Jakarta -
Baru-baru ini, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi kembali mendapatkan atensi yang cukup tinggi dari publik. Hal itu terjadi saat Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas'ud menyebut dirinya "Gubernur Konten" dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR dan Kementerian Dalam Neger di Jakarta, Selasa (29/4).
Mendengar celetukan semacam itu, dengan tenang Dedi merespons bahwa melalui konten-kontennya tersebut dia bisa memangkas belanja iklan rutin Pemprov Jabar. Biasanya iklan kerja sama media pemprov menelan biaya Rp 50 miliar. Namun, saat ini hanya Rp 3 miliar.
Sontak jawaban tersebut mendapatkan tepuk tangan peserta rapat. Pun demikian dengan netizen yang memberikan dukungan penuh dan mengapresiasi pernyataannya tersebut. Sebaliknya, saya memperhatikan dan mengamati, netizen ternyata juga berbondong-bondong mengkritik dan bahkan mencibir Rudy di akun Instagram-nya. Apalagi, kita tahu, Dedi Mulyadi saat ini sedang "naik daun". Masyarakat Jabar sedang senang-senangnya kepada Dedi.
Dia dinilai sebagai pemimpin yang betul-betul bekerja, melayani, dan mengayomi masyarakat tanpa pandang bulu. Wajar jika banyak yang tidak terima apabila Dedi sebagai pemimpin diremehkan atau dipandang sebelah mata. Lagi-lagi, pertanyaan kembali menyeruak. Pada zaman digital sekarang, apakah pemimpin diharamkan untuk aktif bermedsos? Saya rasa jawabannya adalah sah-sah saja. Atau bahkan sangat perlu.
Terobosan Baru
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selaku penulis, belakangan ini saya pribadi cukup intens menonton posting-an beberapa pemimpin di medsos. Terutama Tiktok dan Instagram. Terkait hal itu, Dedi menjadi salah satu figur pemimpin yang saya ikuti kiprah dan sepak terjangnya. Sementara ini, yang saya tahu, dari akun Instagram-nya, Dedi memiliki 3 juta pengikut, Youtube-nya memiliki 6,79 subscriber, dan akun Tiktok-nya 5,5 juta pengikut.
Maka hemat saya, cukup rasional dan realistis jika Dedi mengatakan lewat konten-kontennya yang terus viral, dia bisa menekan dengan drastis jumlah belanja iklan Pemprov Jabar. Hal tersebut menjadi terobosan baru yang mana bisa dicontoh oleh pemimpin-pemimpin lainnya. Terutama bagaimana cara mencari celah dan menggunakan strategi ampuh untuk memanfaatkan anggaran dengan efektif dan efisien.
Saya berharap, pemimpin-pemimpin lainnya, di segala lini juga bisa memanfaatkan medsos dengan bijaksana. Sebab, tidak semua yang ditampilkan di medsos itu murni pencitraan yang tujuannya mengelabui dan memanipulasi persepsi publik. Biarlah publik yang menilai, mana konten-konten yang berkualitas dan mana konten sampah. Artinya, pada era digital sekarang, tidak mungkin seorang pemimpin, entah itu kepala desa, bupati, wali kota, gubernur, dan presiden sekalipun menolak kehadiran medsos.
Medsos tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan birokrasi dan pemerintahan. Lagi pula, sebagian besar masyarakat kita juga menjadi pengguna aktif medsos. Artinya, kita membutuhkan transparansi tata kelola pemerintahan. Termasuk berapa jumlah APBD dan digunakan untuk apa.
Menjadi Angin Segar
Keaktifan pemimpin dalam menggunakan medsos tentu menjadi angin segar bagi masyarakat untuk memantau dan mengontrol jalannya pemerintahan. Termasuk memberikan masukan dan kritikan mengenai program kerja, kebijakan, dan regulasi yang ditetapkan. Hal tersebut tentu saja bisa mendorong partisipasi aktif masyarakat, seperti halnya mengenai alokasi anggaran dan keputusan yang diketok. Dengan begitu, segala kebijakan yang ditetapkan bisa sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Dalam hal ini, medsos menjadi sarana bagi pemimpin untuk mendengar keluh kesah dan menyerap aspirasi publik. Apalagi, kita tahu bahwa selama ini ada sebagian pemimpin mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat alias tidak tepat sasaran. Bisa saja hal semacam itu bermula dari keengganan pemimpin tersebut untuk melihat kenyataan dan mendengar jerit hati masyarakat. Kebijakan yang ditetapkan hanya berdasarkan kepentingan parpol, golongan, atau konglomerat tertentu. Atau, bisa saja program kerjanya hanya berlandaskan egoisme pribadi dan hasrat materialismenya saja.
Jujur kita nyatakan dengan tegas tidak mendambakan pemimpin semacam itu. Lagi pula, bagi pemimpin, medsos juga menjadi alat untuk mensosialisasikan semasif mungkin visi, misi, dan program kerjanya kepada publik. Medsos menjadi wadah untuk bertukar pikiran dan pendapat antara warga dan pemimpinnya. Sehingga akan tercipta kontrol dan koreksi yang berkesinambungan terkait penyelenggaraan pemerintahan. Hal tersebut bisa menekan terjadinya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sampai sekarang masih terus-terusan kita perangi.
Setidaknya, melalui medsos pemimpin bisa menyampaikan dengan jelas dan terang benderang mengenai segala hal yang menyangkut kinerjanya. Medsos juga menjadi sarana yang cukup ampul untuk membangun reputasi bagi sang pemimpin. Tentu hal itu menjadi modal sosial dan modal politik bagi pemimpin. Apalagi yang masih berkeinginan untuk meningkatkan kariernya di bidang politik dan pemerintahan.
Maka cocok peribahasa sekali mendayung, satu dua tiga pulau terlampaui. Atau, sambil menyelam, minum air. Artinya, pemimpin yang aktif membuat konten bukan hanya bisa mendapatkan trust dari publik, namun juga bisa meningkatkan personal branding-nya sebagai tokoh masyarakat, memantau tren di tengah masyarakat, bisa lebih responsif menggali persoalan aktual, dan masih banyak lagi manfaat lainnya.
Tak Bisa Dipisahkan
Di sisi lain, faktanya, tidak semua figur publik memanfaatkan medsos untuk menjadi pelayan dan pengayom. Ada sebagian yang memang sengaja menggunakan medsos untuk memanipulasi, mengelabui, dan membohongi publik. Sehingga dengan segala cara, taktik, dan strategi, dia memoles dan mempermak diri agar tampil di medsos seolah-olah "juru selamat" atau "ratu adil". Padahal, semua itu penuh dengan topeng kepalsuan. Penuh dengan kemunafikan.
Intinya, ingin merebutkan kursi kekuasaan. Setelah berkuasa, kepentingan rakyat dinomorduakan atau bahkan tidak masuk dalam daftar alias dikesampingkan. Padahal, dalam setiap penyusunan rancangan aturan, keterlibatan rakyat sangat dibutuhkan. Bukan tiba-tiba disahkan dan diumumkan.
Sekali lagi, medsos dan pemimpin pada era sekarang tidak bisa dipisahkan. Keberadaan tim media yang dimiliki pemimpin penting untuk membangun kredibilitas sang pemimpin. Dengan catatan, konten-konten yang di-posting benar-benar bermutu, bermanfaat, mencerahkan, dan berdampak positif bagi masyarakat luas. Sebab, inti dari konten-konten yang dibuat itu --entah yang berbentuk tulisan, gambar, grafik, atau video-- bertujuan untuk melayani kepentingan publik.
Tujuan besarnya tercipta kehidupan masyarakat yang lebih adil, makmur, dan sejahtera tentunya. Jadi, medsos ibarat pedang bermata dua. Tergantung siapa dan untuk apa pengguna(an)nya. Kita hanya bisa mengamati dan menilai, mana konten bermutu dan mana yang penuh dengan kepalsuan. Oleh karena itu, saya mendukung penuh pemimpin yang aktif menggunakan medsos untuk kemaslahatan bersama. Sebab, hal itu lebih bermartabat daripada diam-diam tapi justru KKN, sewenang-wenang, dan menyengsarakan rakyat banyak.
Muhammad Aufal Fresky Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya, penulis buku 'Empat Titik Lima Dimensi'
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini