Korea Selatan (Korsel) segera menggelar pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih Presiden baru usai Yoon Suk Yeol dimakzulkan. Kandidat calon presiden pun mulai muncul.
Yoon resmi dimakzulkan usai Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (MK Korsel) dengan suara bulat menguatkan pemakzulan Yoon yang awalnya disepakati oleh Parlemen Korsel. Yoon dinyatakan merusak tatanan konstitusi gara-gara menerapkan darurat militer kontroversial pada Desember 2024.
Putusan tersebut dibacakan pada Jumat (4/4/2025). Dalam pertimbangannya, MK Korsel menganggap tindakan Yoon memiliki dampak negatif serius terhadap tatanan konstitusional. Putusan ini diambil saat situasi Korsel semakin panas dan demonstrasi pecah di mana-mana. Para hakim MK Korsel telah mendapat perlindungan tambahan selama proses sidang pemakzulan Yoon.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MK menyatakan tindakan Yoon melanggar prinsip-prinsip inti dari supremasi hukum dan pemerintahan yang demokratis. Ulah Yoon juga menimbulkan ancaman serius bagi stabilitas Korsel
Pemakzulan Yoon ini membuat pemerintah Korsel harus menggelar Pemilu memilih presiden baru dalam kurun 60 hari. Artinya, Pemilu bakal digelar 3 Juni 2025.
Undang-Undang Pemilihan Pejabat Publik menyatakan dalam Pasal 34 bahwa pemilihan presiden harus diselenggarakan pada hari Rabu. Tetapi, aturan ini diterapkan jika seorang presiden telah menjalani masa jabatan penuh dan bukan ketika seseorang telah dimakzulkan. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Komisi Pemilihan Umum Nasional sebelum pemilihan presiden 2017, yang sebenarnya berlangsung pada hari Selasa.
Jika seorang pejabat publik ingin mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, dia harus mundur dari jabatannya 90 hari sebelum pemilihan. Namun, jika terjadi pemilihan mengisi jabatan yang tidak terduga seperti kasus Yoon, seseorang masih dapat ikut serta jika mengundurkan diri 30 hari sebelum pemilihan.
Kini, sejumlah pejabat Korsel telah mengundurkan diri. Salah satunya ialah Presiden sementara Korsel, Han Duck Soo.
Eks PM Korsel Umumkan Maju Capres
Han Duck Soo (Foto: via REUTERS/JEON HEON-KYUN/POOL)
"Mengingat beratnya tanggung jawab yang saya pikul di saat genting ini, setelah berpikir panjang dan matang apakah keputusan ini memang benar dan tidak bisa dielakkan, saya putuskan, kalau memang ini jalan satu-satunya, ya harus saya ambil," ujarnya saat memberikan pengarahan.
Han, yang pernah menjadi Perdana Menteri di bawah presiden liberal dan konservatif serta menjabat Duta Besar Korea Selatan untuk Amerika Serikat, telah menjadi favorit di kalangan konservatif. Dia diperkirakan bakal melawan Lee Jae-myung, kandidat presiden dari Partai Demokrat liberal.
Han sebelumnya ditunjuk sebagai Penjabat Presiden setelah parlemen memakzulkan Yoon Suk Yeol pada Desember 2024. Namun, Han juga sempat ikut dimakzulkan hanya 2 pekan setelah menjabat. Pemakzulan Han itu kemudian dibatalkan oleh MK Korsel.
Oposisi saat itu menuduh Han gagal mencegah kebijakan darurat militer dan menolak kerja sama dalam penyelidikan terhadap mantan Presiden Yoon dan istrinya. Meski demikian, Han tetap dianggap menjadi sosok penting di kubu konservatif, terutama setelah Partai Kekuatan Rakyat, yang juga partai utama pendukung Yoon, mengalami krisis internal.
Kini, Han telah resmi mengumumkan keinginannya maju sebagai capres Korsel. Dia mengatakan hal itu dilakukannya demi masa depan Korea Selatan.
"Demi masa depan Republik Korea, negara yang sangat saya cintai, dan untuk kita semua, saya telah memutuskan untuk melakukan apa yang saya bisa. Saya akan berusaha sekuat tenaga agar dipilih oleh rakyat kita dalam pemilihan presiden ini," ucap Han yang berusia 75 tahun ini.
Calon Presiden dari Oposisi
Lee Jae-myung (Foto: AFP/JUNG YEON-JE)
Namun, peluang Lee untuk maju sebagai capres menipis gara-gara masalah hukum. Dilansir DW, Mahkamah Agung Korsel membatalkan vonis bebas terhadap Lee Jae-myung dalam kasus pelanggaran hukum pemilu pada Kamis (1/5).
Dalam kasus itu, Lee dituduh menyampaikan pernyataan palsu saat kampanye pada Pilpres 2022. Pengadilan tingkat pertama menyatakan Lee tidak bersalah, putusan inilah yang kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung Korsel.
Mahkamah menyatakan ada kesalahan penafsiran hukum dan dalam putusannya ucapan Lee dianggap cukup menyesatkan dan bisa mempengaruhi penilaian pemilih terhadap kelayakan seorang calon presiden. Atas dasar itu, MA Korsel memerintahkan agar kasus ini disidangkan ulang.
Putusan ini menjadi krusial bagi nasib Lee. Jika pengadilan menyatakan di bersalah, Lee berpotensi dilarang mencalonkan diri selama 5 tahun dan terancam hukuman penjara atau denda lebih dari 1 juta won (sekitar Rp 11 juta).
"Biasanya pengadilan tingkat bawah memerlukan waktu sekitar 3 bulan untuk menyidangkan ulang kasus yang dikembalikan oleh Mahkamah Agung," kata pengamat politik sekaligus pengacara Yoo Jung-hoon.
Sehingga proses hukum ini kemungkinan tidak akan selesai sebelum hari Pilpres Korsel yang telah ditetapkan untuk digelar pada 3 Juni 2025. Bahkan jika Lee kalah di pengadilan, dia masih bisa mengajukan banding dan hal tersebut bisa memberi cukup waktu baginya untuk tetap ikut pemilu.
Meski sedang diterpa kasus hukum, Lee tetap berada di puncak survei. Hasil jajak pendapat terbaru dari Gallup menunjukkan Lee mendapat dukungan 38 persen, jauh di atas pesaing-pesaingnya yang masih di bawah 10 persen.
Selain kasus ini, Lee juga sedang menghadapi beberapa persidangan lain yang berkaitan dengan tuduhan korupsi. Jika Lee kalah dalam pemilu, proses hukum itu kemungkinan akan berlanjut. Namun jika menang sebagai presiden, maka dia akan mendapat kekebalan sehingga kasus-kasus hukumnya bisa ditunda selama 5 tahun masa jabatannya dan dilanjutkan kemudian.
(haf/lir)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini