Iktikad Baik dan Nasib Asuransi

1 week ago 8

Jakarta -

Ketika saya pertama kali mendengar istilah utmost good faith atau iktikad baik dalam asuransi, saya merasa, "Ah, istilah keren yang hanya dipakai di kelas-kelas teoretis." Namun, seiring waktu, ternyata prinsip ini bukan sekadar jargon. Di sinilah letak nyawa dari industri asuransi yang kerap dipandang sebelah mata. Bukan sekadar prinsip, tapi sebuah cara hidup.

Iktikad baik, sederhana saja sebenarnya: dua belah pihak harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Bayangkan, ketika seseorang membeli asuransi, sebenarnya membeli janji. Janji bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi, uang asuransi akan keluar. Dan, perusahaan asuransi di sisi lain juga membeli kepercayaan bahwa nasabah telah mengungkapkan semua yang perlu diungkapkan. Jadi, asuransi itu bukan hanya soal polis dan premi, tapi soal kepercayaan yang sangat dalam.

Saya pernah bertemu seorang eksekutif di perusahaan asuransi besar. "Kami ini sebenarnya bisnis janji," katanya dengan serius. "Setiap kali kami menerima klaim, kami mengingat janji itu." Namun, tidak semua klaim lancar. Ada yang batal, ada yang terhambat. Dan, sering masalahnya sederhana: iktikad baik yang tak sepenuhnya dipraktikkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam dunia asuransi, prinsip iktikad baik ini bekerja di dua sisi: pihak perusahaan asuransi harus jujur dengan nasabah tentang risiko-risiko apa saja yang ditanggung, sedangkan nasabah harus jujur dalam menyampaikan fakta tentang dirinya. Misalnya, kalau nasabah tidak mengungkapkan bahwa dia punya penyakit tertentu atau riwayat penyakit keluarga, ketika dia terkena penyakit itu, klaim bisa ditolak. Bukan karena perusahaan ingin lari dari tanggung jawab, tapi karena dari awal, ada informasi yang disembunyikan.

Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Ada kalanya, nasabah merasa sudah memberikan semua informasi yang diminta, tetapi perusahaan asuransi menggunakan syarat-syarat kecil dalam polis untuk menolak klaim. Di sinilah, iktikad baik perusahaan diuji. Seharusnya, syarat-syarat kecil itu bukan menjadi senjata untuk menolak klaim, tapi justru membantu nasabah memahami apa yang sebenarnya dia beli.

Asuransi itu seperti kontrak tidak tertulis antara dua pihak yang tidak saling kenal. Nasabah mungkin hanya bertemu agen, lalu agen itu pun pindah kerja atau berhenti. Tetapi janji tetap ada, melekat dalam polis. Maka, di sinilah iktikad baik menjadi hal yang sangat krusial. Kepercayaan antara dua pihak tidak saling kenal ini lahir dari satu hal: informasi yang terbuka dan jujur. Seperti sebuah pepatah tua: "Kepercayaan dibangun selama bertahun-tahun, tapi bisa hancur dalam sekejap."

Lalu, bagaimana jika iktikad baik tidak dijalankan? Anda pasti sudah tahu jawabannya. Klaim bisa ditolak, nasabah kecewa, reputasi perusahaan rusak, dan akhirnya industri asuransi menjadi ladang sengketa. Kita sering melihat headline di media tentang sengketa klaim asuransi, bukan? Penyebabnya sering sederhana: salah satu pihak merasa dikhianati. Ketika iktikad baik diabaikan, semua janji menjadi halu dan rapuh.

Mari kita lihat dari sisi industri. Ketika iktikad baik berjalan, nasabah merasa aman. Mereka percaya bahwa asuransi mereka akan melindungi mereka ketika terjadi musibah. Di sisi lain, perusahaan asuransi juga percaya bahwa nasabah mereka telah memberikan informasi yang benar. Dengan begitu, premi yang ditentukan pun sesuai dengan risiko yang dihadapi.

Namun, ada satu hal menarik yang jarang kita sadari. Jika prinsip ini dilanggar terlalu sering, bukan hanya satu atau dua pihak yang rugi. Industri asuransi secara keseluruhan bisa terganggu. Kita bisa melihat premi asuransi meningkat dari tahun ke tahun. Mengapa? Salah satunya adalah karena risiko-risiko yang tidak diungkapkan atau informasi yang tidak benar menyebabkan klaim menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Ketika satu orang tidak jujur, seluruh sistem ikut terkena dampaknya.

Bayangkan jika Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menekankan kewajiban nasabah untuk memberikan data yang akurat kepada penanggung pada saat membuat perjanjian asuransi dihapus. Tanpa perlindungan dari pasal ini, perusahaan asuransi mungkin harus menghadapi lebih banyak risiko klaim palsu atau klaim yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Risiko moral hazard bisa meningkat, di mana nasabah yang merasa tidak perlu mengungkapkan informasi yang sebenarnya mungkin tergoda untuk menyembunyikan fakta-fakta penting.

Jika hal itu terjadi, perusahaan asuransi bisa saja harus menanggung kerugian lebih besar, yang ujung-ujungnya akan dibebankan kepada semua nasabah dalam bentuk kenaikan premi. Artinya, tanpa Pasal 251, ada kemungkinan bahwa premi asuransi secara keseluruhan akan meningkat karena perusahaan harus menutupi potensi kerugian dari klaim yang sulit dikendalikan. Pada akhirnya, bukan hanya perusahaan asuransi yang dirugikan, tapi juga masyarakat luas.

Namun juga, bagi perusahaan asuransi jangan selalu menjadikan pasal ini sebagai dasar menolak klaim. Jadi, apa pelajaran dari semuanya ini? Bukan hanya soal nasabah yang harus jujur atau perusahaan yang harus terbuka. Lebih dari itu, ini soal bagaimana kita, sebagai masyarakat, memandang kepercayaan. Dalam asuransi, iktikad baik adalah cerminan dari bagaimana kita berhubungan dengan orang lain. Ini soal rasa tanggung jawab. Tanggung jawab untuk memberikan informasi yang benar. Tanggung jawab untuk menepati janji.

Industri asuransi bukan sekadar bisnis kertas dan polis. Ini adalah bisnis kepercayaan. Di dalam bisnis ini, ketika satu pihak tidak menjalankan iktikad baik, seluruh sistem ikut bergetar. Kita butuh lebih dari sekadar kontrak hukum untuk melindungi kita. Kita butuh kepercayaan. Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Jika kita menanam iktikad baik, kita akan menuai perlindungan yang adil dan merata. Tapi jika tidak, kita hanya akan menuai masalah, dan mungkin sebuah penyesalan.

Wahyudin Rahman pengamat asuransi, Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI) 2022-2025

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial