Jakarta -
Media sosial semakin hari semakin penuh dengan konten yang menghibur sekaligus mengejutkan. Salah satu fenomena yang kian viral adalah ketika influencer mewawancarai anak-anak sekolah mengenai pengetahuan umum. Di salah satu video yang ramai dibicarakan, seorang influencer bertanya kepada siswa SMA, "Sebutkan beberapa negara di Eropa!" Namun, jawaban yang muncul justru Garut. Ya, Garut—sebuah kota di Jawa Barat.
Fenomena ini mengundang tawa, tentu; tapi juga mengundang keprihatinan. Bagaimana mungkin anak-anak muda yang hidup pada era digital, dengan akses informasi begitu luas, bisa salah menyebut Garut sebagai negara di Eropa? Mungkin kita harus mulai berpikir lebih jauh tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik layar TikTok, Instagram, dan media sosial lainnya yang mendominasi keseharian mereka.
Apa yang Terjadi?
Tidak dapat dipungkiri, zaman memang telah berubah. Generasi Z dan Alpha adalah generasi yang tumbuh dengan internet di tangan mereka. Jika generasi sebelumnya harus membuka ensiklopedia atau menunggu acara kuis di televisi untuk mendapatkan informasi, anak-anak zaman sekarang hanya butuh satu klik di Google. Seharusnya, mereka bisa lebih cepat belajar dan mendapatkan pengetahuan dari seluruh penjuru dunia.
Tapi anehnya, dengan segala kemudahan itu, kenapa banyak dari mereka yang kesulitan menjawab pertanyaan dasar tentang pengetahuan umum? Bukankah seharusnya teknologi membantu mereka lebih pintar? Ini jadi paradoks menarik. Mungkin, teknologi lebih sering digunakan untuk hiburan ketimbang pendidikan.
Seperti yang terlihat di video-video viral, pertanyaan sederhana seperti nama-nama negara, presiden, atau bahkan sejarah dasar sering membuat generasi ini kebingungan. Yang lebih mengejutkan, ketika ditanya soal tren terbaru, influencer, atau meme yang viral, mereka bisa menjawab dengan cepat dan detail. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?
Pergeseran Prioritas
Salah satu penyebab yang bisa kita lihat adalah pergeseran prioritas. Pada era serba cepat ini, perhatian kita begitu mudah teralihkan. Tren media sosial yang berganti setiap hari, konten hiburan yang tanpa henti membanjiri feed, dan keinginan untuk selalu update dengan hal-hal yang viral tampaknya membuat generasi muda lebih fokus pada apa yang "hits" saat ini daripada pengetahuan dasar yang tak dianggap relevan.
Banyak dari mereka yang lebih tertarik mengikuti drama terbaru di TikTok, merespons challenge yang sedang tren, atau membuat konten, ketimbang belajar sejarah, geografi, atau topik-topik yang dianggap membosankan. Mereka menguasai bahasa media sosial dan budaya pop, tapi saat ditanya soal pelajaran di sekolah, seolah-olah terjadi disconnect. Pengetahuan umum tak lagi menjadi fokus utama.
Namun, apakah sepenuhnya salah mereka? Mungkin tidak. Sistem pendidikan dan metode belajar yang ada juga perlu dipertimbangkan. Ketika metode pembelajaran terlalu formal dan kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari, anak muda cenderung mencari informasi yang lebih sesuai dengan dunia mereka—yakni dunia yang viral dan cepat berubah.
Tantangan Besar
Ini membawa kita pada sebuah tantangan besar: bagaimana cara kita memastikan generasi muda tetap peduli pada pengetahuan dasar di tengah dunia yang terus bergerak dengan kecepatan tinggi?
Salah satu tantangannya adalah bagaimana cara mengintegrasikan pembelajaran dengan cara yang lebih menarik dan relevan. Bagaimana jika pelajaran geografi atau sejarah disampaikan melalui platform yang akrab dengan mereka, seperti Instagram atau TikTok? Bagaimana jika guru menjadi semacam "influencer" yang mengajarkan hal-hal penting dalam format yang menarik?
Selain itu, penting bagi orang dewasa—baik itu orangtua, guru, atau pembuat kebijakan—untuk memahami bahwa generasi ini memang hidup di dunia yang berbeda. Kita tidak bisa memaksakan cara belajar yang sama dengan era sebelumnya. Kita perlu menyesuaikan pendekatan, membuat pendidikan lebih interaktif, dan tentu saja mengakui bahwa media sosial juga bisa menjadi alat pendidikan yang kuat, jika digunakan dengan bijak.
Tanggung Jawab Semua
Akhirnya, tanggung jawab tidak hanya terletak pada generasi muda, tetapi juga pada kita semua. Bagaimana kita, sebagai masyarakat, merespons fenomena ini? Apakah kita hanya akan tertawa melihat video-video viral tanpa bertindak, atau kita akan mulai berpikir lebih serius tentang bagaimana menanamkan kecintaan pada pengetahuan di tengah arus informasi yang begitu cepat?
Mungkin ini saatnya kita mengambil pendekatan yang lebih kreatif dan inklusif dalam merawat pengetahuan umum pada era digital ini. Karena kalau tidak, siapa yang bisa menjamin bahwa generasi berikutnya akan tahu lebih baik daripada generasi sekarang? Pertanyaan akhirnya, apakah kita siap melihat generasi yang lebih mengenal selebriti TikTok ketimbang pahlawan nasional?
Cantriya Anastasya Simbolon pemerhati media sosial dan pendidikan
(mmu/mmu)