Jakarta -
Diselundupkan ke Kolombia dari Perang Korea pada pertengahan 1950-an, perjalanan hidup bocah yang diberi nama Carlos Arturo Galln itu penuh liku, rahasia, dan reuni yang tak terduga.
Carlos Arturo Galln bukanlah nama lahir bocah itu.
Nama itu baru diberikan setelah dia tiba Kolombia. Seorang tentara menyelundupkannya dari medan Perang Korea di dalam tas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak pernah jelas terungkap siapa nama aslinya. Dari berbagai catatan yang ada, nama Yung Ucheol tampaknya yang paling mendekati kebenaran.
Usianya pun penuh teka-teki. Ketika beberapa tentara Kolombia menemukannya tengah mengais di antara tumpukan sampah, umurnya diperkirakan sekitar tujuh atau delapan tahun.
Lebih dari 70 tahun telah berlalu, tetapi kisah bocah Korea yang menempuh perjalanan ribuan kilometer dengan disembunyikan di dalam tas dan menjalani kehidupan di Amerika Selatan masih membuat banyak orang penasaran.
Bocah itu sempat merasakan popularitas sebelum akhirnya kembali ke Korea melalui sebuah perjalanan yang sulit dipercaya.
Salah satu yang terobsesi dengan kisah ini adalah Andres Sann, seorang jurnalis asal Kolombia.
BBC
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
BBC
Baru-baru ini, Sann menerbitkan buku berjudul El nio de la tula (Planeta 2025), atau Bocah dalam Tas, yang mengisahkan kehidupan bocah Korea ini di tanah asing.
Buku itu juga mengisahkan tentang pernikahan Galln yang sempat menjadi sorotan media layaknya selebritas.
Sann merangkai kisah ini berdasarkan kesaksian salah seorang putra Galln yang bernama Yunc, serta beberapa veteran perang Korea asal Kolombia.
Dia ingin merekonstruksi perjalanan hidup seorang pria yang lekat dengan konflik, penelantaran, dan hantu masa lalunya.
Petualangan ini berawal pada 1951. Presiden Kolombia kala itu, Laureano Gmez, mengirimkan sekitar 5.000 tentaranya untuk bertempur bersama AS dan Korea Selatan melawan pasukan Korea Utara yang didukung oleh China dan Uni Soviet.
Batalyon Kolombia di Korea
Perang Korea adalah konflik militer pertama di era Perang Dingin. Dua kekuatan besar saat itu, AS dan Uni Soviet, memperebutkan hegemoni ideologi, ekonomi, dan militer di dunia.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1945, Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II. Kekalahan ini sekaligus mengakhiri dominasi Jepang di Korea selama beberapa dekade.
Dengan gagasan bahwa bangsa Korea berhak menentukan masa depan yang bersatu, Uni Soviet menduduki separuh wilayah utara Semenanjung Korea, sementara AS menguasai bagian selatannya.
Namun, perbedaan ideologi antara Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang kapitalis makin meruncing. Kondisi ini berujung pada pembentukan dua negara terpisah.
Pada tanggal 25 Juni 1950, Korut, dengan dukungan politik dan logistik dari Uni Soviet dan China, menyerbu Korsel dengan tujuan menyatukan kembali semenanjung di bawah satu rezim komunis.
Baca juga:
- Kisah pemberontakan masyarakat adat yang memicu terbentuknya Republik Dule yang berumur pendek di Panama
- Kisah anak-anak 'hilang' Korsel yang dikirim ke luar negeri untuk diadopsi 'Anak-anak kami diambil'
- Kisah geng perempuan yang meneror London selama puluhan tahun
Namun, Korsel, yang didukung AS dan sekutu-sekutunya, serta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), berhasil menahan invasi tersebut dan melancarkan serangan balik besar-besaran.
Inilah awal dari konflik brutal selama tiga tahun yang membagi Korea menjadi dua. Perpecahan ini mengakibatkan empat hingga enam juta orang tewas, ribuan pengungsi, dan ratusan keluarga terpisah.
Kolombia menjadi satu-satunya negara di Amerika Latin yang mengirimkan tentaranya untuk berperang dalam perang tersebut, di bawah nama Batalyon Kolombia.
Seorang tentara, Aureliano Galln, memiliki jiwa petualang dan dikenal "bandel". Di tengah medan perang, seorang bocah Korea yang kelaparan dan terlantar membangkitkan naluri kebapakannya.
'Papasn, Saya Ingin Pergi ke Kolombia'
"Saya selalu merahasiakan cerita bocah Korea kecil yang dengan dukungan rekan-rekan, saya bawa ke Kolombia.
(...)
Suatu hari saat sedang patroli rutin, saya melewati sebuah tempat pembuangan sampah dan barang-barang tak terpakai. Saya melihat jejak kaki di salju. Itu menarik perhatian saya.
(...)
Tak lama, saya menemukan ada tujuh orang anak saling berdesakan.
(...) Saya menyadari mereka mengais sampah demi mencari makan dan pakaian. Di antara anak-anak Korea itu, saya tertarik pada seorang anak yang terlihat paling cerdik. Karena mustahil untuk berkomunikasi dengan mereka, saya memutuskan untuk kembali ke kamp dan mencari seseorang yang bisa menjadi penerjemah.
Orang Korea yang saya bawa ternyata bisa berbahasa Spanyol dan ini sangat membantu. Dia berbicara dengan anak-anak itu. Saya pun memutuskan untuk membawa Young Huchory ke garis depan. Usianya tujuh tahun. Dia sangat lincah dan ramah. Selama beberapa bulan berikutnya, saya mulai mengajarinya bahasa Spanyol. Dia belajar banyak kata dengan cepat dan suatu hari dia mengejutkan saya dengan berkata:
Papasn, saya ingin pergi ke Kolombia.
(...)
Meminta izin untuk membawanya ke tanah air saya sia-sia. Jadi saya mengambil keputusan: saya akan membawanya ke Kolombia secara diam-diam."
Di atas adalah petikan kesaksian Aureliano Galln, ayah angkat Carlos Arturo, kepada surat kabar El Espectador pada 1964.
Artikel dimuat 11 tahun setelah berakhirnya perang di Korea.
Putra batalion Kolombia
Menurut penulis Sann, itulah satu-satunya versi resmi tentang bagaimana para prajurit Batalyon Kolombia menemukan bocah kecil bernama Yung Ucheol.
Melalui penyelidikan dan wawancara dengan para veteran lainnya, sang jurnalis berupaya merangkai kisah meski memori tiap-tiap orang senantiasa berpotensi subjektif.
"Veteran Ramn Rojas, rekan Galln dan orang yang paling sering saya ajak bicara, mengatakan bahwa bocah itu mengais di sampah Batalyon Kolombia. Ada banyak anak yatim piatu dalam perang yang harus berjuang untuk hidup," ungkap Sann kepada BBC Mundo.
Ibu kandung dari bocah itu telah pergi meninggalkan dia dan saudara-saudaranya. Salah satu kakak perempuan kemudian merawat adik-adiknya.
"Para tentara merasa agak penasaran, mereka mengejar bocah itu, 'menangkapnya' seperti dalam perburuan kecil, dan membawanya ke batalion."
Dari semua tentara, bocah itu lebih dekat dengan Aureliano Galln. Ini mungkin karena Galln bertugas di dapur dan menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya dibandingkan tentara lainnya.
Selama berbulan-bulan, bocah kecil itu tetap tersembunyi di antara para tentara. Bertahun-tahun kemudian, dia tidak mampu mengingat apakah dia ikut ke Kolombia atas kemauan sendiri atau terpaksa.
"Menurut para tentara, bocah itu memang mau pergi. Mereka mengusulkan kepergian ini saat penandatanganan gencatan senjata," jelas Sann.
Di sisi lain, menurutnya, hal itu tetap rumit karena bagaimanapun dia anak di bawah umur yang bahkan usia pastinya tidak diketahui.
"Dia juga kekurangan gizi, tanpa dokumen, dan tidak tahu apa itu Kolombia dan apa yang sedang dia hadapi," jelas Sann.
- Kisah ayah angkat yang mengasuh dan mengajari 10 anak Korea Utara di rumah selama pandemi Covid-19
- Kisah anak-anak 'hilang' Korsel yang dikirim ke luar negeri untuk diadopsi 'Anak-anak kami diambil'
- Kisah seorang anak kabur dari Korea Utara demi mencari ibunya
"Saya rasa memang ada kemauan dari anak itu. Kalau dia tidak mau dibawa pergi, para tentara pasti akan dengan mudah mengetahuinya. Sepertinya ini bukan penculikan, melainkan dorongan hati dari kedua belah pihak di tengah kehancuran dan kelaparan," imbuhnya.
Gencatan senjata antara kedua Korea ditandatangani pada 1953.
Beberapa hari sebelum keberangkatannya, Galln memasukkan bocah itu ke dalam tula (semacam tas ransel) dan dengan bantuan tentara lain, menyembunyikan anak itu selama 28 hari di kapal dalam perjalanan pulang.
Mereka memberinya makan, memandikannya, dan bermain kartu bersamanya di waktu senggang.
Bocah kecil itu tidak menginjakkan kaki lagi di Korea hingga hampir setengah abad kemudian.
Balada orang Korea di Kolombia
Aureliano Galln kemudian menjadi ayah angkat bocah itu. Awalnya, mereka tinggal di Antioquia, kampung halaman sang tentara.
Di sana, bocah Korea itu dibaptis dengan nama Carlos Arturo.
"Dia punya ibu tiri yang tampaknya tidak akur dengannya. Dia adalah anak pemberontak yang sering kabur dari rumah," ungkap Sann tentang masa Carlos.
Carlos Arturo seolah-olah melompat dari satu medan perang ke medan perang lainnya.
Seperti tentara lainnya, Aureliano Galln, mendapati dirinya berada di tengah konflik internal di Kolombia begitu menginjakkan kaki di negaranya.
Konflik internal ini terjadi antara tentara nasional dan kelompok gerilya sayap kiri.
"Ada beberapa foto bocah itu saat berpatroli bersama tentara lain. Terlihat bahwa Carlos Arturo menemani ayahnya berkeliling negara selama konflik tersebut," kata Sann.
Selama 11 tahun, tidak ada orang di Kolombia yang tahu tentang "bocah dalam tula".
Pada 1964, ayah angkatnya mengungkapkan kisah tersebut di harian El Espectador.
Seketika, Carlos Arturo menjadi terkenal.
Kesaksian demi kesaksian tentang hidupnya mulai bermunculan, baik yang merupakan kenyataan maupun fiksi belaka.
Belum lagi banyak penipu yang berpura-pura menjadi "orang Korea" itu demi mencari sensasi.
Carlos Arturo, seperti ayah angkatnya, juga meniti karier di bidang militer. Alih-alih berada di garis depan, dia bekerja di bagian arsip Kementerian Pertahanan.
Dia menikah dengan perempuan Kolombia dari wilayah Boyac, dan dikaruniai dua orang anak.
Pernikahannya bahkan menjadi sebuah catatan jenaka di surat kabar El Tiempo.
Sann menggambarkan Carlos Arturo sebagai sosok yang murung dan tertutup. Kehidupannya diwarnai penelantaran.
Pertama, ibu kandungnya di Korea. Carlos Arturo membutuhkan waktu lama untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya tentang ibunya sendiri.
Kemudian, istri Carlos Arturo juga meninggalkannya.
"Istrinya meninggalkannya demi seorang tukang daging di lingkungan sekitar. Dia membawa serta anak-anak mereka," jelas Sann.
"Seperti Korea yang terpecah, keluarga itu juga terbagi menjadi dua. Satu anak lebih dekat dengan ibunya, sementara satu anak lagi, Yunc, lebih dekat dengan Carlos Arturo."
Berkat Yunc, Sann mampu menghidupkan kisah yang pada 1999 mengalami babak baru yang tak terduga.
Saya pulang
Ketukan di pintu: Tok tok.
Carlos Arturo, yang kala itu berusia sekitar 70 tahun, membuka pintu rumahnya di Bogot.
Di luar, berdiri para jurnalis dari Korean Broadcasting System (KBS), stasiun televisi Korea Selatan.
Mereka telah menempuh penerbangan melintasi Samudra Pasifik untuk menyaksikan sendiri kisah hidupnya yang luar biasa.
Mereka ingin membiayai perjalanan Carlos Arturo kembali ke Korea demi sebuah film dokumenter televisi.
Sann menulis dalam bukunya bahwa reaksi pertama Carlos Arturo cenderung negatif: "Carlos Arturo tidak menyukai jurnalis dan dia menutup pintu di depan wajah mereka."
Meski petualangan hidupnya sungguh luar biasa, Carlos Arturo seolah tenggelam dalam ketidakpedulian akibat usia dan kerasnya kehidupan.
Namun, putranya, Yunc, terus mendesaknya. Demi menyenangkan hati sang buah hati, Carlos Arturo akhirnya setuju.
Menurut kesaksian Yunc dalam buku Sann, Carlos Arturo hampir tidak berbicara selama perjalanan dan beberapa jam pertama di Korea.
Keduanya terpukau akan estetika futuristik Seoul.
Sulit bagi mereka membayangkan bagaimana negara itu mampu bangkit dan berbenah sedemikian rupa setelah kehancuran akibat perang kurang dari 50 tahun silam.
Ke mana pun Carlos Arturo pergi, kerumunan jurnalis selalu mengikutinya.
Ketika diwawancarai dalam sebuah program televisi, dia bahkan harus mengunci diri di kamar mandi selama beberapa menit karena gugup dan cemas.
Ketika Carlos Arturo menceritakan kehidupannya dalam sesi wawancara, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Telepon berdering secara langsung di studio. Suara seorang perempuan terdengar di ujung sana. Dia mengaku sebagai kakak perempuan Carlos Arturo.
Reuni yang tak terbayangkan
Menurut Sann, untuk menambah dramatisasi film dokumenter, para jurnalis dan produser KBS berbohong kepada Carlos Arturo pada hari pertemuannya dengan sang kakak perempuan.
Mereka membawanya ke pinggiran Seoul dengan alasan ingin memperlihatkan pedesaan Korsel.
Kemudian, mereka tiba di sebuah rumah. Carlos Arturo tampak bingung.
Seorang perempuan mendekatinya, menarik bajunya, dan mencoba melihat dadanya.
Di sana terdapat tanda lahir yang dia miliki sejak kecil. Ibunya diduga menumpahkan air mendidih secara tidak sengaja.
Saat itulah perempuan itu terisak dan bergegas memeluknya, sementara Carlos Arturo masih tak percaya. Hampir 50 tahun kemudian, dia kembali memeluk saudaranya.
Momen-momen mengharukan itu terekam dalam film dokumenter KBS.
Sann juga mengungkapkannya dalam sebuah dokumenter untuk program Kolombia, Los Informantes, beberapa tahun sebelum bukunya diterbitkan.
Jam-jam dan hari-hari berikutnya menjadi momen yang membuka mata Carlos Arturo.
Dia kembali mengenang kembali masa kecilnya, mencicipi cita rasa Korea, dan berbagi cerita dengan keluarganya.
Lebih dari itu, dia akhirnya mengetahui bahwa bunya tidak pernah menelantarkannya.
Ibunya ternyata pergi demi mencari sesuap nasi untuk keluarga. Sejak kepergian putranya, sang ibunda terus menangis dan mengenangnya hingga akhir hayatnya.
Carlos Arturo juga mendapatkan jawaban atas keraguannya mengenai apakah dia pergi dengan sukarela atau tidak.
Seperti yang diingatkan oleh saudara perempuannya: sebelum pergi, Carlos Arturo meminta restu saudaranya.
Dan demikianlah, di depan pusara ibunya, pria Korea itu menyembuhkan luka batinnya.
Perjalanan terakhir
Carlos Arturo Galln mengembuskan napas terakhirnya di Kolombia pada 2013.
Sebagian besar saksi mata kehidupannya juga telah tiada.
Jika kisahnya masih dikenang hingga kini, itu berkat putranya, Yunc.
Bersama para penulis seperti Sann, Yunc terus mencari jawaban atas berbagai misteri yang masih tersisa.
"Cerita mengenai bagaimana ibu Carlos Arturo pergi lalu kembali masih menjadi misteri. Setelah menyelesaikan buku, seorang penulis selalu mengingat hal-hal yang terlewatkan atau belum sempat terungkap," ujar Sann.
Yunc, dengan penuh haru, menceritakan kepada Sann dalam program Los Informantes bahwa ayahnya mengajarkan nilai kehormatan, janji, rasa hormat kepada anak-anak, dan penolakan terhadap perang.
Sang putra kini menjalani kehidupan sederhana di Bogot.
Kondisi ekonomi membuatnya kesulitan mengumpulkan dana yang diperlukan untuk tindakan penghormatan terakhir kepada ayahnya: membawa abu jenazahnya ke Korea untuk beristirahat selamanya bersama keluarganya.
Perjalanan terakhir sang bocah dari dalam tula masih menanti.
- Kisah anak-anak 'hilang' Korsel yang dikirim ke luar negeri untuk diadopsi 'Anak-anak kami diambil'
- Kisah seorang anak kabur dari Korea Utara demi mencari ibunya
- Kisah ayah angkat yang mengasuh dan mengajari 10 anak Korea Utara di rumah selama pandemi Covid-19
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini