Dedi Mulyadi dan Model Kepemimpinan Digital yang Humanis

11 hours ago 5

Jakarta -

Di tengah arus deras transformasi digital, tata kelola pemerintahan tak lagi dapat mengandalkan pola-pola lama yang kaku dan birokratis. Masyarakat kini menuntut keterbukaan, kecepatan respons, dan kepemimpinan yang dapat dirasakan langsung kehadirannya. Dalam konteks ini, sosok Dedi Mulyadi muncul sebagai figur yang menandai arah baru kepemimpinan politik lokal—yakni kepemimpinan digital yang humanis.

Sebagai pemimpin yang pernah menjabat Bupati Purwakarta dua periode dan kini Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menunjukkan konsistensi dalam membangun komunikasi politik yang berbasis kedekatan dengan rakyat. Namun, kedekatan itu tidak dibangun melalui simbolisme semata, melainkan lewat pemanfaatan platform digital yang cerdas dan strategis.

Melalui kanal YouTube pribadinya yang telah diikuti jutaan orang, Dedi secara aktif membagikan kegiatan hariannya di tengah masyarakat. Ia tidak segan menampilkan dirinya turun langsung membantu warga, berdialog dengan pedagang kecil, atau menyapa petani di sawah. Pendekatan ini menghadirkan wajah baru kepemimpinan yang egaliter, membumi, dan mengedepankan sentuhan personal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa yang dilakukan Dedi bukan sekadar pencitraan, tetapi transformasi komunikasi politik yang relevan dengan zaman. Di era digital, media sosial menjadi arena baru pembentukan opini publik. Kepemimpinan tidak hanya diuji di ruang sidang atau mimbar politik, melainkan juga dalam kapasitas membangun kepercayaan melalui ruang digital. Dedi tampaknya memahami ini dengan baik.

Namun demikian, penting dicatat bahwa pendekatan digital semacam ini tak lepas dari kritik. Ada kekhawatiran bahwa narasi visual di media sosial dapat menggantikan kerja substansial di lapangan. Ada pula potensi distorsi, di mana keberhasilan program diukur dari popularitas konten, bukan dari indikator kebijakan yang terukur.

Di titik ini, Dedi Mulyadi tetap perlu dievaluasi dengan dua kacamata: sebagai komunikator politik digital dan sebagai pengambil kebijakan publik. Transparansi digital harus dibarengi dengan akuntabilitas program. Popularitas harus ditopang dengan kualitas kepemimpinan dan hasil nyata bagi masyarakat.

Namun, tidak bisa disangkal bahwa Dedi telah memberi contoh bahwa ruang digital bisa menjadi sarana memperkuat legitimasi politik, membangun narasi kebijakan, sekaligus menjembatani jarak antara pemimpin dan warga. Ia menunjukkan bahwa teknologi informasi dapat menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar medium promosi diri.

Dalam konteks Jawa Barat yang memiliki lebih dari 50 juta penduduk dan tingkat literasi digital yang relatif tinggi, pendekatan ini terasa tepat. Media sosial yang selama ini dipenuhi narasi konflik dan hoaks, diubah menjadi kanal informasi dan komunikasi antara pemerintah dan rakyat.

Ke depan, model kepemimpinan seperti ini perlu direplikasi dan didorong untuk berkembang secara sehat. Tidak hanya oleh figur seperti Dedi Mulyadi, tetapi juga oleh para pemimpin muda di berbagai daerah. Pemerintahan yang adaptif, terbuka, dan komunikatif adalah prasyarat mutlak dalam era demokrasi digital.

Tantangannya tentu tidak ringan. Di balik kemudahan akses digital, masih ada persoalan ketimpangan infrastruktur, literasi digital yang belum merata, dan budaya politik yang belum sepenuhnya terbuka. Namun dengan komitmen pada prinsip transparansi, kolaborasi, dan partisipasi publik, tantangan ini bisa diatasi.

Dedi Mulyadi telah membuktikan bahwa digitalisasi bukan sekadar alat, melainkan pendekatan etis dalam memimpin. Di tengah krisis kepercayaan terhadap elite politik, kepemimpinan yang hadir di layar kecil masyarakat dapat menjadi jalan keluar: bukan untuk menggantikan realitas, tetapi untuk menguatkannya.

Nanang AH jurnalis, pemerhati komunikasi politik dan transformasi digital

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial