayu jati yang besar. Peti itu lalu digotong menuju Sungai Cikapundung. Di tempat itu, kepala Munada dipenggal. Setelah itu jasad Munada dikubur bersama peti kayu jati. Karena itu lah Munada tidak pernah ditangkap hidup-hidup.

Sebagai Jaksa Kepala, Demang Mangunagara sempat ditugaskan untuk mencari pelaku pembakaran dan pembunuhan terhadap Asisten Residen dan percobaan pembunuhan Bupati Bandung. Dia menugaskan Sastradireja untuk mengaku sebagai Munada yang kabur Majalaya, Leles hingga Tarogong.

Dalam rangka pencarian Demang Mangunagara sempat memfitnah Wedana Majalaya, Raden Rangga Anggadireja. Wedana ini dituduh telah menyembunyikan Munada. Anggadireja dihukum selama dua tahun di Cianjur.

Penyelidikan kasus ini berlarut-larut, berbulan-bulan lamanya. Dua tahun kemudian, kasusnya mulai terbongkar berkat kegigihan Jaksa Purwakarta yang ditugaskan untuk melakukan investigasi.

Jaksa Surialaga yang masih tergolong muda dan cakap ini mendekati dan memacari istri tua Demang Mangunagara, Raden Salimantri. Gayung bersambut, perempuan yang merasa disia-siakan hidupnya oleh Demang Mangunagara yang banyak selirnya itu kecantol dan membocorkan semua informasi kepeda Surialaga.

“Melalui pengakuan istrinya inilah, kejahatan Jaksa Bandung terbongkar,” tulis Nina H. Lubis dalam bukunya ‘Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942’ (1998).

Setelah menerima pengakuan tersebut, Surialaga melaporkan hasilnya kepada Bupati Bandung dan Residen Priangan di Cianjur. Setelah laporannya juga diterima oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, semua anggota komplotan yang dipimpin Demang Mangunagara digelandang ke Batavia.

Pengadilan menyatakan mereka bersalah dan divonis masing-masing 20 tahun. Sebagian besar dihukum dan dibuang atau dikucilkan ke Makassar, Ambon dan Ternate. Kecuali Demang Mangunagara yang divonis 25 tahun dan dibuang ke Surabaya.

Sementara jasad Munada baru ditemukan tinggal tulang belulang serta ditemukan sebilah keris. Sedangkan, Raden Salimantri yang sempat kecantol Jaksa Surialaga hanya gigit jari, karena tidak jadi dinikahi.

Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial