Jakarta -
Bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengumumkan inisiatif program 'Lapor Mas Wapres'. Sejumlah pihak skeptis dan mencibir program tersebut sekedar gimik politik agar posisinya sebagai wapres benar-benar eksis.
Jika kita menilik jauh ke belakang kiprah para wapres sejak masa Orde Baru, rata-rata memang berperan sebagai pengawas pembangunan. Hal itu merujuk pernyataan Presiden Soeharto saat mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan II, 27 Maret 1973.
Kala itu Presiden Soeharto menjelaskan bahwa, tugas khusus seorang wapres, pertama adalah menampung masalah-masalah, dan mengusahakan pemecahan masalah-masalah yang perlu, yang menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat.
Kedua, melakukan pengawasan operasional pembangunan dengan bantuan departemen-departemen, dalam hal ini adalah inspektur-inspektur jenderal dan departemen-departemen yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Draf RUU Lembaga Kepresidenan yang menjadi inisiatif DPR pada 2001 membuat tugas wapres secara lebih rigid. Hal itu tercantum dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa, 1.Tugas Wakil Presiden secara umum membantu dan/atau mewakili tugas Presiden di bidang kenegaraan dan pemerintahan, 2. Dalam melaksanakan tugas di bidang Pemerintahan, Wakil Presiden berwenang: a. Melaksanakan tugas teknis pemerintahan sehari-hari dan b. Menyusun agenda kerja kabinet dan menetapkan fokus atau prioritas kegiatan pemerintahan yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan kepada Presiden. 3. Wakil Presiden berwenang melakukan tugas-tugas khusus di bidang kenegaraan yang diberikan oleh Presiden.
Sayang, RUU tersebut tak pernah resmi dibahas dan tak jelas kelanjutannya hingga sekarang ini.
Kembali ke peran para wapres di era Orde Baru, mereka menerjemahkan apa yang disampaikan Presiden Soeharto pada 1973 sesuai dengan kreatifitasnya masing-masing. Umar Wirahadikusumah yang menjadi wapres pada 1983-1988, misalnya, menjalankannya dengan melakukan serangkaian inspeksi mendadak (Sidak) ke berbagai institusi dan daerah. Dia lebih banyak melakukan sidak dengan senyap.
Suatu hari di awal Mei 1984, pesawat TNI-AU yang membawa Umar menuju Malang terpaksa transit di Bandara Juanda, Surabaya karena cuaca buruk. Agar rencana sidak yang akan dilakukannya ke sejumlah titik di Malang tak bocor, dia sengaja bertahan di pesawat selama 40 menit.
Tak cuma di seputar Jawa, Umar melakukan sidak dengan senyap ke pelosok Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Semua itu dilakukan selain merupakan bagian tugas dan tanggung jawabnya dalam menjalankan fungsi pengawasan pembangunan, juga komitmennya untuk memberantas korupsi.
Maklum, seperti halnya Sri Sultan Hamengku Buwana IX yang menjadi wapres setelah memimpin Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Umar pun demikian. Selepas menjadi KSAD, menak Sunda kelahiran 10 Oktober 1924 itu didapuk menjadi Ketua BPK selama 10 tahun, 1973 - Maret 1983. Media pun kemudian menjuluki Umar sebagai 'Wapres Sidak'.
Namun rupanya ada saja pihak-pihak yang tak senang dengan apa yang dilakukan Umar. Suatu hari saat berkunjung ke beberapa daerah di Jawa Timur, kecuali gubernur unsur muspida lainnya dilarang ikut menyambut Umar. "Apa maksudnya? Masak takut Kang Umar lebih populer dari Pak Harto. Tidak mungkin! Oh Tuhan, kalau ada orang lain yang lebih baik, orang lain saja yang jadi Wapres," jerit hati Siti Karlinah, istri Umar, dalam biografi 'Bukan Sekedar Istri Prajurit' yang ditulis Herry Gendut Janarto pada 2006.
Sudharmono ikut melakukan sidak seperti Umar. Bedanya dia tidak melakukannya dengan senyap, melainkan lebih terorganisir. Sebagai Ketua Umum Partai Golkar dia memanfaatkan kunjungan ke daerah sebagai konsolidasi internal. Selain itu dia juga menjalankan fungsi pengawasan sebagai wapres dengan membentuk Kotak Pos 5000.
Respons masyarakat cukup tinggi. Pada tahun pertama rata-rata masuk 60 surat setiap hari. Selama lima tahun, sekitar 73 ribu surat dari rakyat yang masuk. Dari jumlah itu sekitar 60 ribu surat berhasil diproses dan diteruskan ke instansi-instansi terkait. Sebanyak 30 persen diantaranya mengandung kebenaran dan telah ditindaklanjuti.
Adam Malik, wapres yang menggantikan Sri Sultan dan digantikan Umar Wirahadikusumah, pun punya komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi. Setiap ke daerah dia tanpa tedeng aling-aling biasa melabrak para pejabat yang dinilainya tidak patut. Dengan segala rekam jejak dan kharisma yang dimilikinya, Adam Malik mampu membawakan peran sebagai orang kedua secara elegan. Bila diperlukan Adam berinisiatif tampil menjadi garda terdepan, bertindak layaknya Jubir Presiden untuk menjelaskan hal-hal yang tak dapat dijelaskan para menteri dengan baik.
Terkait kebijakan pemerintah bekerja sama dengan IGGI, misalnya. Para menteri terkait sudah beberapa kali menjelaskan tapi media massa tetap mengkritik tajam langkah tersebut. Adam pun turun tangan. Berjiwa diplomat ulung dia mengundang para petinggi media ke kantornya untuk berdialog secara lepas.
Ia menegaskan pinjaman kepada IGGI bukan berarti menggadaikan Indonesia. Namun memang sangat diperlukan untuk membangun perekonomian yang amat kritis akibat warisan utang Orde Lama sebesar US$ 2,6 miliar. Tanpa IGGI, Indonesia dipastikan tak akan mendapat pinjaman baru dari negara manapun. Padahal utang lama selalu ditagih.
"Kalau memang kemudian ada penyelewengan, cepat bongkar. Saya mesti berada di pihak saudara," tegas Adam seperti terungkap dalam 'Mengabdi Republik' jilid II.
Lantas, bagaimana agar program 'Lapor Mas Wapres' tak dicibir dan dianggap sebagai gimik politik belaka?
Integrasikan program ini dalam platform lain yang sudah ada dan dikelola oleh kementerian atau lembaga terkait yang memiliki struktur, jaringan, dan kapasitas lebih dekat dengan masyarakat. Juga sinergi dengan legislatif dan masyarakat, serta sistem yang transparan dan akuntabel.
Penulis wartawan detik.com
(jat/maa)