Los Angeles -
Ketegangan masih tinggi di Los Angeles, California, di mana ribuan orang berdemonstrasi menentang operasi Imigrasi dan Bea Cukai federal (ICE). Jam malam yang diberlakukan oleh wali kota pada Selasa malam (10/06) membawa sedikit ketenangan, namun belum ada tanda-tanda eskalasi mereda.
Setelah mengerahkan Garda Nasional, Presiden AS Donald Trump kini telah memerintahkan pengerahan sekitar 700 Marinir, pasukan aktif yang dikenal karena kemampuan respons cepat dan keahlian tempurnya.
Menurut seorang juru bicara Komando Utara Amerika Serikat, pasukan tersebut akan membantu melindungi gedung dan personel federal, termasuk agen ICE.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak Jumat (06/06) , para demonstran telah menduduki jalan-jalan di Los Angeles, memprotes razia ICE terhadap individu yang tidak memiliki dokumen imigrasi yang sah. Dalam beberapa kasus, agen ICE yang mengenakan topeng dilaporkan menangkap orang secara langsung di jalan. Penindakan ini mencerminkan sikap keras pemerintahan Trump terhadap imigrasi, dan kini militer telah dipanggil oleh presiden untuk membantu.
Kewenangan mengerahkan militer, ada di siapa?
Secara umum, presiden tidak dapat secara sepihak mengerahkan Garda Nasional di dalam suatu negara bagian Amerika Serikat.Gubernur negara bagianlah yang harus mengizinkannya. Gubernur California Gavin Newsom secara tegas menolak kebutuhan akan pengerahan Garda Nasional dan telah menggugat pemerintahan Trump.
Namun, berdasarkan Undang-Undang Pemberontakan (Insurrection Act) tahun 1807, presiden memiliki wewenang untuk mengerahkan militer tanpa persetujuan gubernur dalam kasus pemberontakan atau kerusuhan sipil. Keputusan Trump untuk menggunakan wewenang ini dianggap sangat tidak lazim, mengingat pentingnya hak-hak negara bagian dalam sistem federal AS.
Gubernur Newsom menuduh Trump menyalahgunakan kekuasaan eksekutif dan memperingatkan bahwa tindakannya mengancam norma-norma demokrasi. "California mungkin yang pertama, tapi jelas ini tidak akan berhenti di sini," kata Newsom, "Negara bagian lain akan menyusul. Demokrasi akan menyusul."
Ketegangan Trump dengan lembaga yudikatif
Trump berulang kali berselisih dengan sistem peradilan AS selama lima bulan pertamanya kembali menjabat. Di awal masa jabatannya, ia mengizinkan deportasi yang tetap dilaksanakan meskipun ada perintah pengadilan federal yang memblokirnya.
Sejak Maret, lebih dari 250 warga non-AS, yang dilabeli Trump sebagai teroris, telah dideportasi ke El Salvador. Penerbangan ke penjara dengan keamanan maksimum CECOT yang terkenal di El Salvador dilaporkan tetap berlangsung bahkan setelah hakim federal memerintahkannya untuk dihentikan.
Untuk membenarkan deportasi tersebut, pemerintahan Trump mengutip Undang-Undang Musuh Asing (Alien Enemies Act) tahun 1798, yang dinilai memungkinkan pengusiran warga negara dari "negara-negara yang bermusuhan" tanpa memberi mereka hak atas persidangan. Pemerintah mengklaim bahwa mereka yang dideportasi memiliki afiliasi dengan kelompok kriminal transnasional Tren de Aragua.
Dalam sistem AS, yudikatif adalah salah satu dari tiga cabang pemerintahan yang setara, bersama eksekutif dan legislatif. Keseimbangan di antara ketiganya adalah fondasi demokrasi AS, dan para kritikus mengatakan Trump sedang mengikis keseimbangan tersebut. Enam dari sembilan hakim Mahkamah Agung AS saat ini adalah konservatif, tiga di antaranya ditunjuk oleh Trump.
Akankah 'prinsip-prinsip demokrasi' menang di AS?
Bagaimana dengan cabang legislatif? Sejak kembali menjabat pada Januari, Trump sebagian besar telah melewati Kongres, dengan mengeluarkan 161 perintah eksekutif hingga 10 Juni, lebih banyak dari presiden mana pun dalam rentang waktu serupa sejak Perang Dunia II. Perintah-perintah tersebut, yang tidak memerlukan persetujuan DPR atau Senat, memiliki dampak luas, mulai dari hak LGBTQ+ hingga kebijakan perdagangan.
"Trump akan tercatat dalam sejarah sebagai presiden yang mendorong kekuasaan eksekutif hingga ke batasnya," tulis Patrick Malone, profesor administrasi publik dan kebijakan di American University, melalui email kepada DW.
Malone mempertanyakan salah satunya tentang legalitas pemecatan massal pegawai federal oleh presiden atas nama efisiensi.
"Pertanyaan soal legalitas atas apa yang dilakukan presiden ini akan menjadi urusan pengadilan selama bertahun-tahun ke depan," kata Malone. Ia memperingatkan bahwa lembaga-lembaga demokrasi AS sedang berada di bawah tekanan serius. Salah satu masalah mendasar, menurutnya, adalah bahwa banyak undang-undang AS dibuat untuk negara yang sangat berbeda dengan keadaan saat ini.
Namun, Malone tetap optimistis: "Lembaga-lembaga umumnya cukup sulit untuk digulingkan. Mudah-mudahan, prinsip-prinsip demokrasi pada akhirnya akan menang."
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rahka Susanto
Editor: Prihardani Purba
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini