Jakarta -
Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Pada usia kemerdekaan Indonesia yang ke-80 ini, tema yang diangkat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah adalah "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua". Melalui tema ini, pesan yang mau disampaikan adalah perlunya upaya kolektif, inklusif, dan penuh semangat untuk mencapai bintang, yang menjadi simbol tertinggi dari ilmu pengetahuan, karakter, dan kemajuan bangsa.
Tema patut direnungkan di tengah bangsa ini masih menghadapi berbagai persoalan, terutama terkait dengan integritas pendidikan nasional. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI), integritas pendidikan tahun 2024 berada di peringkat 69,50 atau masuk dalam posisi koreksi, turun dari SPI 2023 yang berada di angka 73,7 (detikcom, 24/4). SPI Pendidikan menjangkau 36.888 satuan pendidikan di 507 kabupaten/kota dari 38 provinsi di Indonesia pada 2024.
Dengan melibatkan 449.865 responden, yang terdiri atas siswa/mahasiswa, orangtua, tenaga pendidik, hingga kepala satuan pendidikan, survei tersebut menyasar tiga dimensi utama, yakni karakter peserta didik, ekosistem pendidikan, dan tata kelola pendidikan. Menurut Wawan Wardiana, Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, berada di level koreksi bermakna bahwa upaya perbaikan integritas melalui internalisasi nilai-nilai integritas sudah dilakukan, meski implementasi serta pengawasan belum merata, konsisten, dan optimal.
Lebih rinci KPK memaparkan kasus menyontek masih ditemukan pada 78% sekolah dan 98 persen kampus. Masalah ketidakdisiplinan akademik 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa. Di 22 persen sekolah masih ada guru yang menerima bingkisan agar nilai siswa menjadi bagus atau agar siswa bisa lulus. Singkatnya, integritas pendidikan nasional menurun karena hakikat pendidikan lama-kelamaan memudar atau mungkin dilupakan. Masyarakat, pendidik, dan peserta didik lebih memilih hasil instan dan formalitas dari pada proses pembentukan sikap hidup dan akhlak mulia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berangkat dari keadaan integritas pendidikan nasional tersebut, kita dipanggil untuk merefleksikan sistem pendidikan kita. Pertanyaan-pertanyaan filosofis berikut ini layak diajukan kembali. Apakah sesungguhnya hakikat pendidikan itu? Apa tujuan luhur dari usaha pendidikan? Dan, yang lebih krusial, apakah institusi pendidikan kita saat ini lebih berfungsi sebagai lembaga pengajaran semata, ataukah telah menjadi lembaga pendidikan yang sesungguhnya?
Kembali ke Hakikat Pendidikan
Para filosof klasik telah memberikan landasan pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Plato (428-348 SM) meyakini bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan karakter dan kecerdasan individu secara holistik demi mencapai kebaikan dan kebenaran. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara perkembangan fisik, intelektual, dan moral.
Sementara itu, Aristoteles (384-322 SM), murid Plato, berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah mencapai eudaimonia atau kehidupan yang sejahtera melalui pengembangan akal dan kebajikan. Baginya, pendidikan harus relevan dengan kehidupan nyata, menggerakkan potensi individu menuju aktualisasi diri, dan menanamkan kebajikan moral melalui pembiasaan.
Ki Hadjar Dewantoro (1889-1959) berpendapat bahwa pendidikan harus memerdekakan, berpusat pada siswa dan selaras dengan kebudayaan bangsa. Konsep-konsep seperti "among = memimpin, mengasuh dan membimbing dengan kasih sayang," "tut wuri handayani = di belakang memberi dorongan," "ing ngarsa sung tuladha = di depan memberi teladan," dan "ing madya mangun karsa = di tengah menciptakan semangat" menjadi landasan filosofis bangsa (dalam Kenji Tsuchiya, 1988).
Pemikiran ketiga tokoh tersebut tetap relevan dengan konteks pendidikan kita saat ini. Bahkan, hakikat pendidikan telah terakomodasi dalam regulasi pendidikan di Indonesia.
Regulasi dan Realitas yang Bertolak Belakang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara jelas mengartikulasikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan.
