Dalam tujuh bulan terakhir, Irene (43) sudah mengirimkan sekitar seratus surat lamaran. Hasilnya, delapan kali panggilan wawancara kerja. Perempuan desainer grafis itu terkena PHK massal oleh kantor sebelumnya, sebuah perusahaan e-commerce di Jakarta, pada Juni tahun lalu. Pasca layoff, ia tidak langsung mencari kerja. Ia memutuskan beristirahat sejenak sambil merapikan portfolio.
“Sebuah jeda yang dibutuhkan kali, ya, setelah 18 tahun bekerja,” ujarnya kepada detikX.
Baru pada November ia terjun ke ‘medan perang’, melamar posisi creative lead atau creative manager di berbagai portal kerja seperti LinkedIn, Jobstreet, Glints, dan Dealls. Di antara proses itu, ada juga head hunter yang menawarkan posisi kepada Irene. Namun, dari semua wawancara kerja yang dilalui, belum ada yang cocok.
“Biasanya pada kabur setelah aku menyampaikan ekspektasi gaji. Mereka, sih, bilangnya aku overqualified, pengalamanku lebih banyak dari yang dibutuhkan. Giliran ada yang menawarkan, gajinya kurang atau nggak sepadan. Ekspektasiku di sekitar Rp 15 juta, itu pun aku sudah menurunkannya 40 persen dari gaji di perusahaan terakhir,” kata Irene.
Menurutnya, situasi ini parah. Gaji yang ditawarkan perusahaan-perusahaan hari ini, jika dibandingkan dengan saat ia mencari kerja 10 atau 15 tahun lalu, bukannya membaik malah memburuk. “Padahal kita sudah mengalami inflasi sekian tahun, tapi gaji segitu-gitu saja, bahkan lebih rendah. Gila, sih,” ucapnya.
Di sisi lain, Irene bersaing bukan hanya dengan fresh graduate atau angkatan kerja yang lebih muda, tetapi juga senior-senior sepertinya. Selain creative manager, ia melamar pula untuk beberapa profesi di bidang brand atau marketing di mana ia merasa memiliki kualifikasinya setidaknya 80 persen.
“Dari apply-apply itu aku jadi tahu kalau pencari kerja memang banyak sekali. Misalnya, job posting diunggah belum ada seminggu, yang apply sudah 100 orang dan di antaranya bisa ada mereka yang level manager, direktur, bahkan untuk role desainer grafis. Bisa dibayangkan betapa susahnya cari kerja saat ini,” ujar Irene.
Ia mengatakan, kelebihan mereka-mereka yang senior tentunya pengalaman dan soft skill. Irene, misalnya, kuat dalam riset audiens, sehingga ia tidak sekadar mendesain tetapi memahami perilaku audiens, serta mendasarkan proses pembuatan desainnya dari sana. Ia juga merasa dirinya pemain tim. “Sendirian, aku bisa bikin sesuatu yang bagus, tapi bisa lebih bagus lagi dengan tim yang solid.”
Namun, tidak banyak perusahaan yang mau menghargai ceruk-ceruk kekhususan seperti ini. Kebanyakan perusahaan nasional memilih tenaga kerja yang bisa diupah murah, tidak masalah mengajari dan melatih para karyawan anyar itu. Oleh karena itu, strategi Irene mencari perusahaan luar negeri yang kerjanya bisa remote.
Masalah usia, menurutnya, rata-rata mencantumkan syarat usia di lowongan. Irene otomatis tidak menggubris lowongan di mana usianya tidak sesuai. Apabila sudah sampai tahap wawancara, biasanya tidak ada yang mempermasalahkan. Hanya memang, pekerja usia 40-an tentunya datang dengan ekspektasi gaji yang tinggi.
“Bukan apa-apa, karena kebutuhannya juga tinggi. Aku belum berkeluarga tetapi menanggung orang tua, merawat orang tua yang sakit. Ini juga alasan aku tidak alih karir meskipun aku people person dan ada minat di human resources, karena memulai baru dari bawah itu butuh banyak resource dan privilege juga,” ucapnya.
Irene ingin kembali menjadi karyawan tetap karena merasa dirinya orang yang senang mendukung terwujudnya tujuan perusahaan. “Di perusahaan sebelumnya, aku merasa aku perform, dihargai, dan aku happy dengan itu. Selain itu, aku punya tujuan finansial untuk pensiun dengan pendapatan pasif, sehingga aku butuh pendapatan tetap untuk mencapai goal itu,” ungkap Irene.
Sementara ini, sambil terus mencari pekerjaan tetap dan les bahasa Inggris, Irene menjadi freelance designer dan kadang mengambil job non desain, seperti photo styling. “Atau kadang orang butuh produser buat photo shoot, itu aku bisa juga. Dapat job-nya, ya, dari teman-teman, sih. Kalau les bahasa, itu juga untuk meningkatkan peluang dapat kerja,” ungkapnya.
Selain karena keberadaan freelance jobs, Irene juga merasa dirinya masih dalam kondisi mental yang relatif baik karena memiliki persiapan dana darurat sebelum mengalami PHK. “Yang terjadi lebih banyak di luar sana, karena pendidikan literasi finansial di Indonesia sangat kurang, ya, banyak orang terpaksa menghadapi situasi menganggur tanpa kesiapan dana,” ujarnya.
“Ada, sih, kecemasan,” ujarnya lagi, “Karena berada di situasi ketidakpastian, kan. Pasti ada perasaan, ‘Aduh tapi sampai kapan, ya, harus begini?’ Namun, secara umum, mentalku cukup stabil, mungkin karena umur udah segini juga. Nggak sampai depresi, cuma kangen gajian,” celetuknya.
Yang lumayan ia syukuri dari berada di fase ini, kata Irene, ia jadi punya waktu untuk dirinya dan keluarga, bisa menikmati hal-hal yang sebelumnya tidak bisa dinikmati saat kerja full time. “Sesimpel olah raga atau hangout dengan teman. Lalu, lebih sering lihat ibu dan mendampingi beliau pasca stroke,” ujarnya.
Situasi Ariadne mirip dengan Irene dan freelance jobs-nya. Bedanya, Ariadne nyaman dan belum ada rencana untuk kembali jadi pegawai tetap. Sejak dihentikan dari pekerjaan tetapnya empat tahun lalu, saat itu usianya 41, Ariadne yang berprofesi sebagai akuntan kini menjadi konsultan lepas di biro hukum milik temannya dan beberapa instansi lain. Sistem kerjanya kontrak, ada yang per proyek, ada yang semi permanen.
“Itulah bagaimana saya dapat kerjaan di usia 41. Networking. Jujur, tanpa itu, di usia saya sekarang, ijazah saya cuma S1, pasti susah berkompetisi di bursa kerja, apalagi anak-anak muda sekarang sudah pada S2. Meskipun pengalaman saya banyak, tapi di Indonesia, saya lihat sertifikasi itu masih jadi faktor yang cukup menentukan. Jadi modal cari kerja buat usia 40-an itu, ya, antara sertifikasi atau koneksi,” jelas Ariadne.
Saat diberhentikan, perempuan yang tinggal di Depok, Jawa Barat itu sebetulnya sudah tidak menginginkan dunia kantoran. Ia ingin melakukan hal yang menurutnya relatif lebih santai yaitu menerima pesanan onde-onde, ketan srikaya, dan kue kering seperti nastar dan kastengel. Sekarang pun ia masih membuat kue, tetapi tidak seintens atau seaktif dulu mempromosikan jualannya saat awal-awal berhenti kerja.
“Jualan kue tetap butuh memikirkan strategi jualan, sih, tapi lebih nyantai. Kebetulan memang enggak ambisi saja orangnya dan suamiku juga bekerja. Tapi teman-teman narik aku, katanya sayang kalau otaknya nggak digunakan untuk bekerja, yang biasanya dipakai mikir panjang dan kompleks,” ujar Ariadne.
Setelah dijalani, ternyata job konsultannya empat tahun ini jadi pengalaman yang baru dan menarik buat Ariadne, setelah 20 tahun sebelumnya selalu jadi pegawai tetap. Ia mengaku belajar keterampilan berkomunikasi, bagaimana berhadapan dengan klien dan bersosialisasi, yang mana hal-hal ini tidak terlalu dibutuhkan di pekerjaan Ariadne sebelumnya.
Dari pekerjaannya saat ini pula, Ariadne terinspirasi untuk menempuh pendidikan magister. “S2 buat jaga-jaga, upgrade ilmu sekalian mendukung kebutuhan karir. Di kantor, tuh, masa anak-anak baru S2, kita enggak? Jaga-jaga juga semisal nanti butuh cari kerja lagi. Mana tahu bertemu dengan situasi itu,” katanya.
Meski tidak mengalami sendiri kesulitan cari kerja, dari yang ia amati, memang cari kerja saat ini secara umum lebih sulit. Beberapa koleganya di kantor sebelumnya yang terkena layoff sepertinya, sudah dua tahunan mencoba melamar pekerjaan dan belum juga berjodoh dengan pekerjaan tetap. Sementara, jika membandingkan dengan tahun-tahun Ariadne bekerja sebelumnya, ia merasa tidak pernah ada periode dirinya menganggur.
“Dulu itu kalau aku resign, pasti udah ada kantor baru yang menampungku. Artinya, berdasarkan yang kualami, dahulu cari kerja itu lebih mudah,” jelas Ariadne.
Ia menyarankan bagi sesama pencari kerja usia 40-an, mau tidak mau strateginya bertumpu di antara dua hal tadi, memperbarui skill dan sertifikasi, atau memperkuat jejaring dan memanfaatkan jejaring yang dimiliki. Sebab bekal pengalaman saja, meski itu pengalaman belasan tahun, mungkin tak cukup.