Lalu lintas yang biasanya menggeliat sejak subuh, mendadak terasa bersahabat. Bayu Setiawan, pegawai swasta asal Bekasi, pun terkejut saat motornya melaju tanpa hambatan menuju kantor di Tebet. Biasanya, sudah pasti butuh lebih dari satu jam untuk sampai. Tapi Rabu itu, hanya 45 menit ia sudah tiba di kantor. Memasuki pekan keempat sejak Gubernur Jakarta, Pramono Anung Wibowo, mengimplementasikan kebijakan wajib naik kendaraan umum bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkup Pemprov Jakarta setiap hari Rabu. Sebuah langkah untuk mengurai simpul kemacetan kronis dan mendorong kesadaran lingkungan di kalangan ASN dan masyarakat luas.
“Pantesan tadi jalanan lancar, ternyata ASN pada naik angkutan umum," katanya. Ia menilai kebijakan ini sebagai langkah awal yang tepat. Menurut Bayu, ASN adalah perpanjangan tangan pemerintah yang punya peran langsung dalam menyusun dan menjalankan kebijakan. Sudah seharusnya mereka ikut merasakan kondisi nyata transportasi publik Jakarta yang masih penuh tantangan.
"Kalau yang bikin aturan saja nggak tahu susahnya naik angkot atau bus, gimana mereka bisa buat keputusan yang tepat? Harusnya ASN, dari tingkat bawah sampai pejabat tinggi, rasain sendiri gimana di lapangan," ujarnya. Bayu juga mengharapkan agar para ASN tetap konsistensi dan adanya pengawasan dalam penerapan aturan ini. "Ya, kita lihat saja nanti, sejauh apa pengawasannya. Jangan sampai cuma formalitas. Jangan pura-pura naik angkot, habis itu balik lagi ke mobil pribadi."
Aditya, seorang ASN di Balai Kota Jakarta, awalnya ragu. Dari rumahnya di Tomang, Jakarta Barat, ia membayangkan harus berdesakan di TransJakarta dan menghadapi potensi keterlambatan. Namun, hari itu, Rabu pertama sejak kebijakan berlaku, ia mencoba. "Ternyata lebih cepat 10 menit dari biasanya. Saya pikir akan macet, tapi ternyata malah lancar," ujar Aditya. "Saya nyaman, sih, cukup nyaman. Dan jadi bisa merasakan langsung seperti apa transportasi umum kita." Selama ini ia mengandalkan motor untuk efisiensi. Tapi sekarang, ia mempertimbangkan untuk lebih sering naik bus. Bahkan, katanya, keesokan harinya ia berniat mencoba lagi.
Berbeda dengan Aditya, Abdul Aziz, ASN lainnya yang tinggal di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara, mengalami tantangan lebih besar. Waktu tempuhnya mencapai satu jam, dan ia harus menunggu sekitar 20 menit untuk TransJakarta rute A1. "Jalan kaki dari rumah ke halte sekitar 5-7 menit. Tapi tetap saja, kalau naik motor bisa cuma 20 menit ke kantor," katanya. Meski begitu, Aziz memahami semangat di balik kebijakan ini.
Sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan ini, Pemprov DKI Jakarta memberikan fasilitas transportasi umum gratis bagi ASN setiap hari Rabu, mencakup moda transportasi publik seperti Transjakarta, MRT, dan LRT, namun tidak termasuk layanan taksi. Pasalnya, ASN Jakarta memang termasuk dalam 15 golongan yang mendapatkan fasilitas bebas biaya transportasi umum. Kebijakan ini, yang tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2025, mulai berlaku pada Rabu, 30 April 2025. Bagi pegawai dengan kondisi sakit, hamil, disabilitas, serta petugas lapangan yang membutuhkan mobilitas tertentu, mereka dikecualikan dari instruksi penggunaan transportasi umum.
Data awal menunjukkan tingkat kepatuhan yang positif. "Tingkat kepatuhan aparat sipil negara atau ASN Jakarta terhadap kewajiban naik transportasi umum setiap Rabu mencapai 96 persen," terang Gubernur Pramono Anung Wibowo di Balai Kota Jakarta pada Rabu, 7 Mei 2025. Pramono menilai angka 96 persen itu sudah sangat tinggi. Menurutnya, ada beberapa faktor pendorong. "Kenapa bisa tinggi? Karena memang pertama parkirnya kami tidak perbolehkan di sini," kata Pramono, merujuk pada penutupan akses parkir bagi ASN di kantor-kantor Pemprov DKI.
Dampak langsung kebijakan ini, meskipun baru seumur jagung, mulai menunjukan tren positif. Pramono membeberkan peningkatan jumlah pengguna TransJakarta. "Hari Rabu ada peningkatan pengguna harian dari sekitar 1,25 juta menjadi 1,4 juta orang. ‘Ada kenaikan 100 ribu lebih. Kenapa naik? ASN-nya sendiri ada 62 ribu,’" jelasnya. Sementara pada hari Rabu, 30 April 2025, jumlah penumpang LRT Jabodebek mencapai angka tertinggi 104.453 orang.
Namun, tidak semua ASN dapat dengan mulus beradaptasi, dan ada saja celah yang dimanfaatkan. Edi, bukan nama sebenarnya, seorang ASN di salah satu dinas Pemprov DKI merasa keberatan dengan kebijakan ini. Baginya, setiap hari Rabu adalah tantangan tersendiri. "Saya kan rumahnya di pinggiran Jakarta, agak jauh dari stasiun KRL atau halte TransJakarta utama," keluh Edi yang sehari-hari membawa kendaraan roda empat. Akses penghubung antar wilayah di Jakarta dan kota-kota penyangga masih timpang dan tidak merata. "Kalau mau naik angkutan umum, saya harus naik ojek online dulu, baru sampai stasiun. Total waktu perjalanan bisa dua jam lebih, belum lagi pulangnya, tenaganya udah habis."
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah menetapkan bahwa ASN yang kedapatan membawa kendaraan pribadi pada hari Rabu akan dianggap tidak masuk kantor atau absen. Bahkan, apabila ASN memarkirkan kendaraannya di sekitar perkantoran, kendaraan tersebut dapat diusir. Untuk memastikan kepatuhan, setiap pegawai diwajibkan mengirimkan foto kepada admin bagian kepegawaian di perangkat daerah (PD) atau unit kerja (UKPD) masing-masing, melalui media seperti grup WhatsApp, Google Form, atau sistem pelaporan khusus lainnya yang ditentukan.
Instruksi Gubernur tersebut secara spesifik menyebutkan bahwa pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib melaporkan aktivitas penggunaan angkutan umum massal saat berangkat dan pulang kerja dengan cara swafoto. Jenis moda transportasi yang dikategorikan sebagai angkutan umum massal untuk kebijakan ini meliputi Transjakarta, MRT Jakarta, LRT Jakarta, LRT Jabodebek, KRL Jabodetabek, Kereta Bandara, bus/angkot reguler, serta kapal dan angkutan antar-jemput karyawan/pegawai.
Sepanjang penerapan kebijakan ini, sejumlah pelanggaran sempat terdeteksi. Masih ada ASN yang nekat datang ke kantor dengan kendaraan pribadi. Para ASN yang melanggar langsung diminta putar balik dan dilarang masuk kantor. Ada pula cerita warga yang melihat bagaimana ASN mengakali aturan ini. Misalnya dengan memarkirkan kendaraan di tempat lain.
"Saya juga ingin Jakarta bebas macet, tapi mohon dipikirkan juga solusi untuk kami yang punya kendaraan pribadi dan akses ke transportasi umumnya masih sulit," kata Edi.
Upaya serupa untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi agar beralih ke angkutan umum pernah dilakukan pada era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), melalui pelarangan sepeda motor melintas di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Thamrin. Kala itu, sebagai alternatif, disediakan bus gratis dari Bundaran Senayan hingga Harmoni.
Namun, kebijakan tersebut tidak bertahan lama karena hanya berupa instruksi gubernur, bukan Peraturan Daerah (Perda). Meskipun demikian, kebijakan pelarangan sepeda motor di era Ahok itu sempat memberikan dampak positif. Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta (2017), terjadi pengurangan volume kendaraan sebesar 22,4 persen, kecepatan kendaraan meningkat dari 26,3 km/jam menjadi 30,8 km/jam, dan waktu tempuh meningkat 15 persen. Polda Metro Jaya (2017) juga mencatat berkurangnya simpul kemacetan, pelanggaran lalu lintas, serta penurunan jumlah kecelakaan hingga 30 persen.