Jakarta -
Akhir-akhir ini, marak isu pernikahan dini. Padahal batas usia perkawinan minimal menurut UU No. 16 Tahun 2019 baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Realitanya Indonesia menempati urutan keempat di mana sebanyak 25,53 juta perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Hal ini turut mengundang banyak kekhawatiran. Salah satu influencer yang melangsungkan pernikahan dini yaitu Gus Zizan dan Kamila Asy Syifa pada Jumat, 4 Oktober 2024.
Kamila Asy Syifa masih berumur 17 tahun yang mana jika dilihat dalam batas usia perkawinan belum cukup umur untuk menikah. Sedangkan Guz Zizan baru memasuki umur 19 tahun pada Februari kemarin. Guz Zizan dan Kamila Asy Syifa memiliki jutaan follower di media sosial mereka. Banyak remaja yang belum berumur 19 tahun meromantisasi pernikahan mereka dengan membayangkan kebahagiaan hidup bersama pasangan tanpa sepenuhnya memahami tanggung jawab besar yang akan dihadapi.
Mereka sering terpengaruh oleh tayangan di media dan cerita dari lingkungan sekitar yang menggambarkan pernikahan sebagai solusi atas masalah pribadi atau sebagai bentuk kebebasan dari aturan keluarga. Mereka melihat pernikahan sebagai jalan keluar yang ideal dari berbagai tekanan kehidupan remaja, mulai dari masalah sekolah, hubungan dengan orangtua, hingga pencarian identitas diri.
Gambaran pernikahan yang sempurna ini juga sering dikaitkan dengan impian untuk mandiri dan merasakan kasih sayang tanpa batas dari pasangan. Banyak remaja percaya bahwa menikah dini bisa memberikan mereka kehidupan yang lebih mudah dan kebahagiaan instan, tanpa menyadari bahwa hubungan pernikahan memerlukan komitmen, kedewasaan, serta kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama.
Dalam kenyataannya, pernikahan adalah hubungan yang membutuhkan tanggung jawab besar, baik secara emosional maupun finansial. Beberapa dari mereka bahkan beranggapan bahwa pernikahan akan menjamin stabilitas emosi dan rasa aman yang sering sulit mereka temukan di masa remaja. Namun, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menghadapi berbagai masalah yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Ketika memasuki kehidupan pernikahan, remaja ini mungkin saja dihadapkan dengan beban pekerjaan, tanggung jawab sebagai pasangan, bahkan dalam beberapa kasus, tanggung jawab sebagai orang tua. Tuntutan-tuntutan ini bisa membuat mereka merasa kewalahan, terutama karena pada usia yang masih remaja, mereka masih dalam proses untuk mengenal diri sendiri dan memahami apa yang benar-benar mereka inginkan dalam hidup.
Selain itu, adanya tekanan dari lingkungan sekitar yang memandang pernikahan dini sebagai bentuk "kedewasaan" juga sering memicu keinginan remaja untuk segera menikah. Mereka merasa bahwa dengan menikah, mereka akan lebih dihargai, lebih dianggap dewasa, dan mampu mengambil keputusan sendiri. Namun, mereka sering tidak memperhitungkan risiko-risiko yang menyertai, seperti dampak psikologis, finansial, hingga kesehatan jika memutuskan untuk membina rumah tangga pada usia yang belum siap secara mental dan emosional.
Tidak hanya itu, budaya patriarki yang masih kental di Indonesia juga sangat merugikan perempuan, terutama dalam konteks pernikahan dini. Perempuan sering dipandang sebagai pihak yang harus segera menikah untuk menjaga kehormatan keluarga atau sebagai "pengabdi" dalam rumah tangga. Mereka diharapkan mengikuti aturan dan peran tradisional, seperti mengurus rumah dan melayani suami, meskipun belum memiliki kesiapan mental atau finansial.
Terputusnya Pendidikan
Salah satu dampak negatif dari pernikahan dini adalah terputusnya pendidikan. Banyak remaja yang berhenti sekolah atau kuliah setelah menikah, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Ketika mereka tidak memiliki pendidikan atau keterampilan yang memadai, hal ini bisa menjadi sumber tekanan dalam rumah tangga karena kesulitan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Dalam jangka panjang, situasi ini dapat memicu konflik dan bahkan menyebabkan perceraian. Selain itu, pernikahan dini juga berpotensi membawa dampak pada kesehatan mental dan fisik. Mereka yang menikah dini mungkin belum siap secara emosional untuk menghadapi peran sebagai pasangan hidup atau orangtua. Mereka cenderung mengalami stres, depresi, dan kecemasan yang tinggi ketika menghadapi konflik dalam rumah tangga.
Di sisi lain, secara fisik, risiko kesehatan, terutama bagi remaja perempuan, juga cukup tinggi. Kehamilan pada usia remaja memiliki risiko komplikasi yang lebih besar baik bagi ibu maupun bayinya. Dengan demikian, penting bagi remaja untuk memahami bahwa pernikahan bukanlah sekadar tentang hidup bersama pasangan atau kebebasan dari aturan keluarga. Pernikahan adalah keputusan besar yang memerlukan kesiapan mental, emosional, dan finansial.
Oleh karena itu, orangtua, guru, dan pihak-pihak terkait perlu memberikan edukasi mengenai pentingnya kesiapan sebelum menikah, serta mendorong mereka untuk fokus pada pengembangan diri dan pendidikan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah.
Syafika Saffanah konten kreator dan pemerhati masalah sosial
(mmu/mmu)