Lebih lanjut, Pasal 3 menekankan fungsi pendidikan nasional dalam membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk menghasilkan manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa usaha pendidikan di Tanah Air cenderung lebih fokus kepada transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan, kurang memberikan penekanan yang proporsional pada pembinaan sikap hidup dan karakter.
Melampaui Sekadar Pengajaran
Sejatinya, usaha pendidikan mencakup beragam kegiatan, mulai dari pemeliharaan dan pengasuhan, pembiasaan, pengajaran (transfer pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pemahaman hidup), hingga pembinaan sikap hidup. Pengamatan terhadap praktik pendidikan di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa penekanan kepada transfer pengetahuan dan keterampilan masih sangat dominan.
Manusia dilahirkan tanpa daya dan sangat bergantung pada lingkungan. Proses tumbuh kembang memerlukan pemeliharaan, perawatan, dan pengasuhan. Namun, ini saja tidak cukup. Pembiasaan berperilaku baik, jujur, rukun, dan memiliki tenggang rasa menjadi fondasi penting berikutnya.
Pengalaman saya semasa Sekolah Dasar, di mana pembelajaran lebih berpusat pada mencatat dan menghafal materi, menggambarkan bagaimana pengajaran seringkali hanya berfokus pada transfer pengetahuan. Sementara itu, contoh pembelajaran di tingkat menengah kejuruan yang berorientasi pada keterampilan praktis menunjukkan pentingnya aspek keterampilan dalam pendidikan.
Selain itu, transfer nilai dan pemahaman hidup, seperti nilai-nilai Pancasila, juga menjadi bagian dari kegiatan pendidikan. Namun, kegiatan ini seringkali berhenti di tataran kognitif, di mana peserta didik sekadar mengetahui nilai-nilai tersebut.
Puncak Pendidikan: Membina Sikap Hidup
Kegiatan pendidikan yang paling mulia sekaligus paling menantang adalah membina sikap hidup. Ini adalah puncak dari seluruh usaha pendidikan. Tanpa tercapainya pembinaan sikap hidup yang baik dan tepat, keberhasilan pendidikan patut dipertanyakan.
Sikap hidup, menurut Alex Lanur (2019), adalah kecenderungan batin yang menetap dan mengarahkan seseorang untuk memilih kebaikan dalam berbagai situasi. Proses ini terjadi secara bertahap hingga menjadi otomatis. Zygmunt Bauman (dalam Pormadi Simbolon, 2024) menekankan bahwa sikap moral individu berakar pada hati nurani, bukan paksaan eksternal. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai habitus.
Dominannya pendekatan pengajaran yang hanya mentransfer pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pemahaman hidup, tanpa diiringi pembinaan sikap hidup yang mendalam, menjadi salah satu akar permasalahan perilaku-perilaku tidak terpuji yang sering kita saksikan.
Mendidik vs Mengajar: Analogi Pohon
Perbedaan antara mendidik dan mengajar dapat diilustrasikan dengan sederhana melalui analogi menanam pohon. Mengajar diibaratkan memberikan air, pupuk, dan memastikan pohon mendapat sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhannya. Fokusnya adalah pada kebutuhan fisik dan perkembangan pohon.
Sementara itu, mendidik adalah upaya memastikan pohon tersebut tumbuh menjadi pohon yang kuat, berakar kokoh, tidak mudah tumbang, dan menghasilkan buah yang bermanfaat. Fokusnya adalah pada karakter dan kualitas jangka panjang pohon tersebut. Oleh karena itu, manusia tidak cukup hanya diajarkan berbagai hal, tetapi perlu dididik agar memiliki karakter kepribadian yang kuat dan sikap hidup yang kokoh.
Tanpa sikap hidup yang baik dan tepat, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, bahkan dapat merugikan orang lain. Sikap hidup yang tepat dan akhlak mulia menjadi urgen untuk mewujudkan pendidikan berkualitas untuk semua.
Pendidikan yang belum menyentuh pembinaan sikap hidup yang baik dan tepat adalah pendidikan yang belum selesai, bahkan dapat dikatakan sebagai pendidikan yang keliru atau sekadar pengajaran tanpa esensi mendidik yang sesungguhnya. Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Pormadi Simbolon alumnus Magister Ilmu Filsafat STF Driyarkara, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Banten
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini