Gubernur Konten dan Perbaikan Mental Birokrasi

12 hours ago 7

Jakarta -

Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bahwa dirinya berhasil menghemat anggaran belanja untuk iklan di media massa dari Rp 50 miliar menjadi cuma Rp 3 miliar berkat konten-konten yang diunggahnya di media sosial tentu menyentak para pengelola media. Mungkin membuat sebagian dari mereka masygul.

Terlepas dari itu, apa yang dilakukan Dedi atau popularnya Kang Dedi Mulyadi alias KDM dengan berbagai kontennya, patut mendapat apresiasi. Sejauh ini banyak warga berterima kasih karena merasa terhibur, merasa diwongke, diberi alternatif solusi atas sejumlah masalah yang lama dihadapi sehari-hari. Namun semua itu tentu tidak cukup. Ada tugas utama yang juga perlu dijalankan oleh setiap kepala daerah, termasuk KDM. Salah satunya adalah membina penyelenggaraan pelayanan publik.

Merujuk Pasal 16 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik menyebut kepala daerah adalah pembina pelayanan publik. Tugas pokoknya adalah membina, mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik di daerahnya masing-masing. Kepala daerah juga diwajibkan melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada DPRD.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memimpin dan membina penyelenggaraan pelayanan publik, bukanlah tugas yang mudah. Ada puluhan instansi unit layanan publik hingga level terbawah: kepala desa atau lurah. Terdapat ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan segenap perilaku dan perangainya.

Menyadari hal tersebut, tantangan para kepala daerah adalah bagaimana mengubah pola pikir (mindset), budaya kerja (culture set) dan wajah pelayanan, dari budaya senang dilayani menjadi budaya melayani. Kepala daerah mesti mengubah layanan yang kaku dan cenderung lamban, menjadi lebih ramah, cepat, progresif sekaligus partisipatif. Karena harus diakui di banyak daerah para birokratnya masih bermental feodal. Jemawa dengan pangkat, silau dengan segenap fasilitas dan aksesoris jabatan yang ada. Kian-kemari berlagak bak tuan yang harus dilayani oleh masyarakat dan oleh ASN/birokrasi di bawahnya.

Lantas, sudahkah KDM melakukan semua itu? Tentu masih terlalu dini menjawabnya. Dia belum setahun menjabat. Sekalipun demikian, dari selentingan yang menguar di media sosial atau pun kritik beberapa pengamat, KDM sejatinya tak jauh beda dengan para kepada daerah lain yang aktif di media sosial. Dia one man show dan nyaris tanpa melibatkan wakilnya, Erwan Setiawan. Belum terjalin sinergitas kepemimpinan yang optimal.

Karena itu Kang Dedi Mulyadi perlu membuat pembagian tugas yang jelas dan memberi ruang memadai kepada Erwan untuk menunjukkan kapasitasnya. Sebab dia bisa maju menjadi calon gubernur dan terpilih kan karena ada calon wakil gubernur yang kini mendampinginya.

Selain itu, Dedi perlu menyertakan para kepala dinas dan pejabat terkait lainnya dalam merumuskan suatu kebijakan. Juga dalam mengambil keputusan. Ini sebagai wujud membangun iklim birokrasi yang kondusif. Menghargai eksistensi dan kapasitas mereka, sekaligus mengasah kreativitas dan membangun sikap mental baru jika memang dirasa belum ideal.

Perlu diberi pemahaman pula kepada para staf khusus yang dibawa agar mereka tidak lebih jemawa dari para staf dan pejabat resmi di birokrasi. Keahlian para staf khusus dibutuhkan untuk membantu memfasilitasi bukan menihilkan eksistensi birokrasi yang resmi.

Pada gilirannya, salah satu indikasi bahwa kepemimpinan KDM di Jawa Barat adalah berhasil, bukan cuma pencitraan semata, bila kelak segenap warga masyarakatnya berani mengadu langsung ke birokrasi sesuai levelnya. Karena mereka merasa yakin akan dilayani dengan cepat, ramah, tanpa perlu biaya tambahan, dan persoalannya mendapatkan solusi terbaik.

Mumpung waktu yang tersisa masih cukup panjang, KDM maupun para kepala daerah lain yang bermain media sosial atau aktif ngonten, memanfaatkan semua platform yang ada untuk menyampaikan informasi, membangun transparansi, dan menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Arahkan untuk mendukung agenda reformasi birokrasi, menjadi sarana edukasi dan akuntabilitas.

Misalnya, membuat konten edukatif tentang prosedur pelayanan yang sudah disederhanakan, menampilkan keberhasilan sistem digitalisasi pelayanan publik, atau mengangkat kisah sukses ASN yang berinovasi. Dengan demikian masyarakat juga mendapatkan pengetahuan bagaimana cara berinteraksi dengan birokrasi dan memahami sistem kerja mereka agar tidak mudah frustrasi.

Hal lain yang perlu disadari sejak dini oleh para kepala daerah, termasuk Dedi Mulyadi yang bergelar 'Gubernur Konten' adalah memperbaiki birokrasi itu butuh lebih banyak kerja senyap. Tak harus semuanya dibuat viral, karena sesuatu yang viral tak selalu berdampak nyata. Reformasi prosedur, pemangkasan jalur pelayanan, digitalisasi sistem, hingga peningkatan kapasitas SDM juga butuh ketekunan dan konsistensi.

Kembali ke soal aktivitas ngontennya yang kemudian diberi gelar 'Gubernur Konten' wajar bila publik mengkritisi, apakah konten yang dibuat itu sebagai pribadi atau pejabat publik? Kalau sebagai pejabat publik, dalam hal ini gubernur, idealnya tayang di akun resmi pemprov Jabar bukan atas nama pribadi. Apakah para staf yang terlibat dalam pembuatan konten digaji dan menggunakan fasilitas dari kocek pribadi atau dari APBD?

Untuk diketahui, hingga 1 Mei kemarin, di akun instagram @dedimulyadi71, KDM memiliki 3.081.935 pengikut dan mengunggah 6.702 konten. Di akun YouTube KANG DEDI MULYADI CHANNEL, dia punya 6.82 juta subscribers, mengunggah 4.271 video, dan total penayangan video tersebut mencapai 2.075.003.102 kali.

Sekali lagi saya ingin menegaskan, pemanfaatan media sosial adalah sebuah keniscayaan. Namun yang lebih penting adalah memastikan bahwa di balik setiap unggahan, ada kerja nyata untuk memperbaiki birokrasi. Jadikan konten sebagai bagian dari strategi perubahan, bukan panggung untuk batu loncatan menggapai jabatan lebih tinggi.

Berkaca dari pernyataan KDM di awal tulisan ini, media arus utama jangan masygul dan mutung lalu memusuhi dengan mencari-cari kesalahan kepala daerah. Tidak demikian idealnya media bekerja. Jadikan pernyataan KDM itu untuk kembali ke jati diri media sebagai watch dog seutuhnya. Ini artinya kembali berjibaku untuk membuat karya jurnalistik bermutu dan relevan, serta bersikap independen.

Tidak mencari-cari kesalahan hanya karena tidak beriklan, sebaliknya membebek dan menutupi kekurangan kepala daerah dan kebijakannya yang sebetulnya tidak pro masyarakat. Tentu tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil dilakukan. Tinggal bagaimana komitmen untuk mulai mewujudkannya.

Sudrajat penulis, wartawan detikcom; tulisan ini pandangan pribadi

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial