Kurikulum Indonesia kerap bersalin rupa dan membuat siswa harus beradaptasi dengannya. Perubahan tercepat terjadi dalam rentang dua tahun, saat sebagian siswa SMP atau SMA belum lulus.
Kurikulum, yang menjadi jantung sistem pendidikan di Indonesia, sudah berusia 78 tahun. Dalam tiap rentang periode tertentu, terjadi perubahan mengalir berkelindan sirkulasi elite pejabat pemerintahan. Setidaknya telah terjadi 11 kali perubahan mendasar.
Kurikulum pertama lahir pada 1947, saat Republik masih muda dan pendidikan berupaya lepas dari bayang-bayang kolonial. Setelah itu, perubahan datang bertubi-tubi: Kurikulum 1964 membawa semangat revolusi dan nasionalis, Kurikulum 1975 memperkenalkan pendekatan teknokratis, lalu Kurikulum 1994 yang sarat beban materi.
Pada era Reformasi, arah berubah. Pendidikan mulai memberi ruang kompetensi dan kemandirian, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 dan KTSP 2006.
Kurikulum 2013 menjadi tonggak penting dengan pendekatan saintifik dan integrasi nilai-nilai karakter. Kini, Kurikulum Merdeka diperkenalkan dengan memberi kebebasan lebih kepada sekolah dan guru menyesuaikan diri dengan berporos pada peserta didik. Namun, belakangan, ada rencana untuk mengubahnya.
Berikut perubahan fondasi sistem pendidikan Indonesia yang mengikuti situasi politik, sosial, dan kebutuhan pembangunan nasional:

Rencana Pelajaran 1947
Ini kurikulum pertama di dunia pendidikan setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Saat itu lebih populer menggunakan nama leer plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah kurikulum, yang berasal dari bahasa Inggris (curriculum). Rencana pelajaran pertama kali digagas oleh Menteri Pengajaran RI Mr Raden Soewandi pada era Kabinet Sjahrir III (1946-1947).

Mr Soewandi menunjuk Ki Hadjar Dewantara (Raden Mas Soewardi Soerjaningrat) sebagai Ketua Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia. Rencana pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda. Ejaan van Ophuijsen (Belanda) diubah menjadi Ejaan Soewandi atau dikenal Ejaan Republik Indonesia pada 19 Maret 1947.
Pada masa itu, dibentuk kelas masyarakat, yaitu sekolah khusus bagi lulusan Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan. Tujuannya, anak yang tidak lanjut ke jenjang SMP bisa langsung bekerja.
Kurikulum 1964
Kurikulum ini diperkenalkan pada masa pemerintahan Presiden Sukarno. Tujuannya, membentuk manusia Indonesia yang Pancasilais, sosialis, nasionalis, dan cinta Tanah Air. Kurikulum ini menekankan pada pengembangan lima aspek kepribadian manusia yang disebut pancawardhana.
Model kurikulum ini menggabungkan pendekatan rekonstruksi sosial dan humanistik, dengan penekanan pembelajaran aktif, kreatif, dan produktif. Namun implementasinya terbatas di tingkat sekolah dasar dan belum mencakup jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kurikulum 1968
Setelah perubahan pemerintahan ke Orde Baru, Kurikulum 1968 diperkenalkan. Perubahan ini mencerminkan pergeseran orientasi politik dan ideologi negara. Tujuan utama membentuk manusia pancasilais sejati yang kuat secara jasmani dan rohani, serta memiliki kecerdasan dan keterampilan yang tinggi. Struktur kurikulum diubah dari pancawardhana menjadi tiga kelompok besar:
meliputi Pendidikan Agama, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Pendidikan Olahraga.
termasuk Berhitung, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Pendidikan Kesenian, dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga.
mencakup Pendidikan Kejuruan dan Keterampilan Khusus Lainnya.
Kurikulum ini menekankan mata pelajaran pokok dan bersifat teoretis dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan sistematis.
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) 1984
Kurikulum sebelumnya, yang dinilai terlalu kaku dan administratif, membuat pemerintah kembali melakukan penyegaran. Kali ini giliran Dharma Setiawan, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto. Maka lahirlah Kurikulum 1984, yang mulai diterapkan secara nasional pada tahun ajaran 1984/1985.
Aturan dasarnya berubah drastis: pembelajaran tidak lagi bertumpu pada guru, melainkan aktivitas dan partisipasi siswa secara langsung. Inilah awal dari pendekatan yang dikenal dengan CBSA atau Student Active Learning (SAL) yang menjadi jargon pendidikan progresif pada zamannya.
Kurikulum ini merombak pola pikir kelas yang kaku jadi lebih terbuka. Siswa didorong untuk bertanya, berdiskusi, mencoba, dan menyimpulkan. Guru tak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu atau pemberi ceramah, tapi beralih peran sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan pengetahuan sendiri.
Namun, lagi-lagi, ide di atas kertas tak mudah diwujudkan di ruang kelas. Banyak guru yang belum terlatih atau tak siap menerapkan metode CBSA. Alih-alih aktif dan kreatif, pembelajaran justru terjebak dalam formalitas semu. CBSA pun sering dijuluki secara sinis sebagai ‘Cara Belajar Siswa Amatir’ karena praktiknya yang setengah hati.
Kurikulum 1994
Rencana pendidikan di Indonesia pada 1994 berada dalam kerangka Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita) VI. Ini berlangsung dari 1994 hingga 1999. Pada masa ini, sektor pendidikan masih menjadi fokus utama pembangunan nasional dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai modal pembangunan.
Wardiman Djojonegoro
Foto: Rengga Sancaya
Kurikulum ini mulai diterapkan secara nasional pada tahun ajaran 1994/1995 di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro .
Inti dari kurikulum ini adalah pendekatan pembelajaran tematik terpadu di SD, sistem caturwulan, penekanan pemahaman konsep dan aplikasi, pengintegrasian muatan lokal, dan evaluasi berkelanjutan. Di tingkat SMP dan SMA, jumlah mata pelajaran relatif banyak. Kurikulum ini bertujuan memberikan pemahaman holistik, waktu belajar proporsional, aplikasi pengetahuan, pelestarian budaya lokal, dan penilaian yang komprehensif. Meskipun bertujuan baik, implementasinya menuai kritik terkait beban siswa dan fleksibilitas guru.
Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004
Kurikulum ini mengubah paradigma sistem pendidikan Indonesia dan mulai diimplementasikan secara bertahap pada 2004. Ini hadir sebagai respons terhadap berbagai evaluasi dan tuntutan menghasilkan lulusan yang lebih kompeten, mandiri, dan relevan dengan kebutuhan abad ke-21.
Abdul Malik Fadjar
Foto: dok. muhammadiyah
Kurikulum 2004 mulai diterapkan bertahap pada 2004 di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar. Ini menandai perubahan fokus pencapaian kompetensi siswa melalui pembelajaran kontekstual dan aktif. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan penilaian berbasis kelas (PBK) dan memberikan fleksibilitas sekolah untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
KBK menghasilkan lulusan yang lebih kompeten dan relevan dengan kehidupan nyata. Setelah Abdul Malik Fadjar, Menteri Pendidikan Nasional ke-25, Bambang Sudibyo, juga berperan penting dalam melanjutkan implementasi KBK. Meskipun membawa semangat baru, implementasi KBK menghadapi tantangan yang kemudian menjadi dasar pengembangan kurikulum selanjutnya.
KTSP 2006
Bambang Sudibyo
Foto: Eko Susanto
Setelah berpuluh-puluh tahun menerapkan kurikulum yang tersentralisasi, pemerintah mengubah upaya peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Pada 2006, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyusun satu kurikulum yang berfokus kebutuhan masing-masing sekolah yang disebut KTSP.
Kurikulum ini memberikan kewenangan kepada sekolah dan guru untuk mengembangkan metode pengajaran masing-masing sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Namun, dalam perjalanannya, KTSP boleh dikatakan belum cukup berhasil.
Minimnya kualitas sekolah dan guru serta kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung menjadi hambatan. Ini membuat banyak sekolah bingung menerapkan metode ajar. Hasilnya, banyak sekolah justru hanya ‘tiru-tempel’ kurikulum dari sekolah-sekolah lain, yang justru mengkhianati semangat desentralisasi pendidikan yang diusung dalam KTSP.
Kurikulum K-13
Menjelang akhir jabatannya, Menteri Pendidikan M Nuh mencanangkan Kurikulum 13 (K-13/Kurtilas). Kurikulum ini menekankan pendidikan berbasis kompetensi yang relevan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Mata pelajaran dalam kurikulum ini dirancang berkaitan satu sama lain. Kompetensinya diikat oleh kompetensi inti tiap kelas. Kurikulum ini menekankan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, dan menalar.
Mendikbud Anies Baswedan
Foto: Rengga Sancaya
Namun, baru setahun Kurikulum K-13 berjalan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Rasyid Baswedan —yang ditunjuk Presiden Joko Widodo menggantikan M Nuh—langsung mengembalikan kurikulum K-13 ke KTSP. Anies menganggap penerapan K-13 terlalu terburu-buru dan banyak sekolah yang belum siap menerapkan kurikulum tersebut.
Kurikulum Merdeka 2022
Pada tahun ajaran 2022/2023 dan 2023/2024, Kurikulum Merdeka menjadi salah satu opsi yang dapat dipilih oleh satuan pendidikan. Mendikbudristek Nadiem Makarim meluncurkan kurikulum tersebut pada 11 Februari 2022. Kurikulum Merdeka dimaksudkan untuk memiliki karakteristik fleksibel, memberi keleluasaan dan memudahkan pendidik menerapkan pembelajaran yang lebih mendalam, menyenangkan, dan relevan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, serta fokus penguatan karakter.
Mendikbud Nadiem Makarim
Foto: Antarafoto/Puspa Perwitasari
Kurikulum ini merespons evaluasi Kurikulum 2013 yang dinilai terlalu ambisius, dengan beban materi pelajaran banyak, sementara beban administrasi guru berat, isi kurikulum kurang selaras, dan penerapannya kurang fleksibel. Di sisi lain, pandemi COVID-19, yang mengubah metode pembelajaran dari tatap muka menjadi daring, menjadi salah satu pertimbangan dalam perumusan Kurikulum Merdeka.
Inti dari Kurikulum Merdeka adalah Merdeka Belajar, yakni siswa bebas mendalami minat dan bakat masing-masing. Pembelajarannya berbasis proyek, tapi fokus materi esensial, sehingga diharapkan ada cukup waktu untuk siswa menguasai kompetensi dasar, seperti literasi dan numerasi. Selain itu, guru dapat melakukan pembelajaran terdiferensiasi sesuai kemampuan peserta didik, memilih berbagai perangkat ajar, dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Semboyan Pendidikan Indonesia
"Ing ngarsa sung tuladha"
(di depan memberi teladan) – Pendidik harus dapat memberi contoh atau menjadi panutan.
"Ing Madya Mangun Karsa"
(di tengah membangun semangat) – Pendidik berada di tengah-tengah murid untuk membangun karsa, yaitu niat dan semangat.
"Tut Wuri Handayani"
(di belakang memberi dorongan) – Pendidik terus-menerus menuntun, menopang, dan menunjukkan arah yang benar bagi anak-anak didiknya.
Penulis
Melisa Mailoa, Alya Nurbaiti, Fajar Yusuf Rasdianto, Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi, M. Rizal Maslan
Editor
Dieqy Hasbi Widhana
Frontend Developer
Dedi Arief Wibisono
Rencana Pelajaran Terurai 1952
Lima tahun kemudian, kurikulum rencana pelajaran disempurnakan menjadi Rencana Pelajaran Terurai pada 1952. Ide ini digagas Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Raden Mas Tumenggung Wongsonegoro pada era Kabinet Sukiman-Suwirjo periode 1951-1952. Kurikulum ini digunakan setelah Indonesia pertama kali memiliki Undang-Undang Nomor 4/1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dan Undang-Undang Nomor 12/1954.
Wongsonegoro
Foto: kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id
Ciri dari kurikulum Rencana Pelajaran Terurai ini fokusnya pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional, watak, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.
Kurikulum ini merupakan langkah awal dalam membentuk sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kurikulum ini mengatur satu mata pelajaran diajarkan oleh satu guru saja. Mata pelajaran dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain Bahasa, Pengetahuan Alam, Ilmu Pasti, Pengetahuan Sosial, Ekonomi, Ekspresi (Seni dan Keterampilan), Pendidikan Jasmani, Agama, dan Pendidikan Budi Pekerti.
Kurikulum Berbasis Tujuan Instruksional 1975
Dalam geliat beragam kebijakan Orde Baru, pendidikan dianggap fondasi yang perlu dibenahi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Sjarif Thajeb, mengesahkan Kurikulum 1975 lewat Keputusan Menteri No 008c/U/1975 pada 17 Januari 1975. Kurikulum ini resmi diterapkan bertahap mulai tahun ajaran 1976.
Kurikulum disebut dirancang untuk menjawab tantangan zaman dan mengakomodasi arah pembangunan yang tertuang dalam GBHN 1973. Tak hanya itu, masukan dari berbagai proyek, seperti Proyek Pembaharuan Kurikulum dan Metode Mengajar (PKMM), konsep Sekolah Pembangunan, hingga suara kritis masyarakat soal mutu lulusan pendidikan, ikut membentuk wajah baru sistem pembelajaran di sekolah dasar.
Ciri khas Kurikulum 1975 terletak pada pendekatannya yang teknokratis dan sangat terstruktur, yaitu Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Setiap proses belajar dirancang untuk mencapai tiga tingkat tujuan: Institusional, Kurikuler, dan Instruksional Khusus, semuanya dibuat struktur dan seobjektif mungkin.
Namun ide itu berbenturan dengan realitas di lapangan. Guru-guru kelimpungan menghadapi tuntutan administrasi yang rumit dan tumpukan evaluasi berlapis. Alih-alih membuat pembelajaran jadi lebih hidup, sistem ini malah terasa kaku dan menjauh dari kebutuhan nyata peserta didik.